18 Oktober 2011

Kita dan Diorama Peradaban Posthuman





“Manusia terlahir bebas, dan kini di mana-mana ia terbelenggu.” -Jean-Jacques Rousseau-

SEJATINYA MANUSIA adalah sebuah gerak. Gerak sadar maupun tak sadar. Tak pernah berhenti layaknya dialektis kehidupan. Lewat gerak, manusia berhasil survive dari yang purba. Sebabnya, manusia bukan sekedar ‘ada’ tetapi selalu ‘mengada’. Sebagaimana yang diwacanakan Heidegger dulu. Manusia barangkali sebuah proses menjadi ada, yang lahir dari rahim Ada dan Ketiadaan. Olehnya, peradaban manusia adalah peradaban berkepanjangan yang tak kunjung usai. Kita-dulu-kini-dan-nanti adalah sebuah kerumunan, spesies yang menanggalkan identitas terdahulu demi eksistensinya atas nama humanisme. Agaknya dari sini lah kemudian Peradaban lahir.

Dan IPTEK adalah bentuk dari peradaban manusia. Ilmu pengetahuan telah mencerahkan manusia dari belenggu dogmatis pada abad kegelapan (Aufklarung), atau juga melepaskan bangsa kita  dari kungkungan sikap fatalisme pada zaman kemodalan dan kolonialisme bangsa barat. Sementara Teknologi adalah ‘Roda’ yang mengerakkan peradaban itu sendiri. Kita patut berterima kasih kepada James Watt atas mesin uap temuannya yang mendorong terjadinya Revolusi industri di Inggris dan negara-negara lain di Eropa. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi simbol yang menjadi ukuran seberapa kencang laju kemajuan peradaban manusia itu sendiri.

Simbol-simbol kemajuan IPTEK nampak dalam berbagai ranah. Dari wujud yang paling simpel sampai ke yang paling rumit dan kompleks. Dalam Sains, temuan-temuan berupa Robot pintar maupun rekayasa genetik dianggap sebagai tambang IPTEK paling berharga saat ini. Sementara kemajuan teknologi komunikasi menunjukan progres yang luar biasa. Manusia dapat dengan mudahnya berinteraksi satu sama lain pada jarak ribuan kilometer, ataupun mendapatkan akses informasi dengan mudahnya. Dunia kini telah menglobal dan sekat-sekat berupa ‘negara’ telah menjadi hal yang semu. IPTEK telah menisbikan ruang dan waktu. Sebagaimana IPTEK menisbikan keberadaan manusia itu sendiri.

Mengintip Keintiman Sastra




BAHASA & SASTRA adalah dua buah nomina yang mengejala secara asosiasi. Bahasa; entah ia sebagai fakta sosial, sebagai langue dan parole, sebagai sistem tanda, atau -sesuai fungsionalnya- sebagai sarana representasi-komunikatif, seringkali bertaut dengan bahasan lain, yakni sastra. Sedangkan sastra sendiri adalah sebuah gejala kebahasaan. Jika saya ibaratkan, keduanya selayaknya awan mendung dan air hujan. Pada mulanya adalah pengetahuan tentang bahasa, selanjutnya barulah sastra.

Namun dalam dinamikanya, Bahasa justru tunduk pada sastra. Sebagaimana yang pernah diusung oleh Putu Wijaya dalam sebuah seminar, bahwa sastra bukan alat bahasa tetapi bahasa adalah alat sastra. Sastra menjadikan bahasa sebagai medium yang ‘membahasakan’ sekelumit kabut gagasan yang bersifat ‘mental’, berupa petanda dan penanda bahasa. Pendeknya; bahasa mengantarkannya menjelma sebagai Karya.

Bahasa sastra sendiri menggunakan sistem tanda bahasa kedua. Yang dalam perspektif psikoanalisis Freud, bahwa sebuah karya seni (termasuk sastra) adalah sebentuk ruang penyampai represi dan ekspresi kejiwaan -seringkali dalam alam bawah sadar si pencipta karya- yang tak mungkin disampaikan dengan cara biasa. Memungkinkan, sastra tidak bisa dipahami dengan cara biasa pula. Karena ia kerap kali berupa metafor-metafor simbolik. Padahal, sebuah karya itu selalu berdiri diantara pencipta karya dan pembaca. Hal ini tentunya berakibatkan terjadinya Space yang diderita oleh bahasa sastra. Tetapi juga memicu terjadinya sebuah keintiman.

