14 Desember 2013

Daur


Seandainya hujan, ingin kupeluk
Hangat yang tersisa dari dingin
Sambil ku bayang perapian rumah
Bermanja berdua menghabiskan puisi

Rupanya kita, menatap langit di persimpangan musim
Mencium bau petrichor yang teduh
Sementara tanah seolah pasrah pada hujan, sesaat itu
“Dia seperti kita: batu dan air”, kata angin

Tetapi kupilih punguti sisa-sisa debu kemarau
Di sela-sela kenangan dan dingin
Kurangkul hujan sampai senja
Menunggu  dalam rindu berkelindan

Rawamangun, Desember 2013

13 Desember 2013

Membaca Ulang Pendidikan

Judul buku      : Mazhab pendidikan kritis
Penulis             : M. Agus Nuryatno
Penerbit           : Resist Book
Cetakan           : Pertama, juli 2008
Halaman          : 133 halaman, i-vii, 14 x 21 cm


Fenomena mahalnya biaya pendidikan, munculnya sekolah-sekolah elit yang menjual berbagai macam fasilitas, lalu masuknya korporasi dan bisnis waralaba dalam insitusi pendidikan. Kecenderungan semacam ini menujukkan sekolah dan perguruan tinggi telah menjadikan corporate values sebagai nilai utama dalam membangun institusi pendidikan melebihi academic values. Maka tak dapat ditampik ketika muncul sarkastis: sekolah untuk dijual.

Disis lain, remaja sekarang terjebak dalam budaya pop: fun, food, fashion yang semakin kehilangan identitas dan seolah membenci diri mereka sendiri. Kemudian terjadinya paradok ketika setiap hari remaja mengkonsumsi nilai-nilai budi pekerti di sekolah akan tetapi kecurangan UN, kecelakaan lalu lintas, tawuran antar sekolah, dan tindak kriminalis yang melibatkan remaja terjadi dimana-mana.

Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa pendidikan seakan tak mampu menjawab problem sosial ini? Apakah ini hasil dari proses pendidikan? Jika iya, mengapa ini terjadi? Lantas pengetahuan, nilai-nilai, dan ideologi apa yang dipakai dan diajarkan di sekolah?

Pertanyaan semacam ini tentu sulit dijawab oleh paradigma pendidikan tradisional,yang menempatkan proses pendidikan terbatas pada proses belajar di ruang kelas. Sebab cara pandang ini melihat pendidikan harus dipisahkan dan terisolasi dengan realitas dan masyarakat sosial. Tetapi wacananya direduksi dalam persoalan transfer dan konsumsi pengetahuan tekstual kepada murid.

Pandangan semacam itulah yang ditentang oleh pendidikan kritis. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial, kultur, ekonomi dan politik yang lebih luas. Institusi pendidikan tidaklah netral tetapi menjadi ajang pertarungan berbagai kepentingan. Relasi yang terjadi antar pendidikan dengan pengetahuan, kekuasaan dan ideologi tertentu  ini yang coba ditunjukkan sekaligus menjadi kritik terhadap pendidikan bagi Agus Naryatno dalam bukunya Mazhab pendidikan kritis.

6 Desember 2013

Refleksi Hari Guru

Setiap tanggal 25 November bangsa kita memperingatinya sebagai Hari guru. Upacara peringatan diadakan oleh sekolah maupun pemerintah. Pidato dikumandangkan, kerap kali disertai dengan pemberian penghargaan kepada guru-guru yang dianggap berprestasi. Seperti itulah Hari guru diingat. Sebatas romantisme yang minim refleksi terhadap sejarah perjuangan guru untuk perbaikan dan perubahan guru-guru.