Quo Vadis Disabilitas


 ANDAIKAN dunia ini adalah sebuah narasi nan panjang, yang mana pelbagai kisah, cerita, tercatat sejak dulu, kini, dan nanti. Maka kita tak lebih dari eksakta-eksakta kecil yang bergumal pada ruang dan waktu. Yang kemudian termaktub dalam kitab besar kehidupan. Didalamnya; diruntut dan dipilah-pilah untuk dikelompokan menjadi beberapa bagian, ‘Narasi besar’ dipisahkan dengan ‘narasi kecil, lalu dibagi lagi menjadi lakon gagah dan lakon ringkih, dst. Dari sini; kisah tentang Difable bermula.

Meski agaknya; difable bukanlah sekedar narasi, apalagi sebatas wacana yang mengusik telinga kita. Difable adalah sebuah realitas. Atau fenomena keseharian yang terkadang luput dari pengamatan inderawi kita. lantaran sebenarnya manusia difabel kerap kali hadir, entah ia sebagai si cacat, si pincang, si buta, si budeg, si dungu, si gila, dan entah “si”-apa lagi. Cobalah tengok di pasar-pasar, di terminal-terminal, dalam kereta, perempatan jalan, dan di tempat-tempat ‘komunal’ lainnya. pasti akan dengan mudah bertemu ‘si cacat’ ini. Atau dalam ragam profesi, manusia difabel kerap kita kenal sebagai si peminta, si pengemis atau si tukang pijat ‘berijazah’.

Entah sejak kapan difable ada. Atau barangkali ‘diciptakan’. Yang mulanya adalah sebuah mitos. Konon, militer Yunani kuno dan Roma telah berupaya menyingkirkan ‘si cacat’ ini, jauh sebelum Hitler pada kurun 1940an melakukan pembantaian masal terhadap mereka, demi menjaga ‘kesucian’ ras Arya. Sebentuk modus ‘operasi’ atas nama moralisasi agama dan budaya yang memitoskan ‘si cacat’ lahir dari sebuah ‘kutukan’, akibat dosa yang harus ditanggung. Sejurus kemudian, difable pun dilekati stereotipe negatif oleh medikalisasi para ahli medis, yang pada tahun 1977 sempat dihujat oleh Ivan illich, lantaran mengangap manusia difable ‘berpenyakitan’. Pendeknya; Difable ‘muncul’ sebagai defaluasi simbol melalui pengkategorian sebagai Yang-lain.

Kera Sakti Belajar Kung-Fu



Keringat telah membasahi wajah dan juga seragam kung fu yang imam(11 tahun) kenakan, tapi ia masih bersemangat mempraktekan jurus-jurus yang telah ia kuasai, dari salto sampai meroda ia lakukan dengan begitu lincahnya.


“Senang aja rasanya bisa belajar silat sama jurus-jurus. Walau nanti abis pulang pasti badan aku capek banget.” Ujar imam dengan ngengir dan wajah polosnya.


Minggu pagi (11/07) ini, dibawah sinar matahari yang agak redup Imam dan para anggota Ikatan Keluarga Silat Putera Indonesia (IKS PI) Kera Sakti tengah berlatih ketika ditemui LKM. Mereka berlatih di sepetak tanah berumput dengan rerimbunan pohon mohoni di sampingnya. Lokasinya tak jauh dari pintu utara lapangan monas.

Para kera sakti dengan seragam hitam atau putih ini berlatih dengan serius dan penuh semangat. kekompakan terlihat ketika jurus demi jurus mereka keluarkan dibawah arahan Pak Suhardi, ayah Imam sekaligus koordinator IKS PI Kera Sakti wilayah jakarta pusat. Materi latihan yang diajarkan berupa, seni olah raga dan beladiri, chi kung (pernafasan murni), Tenaga dalam, dan pelatihan mental spiritual.

18 Juni 2011

Pendidikan Konyol

Oleh : Muhammad Khambali


Alangkah malangnya penghuni bumi saat ini, ia hidup di zaman yang aneh. Mungkin juga konyol. Tak tau kenapa tiba-tiba ada yang hilang---mungkin lupa---entah kenapa. Padahal ‘sesuatu yang hilang’ itu merupakan hal esensi, sebuah eksistensi kita sebagai makhuk bumi yang berakal budi. Taukah, sesuatu yang hilang itu bernama ‘nilai’, entah itu nilai budaya, etik, moral, juga agama. Celakalah kita.
Sebab, nilai setidaknya memberi kita sebuah keniscayaan. Menunjukkan kita akan garis-garis imajiner yang membekali kita dalam laku juga pijakan berfikir. Konon, akibat ‘sesuatu yang hilang’ itu, kini manusia memandang hidup ini sebagai sesuatu yang absurd, tanpa batasan-batasan yang jelas.  Bingung menentukan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Lalu tumbuhlah partikularisme, egoisme, juga sinisme. Pada akhirnya, entitas akan altruisme pun perlahan memudar. Mungkin juga hilang.
Tak sebatas itu, kemudian muncul anomali nilai yang mengagas sebuah semantika baru dalam ranah pendidikan. “Nilai” baru itu tereduksi dalam ruang sempit yang kita kenal sebagai nilai ulangan, nilai UTS, nilai UAS, nilai Raport, atau nilai ijazah. Ia telah menjadi Neo-keniscayaan yang mengukuhkan diri sebagai batu pijakan tunggal dalam dunia pendidikan kita. Maka, lahirlah kolonialisme, serta Komunalisme pecinta ‘nilai’.

Lelaki itu


Pada lelaki itu
Lama ia termenung; menatapi tembok
Ia kusam seraut wajahnya
Ia beku segigil hatinya
Mungkin juga sama, ia kesepian
Lalu, tiba-tiba
Pada lelaki itu
Ia berdialog; entah dengan siapa
Pada dinding, pada buku, pada maya
Atau barangkali Tuhannya

Terkadang, sesekali ia tersenyum kecil
Tapi tak jarang juga ia menangis menjadi
Apa peduli; Toh tak ada yang mengerti?

*Kramat lontar, 13 Juni 2011



Semi


bola-bola salju
kini jadi debu
terbang jauh ke hulu
memulai nafas baru

tetes embun pagi
bangunkan biji lalai
terlelap menanti mentari
terjaga merangkai mimpi

tunas-tunas baru
muncul di balik batu
malu-malu
tapi tersenyum kikuk

kicau merdu nuri
sambut pagi menari-nari
rumput hijau bergoyang mengamini
tersenyum lebar menyambut semi






18 Maret 2011

Sepertinya Tahun ini Kita Bikin Supersemar Lagi?



kebodohan ini harus segera diakhiri
sebelum  aku benar-benar mati
aku generasi yang patah hati
terlahir dengan kondisi dunia yang seperti ini

 “aku generasi yang patah hati, aku harus nana..nana..nannaa.....”
Ahh... suara rick yang bagaikan winamp yang sedang error telah menganggu acara ritualku, mendengarkan lagu-lagu sheila on 7. Belum lagi bau mulutnya yang tak pernah dia keramasi (baca: gosok), menambah aku muak kepadanya---bikin aku rasanya mau muntah.
“kau tau Boi, suara aku ini, sebelas-duabelas sama duta shela on tuju mu itu boi.”
“JAUH...!!!!”
“hahahaha... tenang lah boi, nggak usah ngambek gitu, aku pergi sekarang.” Rick lalu pergi meninggalkan ku dengan penuh kepuasan.
Baguslah fikirku.
“sudah-sudah sana pergi, gangguin orang saja kau Rick.” Ucapku kesal.
Sebenarnya aku tak bermaksud mengusirnya. aku maklum dengan perbuatan Rick tadi. Dia samahalnya sepertiku, hanya ingin mengusir kejenuhan—hanya saja caranya yang aku tidak suka. Aku, Rick, dan teman-temanku sekarang ini dalam persiapan melewati zaman peralihan orde lama ke orde baru, era Bung Karno ke Pak Harto, masa SMA ke masa kuliah. Yah, kami murid-murid kelas XII SMA Negeri 1 Tanjung sedang menjalani ritual tahunan, persiapan menghadapi Ujian Nasional (UN).
Wajar bila saat ini suasana kelas kami dipenuhi wajah-wajah UN. Wajah orang-orang yang jenuh berpacaran dengan soal-soal try out, lalu mencoba mencari hiburan lain. Rick misalnya, dia sengaja berjalan-jalan dari satu meja ke meja dengan membawa tampang liciknya, dengan satu tujuan, mengganggu kenyamanan umum.