Nyatanya memori tentang Hari guru tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjuangan bangsa ini. Meskipun baru ditetapkan tahun 1994, tetapi perjuangan guru-guru telah ada sebelum negeri ini berdiri. Sejarah mencatat tahun 1912, telah ada Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHI), yang dua puluh tahun kemudian berubah nama menjadi persatuan guru Indonesia (PGI). Sempat dilarang pada masa jepang, pasca kemerdekaan diadakan kongres guru pada tanggal 25 november 1945 yang melahirkan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

Dalam rentetan sejarah organisasi guru tersebut, mengingatkan kita pada guru-guru jaman itu yang ikut berjuang mewujudkan kemerdekaan bangsa. Baik melalui pensil dan buku di dalam ruang kelas, maupuan dengan turut dalam revolusi fisik melawan pemerintah kolonial. Kita juga ingat bagaimana Ki Hadjar dan guru-guru taman siswa kukuh meski dicap sebagai sekolah liar. Atau Tan malaka yang dibuang ke Belanda karena mendidik para kaum kromo  melalui sekolah Sarekat Islam (S.I. school).

Di awal kemerdekaan, guru-guru dalam organisasi guru tak surut dalam pergolakan dan dinamika bangsa. Organiasi guru terlibat dalam merumuskan sistem pendidikan nasional, menentang kebijakan keliru seperti sekolah guru C yang hanya dua tahun (Buchori: 2007). Semua itu menjadi rekam jejak guru-guru menempatkan dirinya dalam aktivitas subversif melawan kolonial, sekaligus menjadikan guru yang bebas dari kepentingan luar.

Mahasiswa untuk Perubahan

Menjadi mahasiswa merupakan sebuah identitas sekaligus situasi yang seharusnya tidak semata seorang lihat dalam cara pandang akademik. Melihat mahasiswa sebatas sebagai tindak lanjut dalam strata pendidikan. Hanya terkait dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang seorang pilih serta profesi yang nantinya ingin seseorang geluti.

Akan tetapi menjadi mahasiswa juga harus seorang pahami secara politis. Perspektif sosiologi memandang menjadi mahasiswa adalah upaya untuk mempertahankan kelas (status quo). Karena bagi seseorang yang berasal dari keluarga kelas menengah, yang memiliki kapital atau modal ekonomi, menjadi mahasiswa sebagai jalan mempertahankan kelas sosial orang tua dan keluarganya.

Implikasinya pendidikan justru tidak menjadi mobilisasi sosial tapi mempertahankan siklus kemalangan masyarakat kelas bawah. Pendidikan menjadi penciptaan ulang dominasi sosial yang telah ada sebelumnya. Situasi yang diskriminatif dalam pendidikan tersebut yang menyebabkan kesenjangan sosial dalam masyarakat.

Dalam dikotomi permasalahan sosial tersebut, peran mahasiwa menjadi penting. Menjadi mahasiswa semestinya untuk perubahan. Baik perubahan dalam diri, perubahan dalam pendidikan, maupun perubahan dalam masyarakat.

Sebuah perubahan hanya terjadi ketika kita keluar dari situasi yang sama. Tidak mereproduksi cara yang sama, tapi memproduksi sistem yang baru. Mahasiswa harus mengembangan habitus yang berbeda untuk menciptakan transformasi sosial. Dalam habitus baru ini seorang mahasiswa dituntut dapat berpikir kritis dan bersikap otentik. Freedom!




*tulisan ini dimuat koran sindo 12 November 2013

5 Desember 2013

Menulis Esai dan Sehari-hari

Setiap orang semenjak pertama kali di bangku sekolah telah dikenalkan dengan aktivitas menulis. Selain dua aktivitas lain yakni membaca dan menghitung. Dari menulis “ini budi” sewaktu sekolah dasar, sampai menulis sebuah makalah yang tebal ketika di Perguruan tinggi, Artinya belasan tahun sebenarnya aktivitas menulis telah menjadi sehari-hari. Akan tetapi situasi yang terjadi, kerap seorang mahasiswa “gagap” ketika diminta untuk menulis. Merasa tulisannya gagal atau buruk. Mengapa ini terjadi?

Pada dasarnya menulis apapun, entah karya tulis, esai, atau reportase hanyalah bentuk output dari aktivitas menulis kita. Perbedaanya hanyalah terletak pada kerangka metodis dan sistematika yang berbeda dan masing-masing. Tetapi prinsipnya semua jenis tulisan sebagai proses bernalar untuk dituangkan dalam tulisan yang melibatkan pertanyaan mendasar: apa, mengapa, dan bagaimana.