27 Februari 2011

Alangkah Lucunya Sebuah Nilai


“oleh piro dino iki kowe?” 
“seket lima ewu pak.”
September, oktober, november, desember, dan sekarang Januari. Tak terasa sudah sekitar enam bulan kalau tidak salah hitung saya hidup dan kuliah di Jakarta. Kalau orang kampung bilang saya mengadu nasib ke ibu kota, sedangkan kalau menurut orang kota saya adalah kaum urban yang semakin membuat mereka sesak bernapas saja. Apapun itu bagi saya itu tidak lah penting. Yang jelas semua begitu cepat berlalu, padahal serasa seperti baru kemarin saja saya bermain-main dengan nilai. Saya dan teman-teman saya---mungkin termasuk anda. saat itu terseret dalam euforia tahunan, yaitu gegap gempita UN (UJIAN NYONTEK nasional).
Jauh-jauh hari sebelum party itu dimulai, kami membentuk satgas pemberantasan tidak lulus (TL). Atas dasar yaitu demi kehormatan nama baik sekolah kami dan atas nama keadilah ‘bahwa setiap siswa berhak lulus’. Satgas sendiri dibentuk dan mendapat mandat langsung dari Kepala Sekolah Kami. Anggotanya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu bagian behind in the scene meliputi para Guru-guru jempolan di sekolah kami dan Para eksekutor lapangan yakni semua siswa. Para eksekutor sendiri masih dibagi menurut kadar kepekatan otak masing-masing. Pada saat itu saya mendapat jatah posisi terhormat yaitu sebagai Receiver of answer. Dan akhirnya party selama lima hari itu berhasil kita lalui dengan ‘lancar’. Sehari setelah pengumuman kelulusan Kepala sekolah menyatakan satgas telah sukses menjalankan tugas.

Sebelas Februari


“huuaahh....”
“berisik amat nih, gangguin orang tidur aja.”
Aku maki alarm yang ku setel sendiri. lalu sambil mencoba membuka mata yang masih berat, tanganku jelalatan mencari-cari handphone yang dari tadi tak berhenti berdering. Tak lama ku temukan handphone tepat berada dibawah bantal, ku lihat di jam handphone sekarang sudah pukul 05.00 pagi. Dengan mata yang masih setengah tertutup ku buka pesan baru yang tadi malam belum sempat ku baca karena ketiduran, ternyata sebuah kartu nama.

Nama
Riska Aurelia
Ponsel
+6287733478633
Singkronisasi                           
Pribadi

Aku kaget dan langsung berdiri dengan perasaan setengah tak percaya ketika membacanya. ku coba membuka mata lebar-lebar untuk memastikan bahwa  aku benar-benar sudah terbangun dan tidak sedang bermimpi. lalu ketika menyadarinya aku pun terkulai lemas, ku rebahkan tubuh ke tembok kamar.
hatiku benar-benar masih tak percaya dengan semua ini, setelah penantian panjang selama ini. Dan tanpa ku sadari linangan air mata telah membasahi wajah kusamku.
Delapan tahun lamanya aku terpisah dengannya, tak tahu dimana keberadaanya. Delapan tahun pula aku mencarinya, bertanya kepada teman-teman SMPku, menanyakan kabarnya, keberadaanya, rumahnya, atau hanya sebatas nomor handphone. Tapi tak pernah ada hasil.
Wilda, dialah yang mengirimiku kartu nama Riska semalam. Dia adalah sahabat Riska saat SMP dulu. Tempo hari aku menanyakan keberadaan Riska dan bertanya apakah dia memiliki nomor handphone Riska yang bisa aku hubungi. Tapi saat itu dia mengaku tak memilikinya.
Kini setelah hari-hari panjang yang ku lalui, begitu tiba-tiba, disaat aku mulai belajar untuk merelakan kepergiannya. Hari ini, ku temukan dia, Setidaknya membuka lagi harapan yang telah ku simpan rapat-rapat.
Ku terbangun dari lamunanku saat teringat bahwa hari ini aku berencana akan pulang ke kampung halamanku mengikuti tradisi mudik saat lebaran tiba. Jam dinding kamar menunjukkan sudah pukul enam lewat. Ku usap air mata yang belum mengering, lalu segera bergegas untuk menuju ke terminal Bus pulogadung.