Ambilah contoh sederhana. Sebuah skripsi tentu akan mempermasalahkan tentang “variabel” apa yang hendak diteliti, mengapa variabel itu dapat dirumuskan sebagai masalah? Lalu bagaimana itu dijelaskan dalam metode ilmiah? Baik melalui  analisis pustaka, penyingkapan studi lapangan, maupun penjabaran sebuah gagasan.

Dalam reportase, seorang reporter tentu akan berpedoman pada 5W + 1H ketika hendak menulis berita atau hasil liputannya. Namun tetap saja aspek what, why, dan how menjadi hal penting yang harus digali. Ketika menuliskannya, Ia akan berangkat dari pertanyaan: peristiwa apa yang terjadi? Tentu dengan ukuran sejauh itu penting dan menarik. Mengapa peristiwa itu terjadi? Dan bagaimana kronologinya?

Demikian pula dalam menulis esai. Arif budiman dalam esai tentang esai memberi penjabaran singkat tentang esai: “Esai adalah karangan yang sedang panjangnya, biasanya dalam bentuk prosa, yang mempersoalkan suatu persoalan secara mudah dan sepintas lalu – tepatnya mempersoalkan suatu persoalan sejauh persoalan tersebut merangsang hati penulis”.

Siap Belajar dan Mengabdi

Ada pepatah long life education, belajar itu sejak dari buaian sampai liang lahat. Dengan begitu, sesat bila mahasiswa menganggap dirinya belajar di perguruan tinggi untuk siap-pakai bekerja. Jelas ini bertentangan dengan nalar akademik. Siap-pakai mengunakan logika produksi, menganggap perguruan tinggi semacam pabrik dengan mahasiswa sebagai produknya.

Alih-alih siap-pakai, banyak kasus lulusan merasa ilmu yang didapat di kuliah tidak berguna. Mengapa? Sebab teknologi dan ilmu pengetahuan itu terus diperbaharui. Perkembangan industri selalu lebih cepat daripada pendidikan di perguruan tinggi. Artinya apa yang dipelajari di kampus, akan selalu “ketinggalan zaman”.

Maka seperti kata Mochtar Buchori, penting mengasah kemampuan bagaimana cara belajar. Contohnya seorang lulusan ilmu komputer harus mampu belajar lagi tentang software dan program baru. Begitu pula lulusan guru harus terus melek menggali ilmu pendidikan dan metode mengajarnya.

Kemampuan itu tidak diperoleh begitu saja oleh seorang mahasiwa. Tidak hanya dengan duduk diam di ruang kuliah, berkutat dengan diktat dan ceraman-ceramah dosen. Menjadi mahasiswa yang hanya kuliah pulang untuk mengejar Indeks prestasi.

Tetapi dibentuk dengan aktif mengikuti berbagai kegiatan di kampus seperti kesenian, diskusi, menulis, dan kegiatan kampus lain. Semua itu akan menempa diri, mendidik jiwa, serta mentalitas siap-belajar. Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib  tidak dibesarkan di ruang kelas, tetapi aktivitas di luar kelas. Bahkan mereka menolak ruang kelas.

Tidak kalah penting, mahasiswa jelas menjadi tumpuan dan harapan bangsa. Sepatutnya melakukan hal-hal yang memiliki nilai tambah sosial di tengah kemasyarakatan. Seperti menciptakan produk alternatif yang bermanfaat bagi dusun tertinggal, melakukan bakti sosial, dan mengajar anak-anak jalanan. Mengabdi sebagai jalan membangun negeri sekaligus diri.

Ignas Kleden mengingatkan bahwa bangsa mana pun yang maju, bukanlah bangsa dengan orang-orang yang siap-pakai, tetapi bangsa dengan orang-orang yang mempunyai semangat, kemampuan, dan kegairahan belajar yang tinggi, yaitu orang-orang yang selalu untuk siap belajar kembali menghadapi keadaan dan perkembangan baru. Maka untuk andil memajukan bangsa, Jadilah mahasiswa yang siap belajar dan mengabdi.

Koruptor Didikan Sekolah

Kita mengeluh tentang kasus korupsi yang merajarela, tentang pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh banyak pihak, termasuk mereka yang seharusnya menegakkan hukum. Jelaslah situasi ini tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, sebab para koruptor itu adalah hasil dari pendidikan negara ini. Jadi pendidikan macam apa sebenarnya yang diajarkan di sekolah?

Hasil riset Transparency International, 90% remaja berpandangan bahwa korupsi merugikan diri sendiri, masyarakat, dan negara. Akan tetapi mereka tidak menampik pengalaman korupsi seperti menyuap, mengindari tilang, dan menyontek saat ujian. Mereka pun mengaku enggan melaporkan tindak korupsi yang mereka ketahui. Realitas ini menjelaskan bahwa pendidikan telah melahirkan generasi yang hanya mengkonsumsi nilai-nilai dan moralitas tetapi tidak bersikap kritis atas  nilai-nilai yang diajarkan.

Generasi mentalitas koruptor seyogianya hasil dari pendidikan yang ada di sekolah, yakni pendidikan yang tidak membentuk character building dan nalar kritis, akan tetapi pola pendidikan yang dogmatis dan repetitif. Pendidikan hanya dilihat sebagai proses transfer pengetahuan dari guru ke murid, dari apa yang tertulis di buku dimasukkan ke otak murid. Implikasinya, murid  menerima pengetahuan  nilai dan moral yang berkutat pada teks tetapi menjauhi kontek atau realitas. Hasilnya adalah generasi yang apatis terhadap kehidupan sosial.

Selain itu pengaruh budaya positivisme dalam pendidikan, nampak jelas dalam budaya “mendisiplinkan” anak yang terjadi di sekolah. Anak dibentuk agar patuh, tunduk, menurut, rapi, dan sebagainya. Bertolak dengan yang dikatakan Ki Hajar Dewantara, pendidikan harus sesuai kodrat dan alam pikir anak. Pendidikan yang menekankan perintah, hukuman, dan ketertiban adalah bentuk pemerkosaan atas kehidupan batin anak, yang merusak budi pekerti anak.

Konflik Pasca Orde Baru

Indonesia milenium ini dihadapkan pada beragam tantangan baru yang komplek. Apa yang terjadi dalam masyarakat kita saat ini adalah mencairnya identitas yang membangun negara-bangsa Indonesia. Terjadi pergesaran kekuatan elit kelompok dominan ke kelompok lain yang sebelumnya terdominasi. Semua tak terlepas dari corak demokrasi dan kebebasan yang lahir pasca runtuhnya rezim orde baru. Akan tetapi ini pula yang kemudian memicu lahirnya konflik dan prasangka baru yang nyaris tak terjadi pada era tersebut.

Persisnya konflik pada waktu orde baru sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan. Periode ini menjadi rezim kekuasaan otoriter yang represif terhadap isu-isu identitas, semua seakan ditabukan melalui “anti-SARA”. Kemajemukan masyarakat kita pun dimanipulasi demi kepentingan-kepentingan politik,  melalui slogan-slogan penguasa yang mengatasnamakan “kesatuan nasional” dan “stabilitas nasional”.

Situasi tersebut seolah runtuh dalam masyarakat indonesia pasca-otoritarian. Berbagai identitas menampilkan diri, terlebih kelompok-kelompok yang menjadi minoritas dan suaranya dibungkam pada Orde baru. Sebut saja kelompok islam radikal, yang sering menyita perhatian dengan aksi sweeping- yang menurut mereka-  tempat maksiat, melalui tindakan yang cenderung anarkis. Lalu penolakan dengan mengatasnamakan agama terhadap kontes kecantikan, tapi bungkam terhadap kontes serupa dengan tajuk “muslimah”.

Itu adalah contoh segelintir kasus yang  menunjukkan usaha dari kelompok pendukung identitas tertentu untuk menampilkan identitas mereka, sekaligus juga memperlihatkan pergesekkan antar identitas dalam masyarakat kita. Ariel Heryanto (2012) mengatakan ada empat kekuatan besar yakni Kejawen, Liberalisme, Islam dan Marxisme, yang membentuk negara-bangsa Indonesia.