30 Januari 2011

KING KENNY RETURN



 “Yang bisa saya lakukan hanya menjanjikan kalau apa yang sudah saya lakukan saat mengikat kontrak untuk klub ini di tahun 1977 – bahwa mereka akan mendapat 100% tenaga dari Kenny Dalglish dan itu yang akan saya lakukan”.
Dua puluh satu tahun lalu kenny Dalglish bersama liverpool meraih trofi liga inggris untuk yang terakhir kalinya. Kini dia kembali menginjakkan kakinya di rumput Alfield dengan status yang sama seperti pada kala itu yakni sebagai manager The Reds. Pria pengoleksi 335 cap penampilan dengan 118 goal kala menjadi pemain itu adalah manager impian para liverpudlian. “King Kenny...King Kenny...” begitulah suara teriakan kekecewaan yang bergemuruh di Tribun kebesaran The Kop saat Liverpool harus berkali-kali tertunduk di musim ini. Dalglish pun akhirnya ditunjuk management menggantikan Hodgson yang dianggap gagal mengangkat peforma klub musim ini.
Namun kini “King Kenny” sebutan para fans, datang di saat yang sama sekali berbeda dengan dua puluh tahun yang lalu. Dia datang di kala si Merah mengalami masa-masa paling sulit dalam beberapa tahun terakhir. Liverpool kini tak lagi dianggap sebagai calon pemburu gelar liga, dan posisi sebagai salah satu anggota big four telah digantikan klub kaya raya The Citizent. Tentu saja rentetan hasil buruk yang diperoleh bersama manager Roy Hodgson telah menyakiti hati para pendukung setia The Reds. Namun itu tidak serta merta merupakan kesalahan tunggal Hodgson. Kesulitan keuangan dan utang klub yang membelit sehingga kesulitan membeli pemain yang berkualitas, ketergantungan pada duo sosok Gerrad dan Torres serta krisis kepercayaan diri para pemain punya andil besar buruknya peforma si Merah musim ini.

APATIS ATAU IDEALIS?



"Jika kita dalam perjuangan revolusioner tidak mengambil inisiatif duluan, maka lawan mendapatkan keuntungan menguasai kemauan dan perbuatan kita sehingga kita dipaksa dalam keadaan pasif melumpuhkan." (Tan malaka:Naar de 'Republiek Indonesia')
Saat ini penegakan hukum bangsa kita tengah compang-camping. kehilangan kekuatanya, sehingga borgol-borgol tak mampu lagi mengikat para tikus-tikus gendut yang kian rakus saja mencabik-cabik hak orang-orang yang ‘sengaja dilupakan’. Mewabahnya dalang-dalang pewayangan yang pintar memainkan skenario cerita 1001 malam versi markus semakin melumpuhkan sendi-sendi eksistensi kita sebagai negara hukum.
Tengoklah kasus arthalita-urip, ballout century, Anggodo, dan sekarang Gayus tambunan. Itulah hanya sebagian kecil kasus yang ter-scaning didalam cerita 1001 malam tersebut. Masih banyak virus-virus yang tak terdeteksi. Mungin karena ganasnya Mr.virus tersebut, sehingga antivirus itu sendiri telah terkontaminasi virus sehingga bersekongkol untuk tidak membuka siapa dalang dibalik semua ini. Sehingga yang tertangkap hanyalah virus-virus ringan macam worm.
Hukum itu ibarat sebuah payung. Ketika kita ingin payung itu dapat memayungi dengan kuat dan kokoh, maka kita harus membuat pilar-pilar penyangga payung tersebut yang kuat dan kokoh pula. Pilar-pilar penegakkan hukum sebuah negara itu sendiri ada tiga, yaitu hukum itu sendiri (law), aparatur hukum (institution of law), dan rakyat yang dinaunginya (public).