Pasca runtuhnya Orba, keempat kekuatan ini seakan saling bersaing, saling curiga dan praksis menimbulkan konflik-konflik yang terjadi sekarang ini. Rezim orba yang menabukan kemajemukan Indonesia telah menciptakan masyarakat masa ini menjadi masyarakat yang antipati dan melakukan pengkotak-kotakan terhadap identitas lain.

28 Juni 2013

Guru dan Kurikulum Sentralistik

SUDAH SEMESTINYA kita memahami masa depan sebuah bangsa ditentukan oleh praktik pendidikan hari ini. Bagaimana generasi saat ini dididik merupakan cerminan generasi di masa yang akan datang. Disinilah titik tolak dimana guru memegang peranan penting. Tak berlebihan jika dikatakan hidup matinya bangsa ada di tangan para guru. Akan tetapi apa yang dibangun dalam pendidikan kita justru mendiskreditkan guru, semenjak dalam penyiapan calon guru maupun ketika telah menjadi guru.

Salah satu faktor yang menciptakan kondisi ini adalah kekeliruan persepsi dan pemahaman penyelenggara pendidikan kita mengenai cara membangun sistem pendidikan yang baik. Segala sesuatu perihal pendidikan disikapi dengan pendekatan top down, bukannya bottom up, sehingga sering terjadi disparitas antara kebijakan dengan realitas persoalan pendidikan. Ini pula yang menjadi sebab mengapa guru-guru tak pernah dilibatkan penuh dalam kebijakan pendidikan semisal dalam pembuatan kurikulum. Padahal, guru lah yang tahu benar bagaimana kondisi pendidikan kita, proses belajar di kelas, dan apa persoalannya.

Apa yang terjadi saat ini adalah menyederhanakan persoalan pendidikan dengan menganti kurikulum yang justru merupakan kekeliruan fatal. Ditambah tanpa adanya dasar pedagogis yang jelas maupun evaluasi terhadap kurikulum yang ada (KTSP). Sebab bagaimanapun kurikulum hanyalah sebuah instrumen, kualitas pendidikan itu sendiri nyatanya tetap bergantung bagaimana guru mendidik di kelas. Artinya sebaik apapun kurikulum dibuat, apabila guru tak mampu menafsirkan isi kurikulum dalam pembelajaran dan mendidik dengan baik, akan menjadi percuma.

2 Februari 2013

LKM dalam Pikiran Saya


Saya percaya kita dibentuk oleh peradaban dimana kita berada, sebagai keseharian yang dijalani dan kemudian dihayati. Kebudayaan sebagai yang sehari-hari ini terangkum dalam tiga dimensi budaya yakni ide, aktivitas dan karya.

Sekiranya kita pun memahami Lembaga kajian mahasiswa (LKM) sebagai ruang kebudayaan. Kebudayaan LKM adalah apa yang menjadi ide, gagasan, dan karya yang lahir di G.305. Dalam hal ini keseharian LKM memaknai baca, tulis, dan diskusi sebagai oksigen dalam kita bermesraan dengan pengetahuan.

Kebudayaan LKM secara praksis kemudian dimaknai dan diwujudkan dalam proker-proker. Ingin saya katakan LKM dibangun oleh peradaban ilmu pengetahuan dan karya-karyanya serta juga tanggung jawab LKM sebagai organisasi kampus di Universitas Negeri Jakarta, yang dalam hal ini saya lihat fungsi LKM sebagai salah satu media kampus.

Reportase, kreatis pemula, kreatis lanjutan adalah proker-proker yang menjadi nafas dan jantung peradaban LKM, sementara Buletin Kaji, dan Jurnal adalah proker-proker yang menjadikan fungsi LKM sebagai media kampus.

Peradaban LKM hari ini sebenarnya adalah apa yang telah dibangun dengan gigih oleh orang-orang terdahulu, para pengurus yang memikirkan organisasi ini. Mereka yang memikirkan bagaimana organisasi ini agar terus berkembang, dinamis dan maju. Karya-karya yang telah lahir seperti kemiskinan kota, restorasi pendidikan barangkali secuil yang dapat pengurus hari ini pelajari, dan juga menjawab tantangan apa yang kita pikir dan bisa berikan untuk organisasi ini sekarang dan kedepan.