15 November 2014

Melawan Dusta





Kisah Joko Widodo memasuki episode teranyar sebagai presiden terpilih. Pelantikan Jokowi menjadi momentum ruwatan massal. Merenungi kekotoran dan dusta bangsa kita, menabur pengharapan pada pemerintahan baru. Jokowi tak hanya didoakan akan memihak rakyat, janji-janji kampanye jokowi patut menjadi ingatan dan peringatan.

Selepas dilantik memegang kuasa sebagai presiden, meja kerja Jokowi sudah disesaki pelbagai permasalahan politik, ekonomi, pendidikan, sosial, kultural yang menjadi keluh kesah bangsa kita hari ini. Subsidi minyak melambung, rupiah terus tergerus, kacau kurikulum baru, rebut kekuasaan dan jabatan, riuh kekerasan, dan pelbagai propaganda lain yang telah sering muncul di seminar, ruang akademik, koran, televisi dan warung kopi.

Pelbagai pekerjaan rumah Jokowi mengharuskannya membentuk pemerintah kerja. Bukan pemerintah pura-pura, apalagi pemerintah dusta. Ini menjadi ingatan dan peringatan. Sebab politik terlanjur dimetaforkan ke dalam bahasa kotor seperti dusta, munafik, korupsi, main perempuan. Kita tidak mengarapkan Jokowi dan menterinya mengulangi kekotoran yang sama. Tantangan pokok pemerintahan jokowi adalah melawan dusta pada rakyat.

Jokowi barangkali perlu membuka catatat Manusia Indonesia, ceramah Mochtar Lubis 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki. Mochtar Lubis mencoba memberikan cermin watak, ciri-ciri khas bangsa ini seperti munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, berwatak lemah. Kita tidak menampik kalau watak semacam itu dilekatkan pada pejabat, elit pemimpin kita.

Ciri, identitas, jati diri yang direka Mochtar Lubis itu tidak lah bersifat mutlak, tetapi dapat menjadi cermin refleksi dan referensi Jokowi. Renungan lawas untuk tidak dilupakan atau ditaruh di tepian kenangan. Pemimpin memerlukan literasi sebagai otokritik koreksi diri. Sebab kita tidak menginginkan pemerintahan Jokowi berisikan tuan-tuan hipokritis, berpura-pura, lain di muka lain di belakang. Puan-puan yang pamrih, mentalitas ada udang di balik baskom.

Kita tidak menghendaki pemerintahan Jokowi adalah mereka yang di muka publik bersumpah bersih dari korupsi, lalu ternyata meringkuk di balik jeruji bui. Atau mereka yang berkata, “bukan saya” ketika diminta pertanggung jawaban atas perbuatannya dan putusannya.

Seruan revolusi mental selayaknya menjadi otokritik untuk diinsafi. Berpikir jernih bekerja untuk kesejahteraan Indonesia. Pelbagai persoalan politik, pendidikan, ekonomi, sosial dan kultural sudah siap menjadi sarapan Jokowi di awal pemerintahnya. Rekam jejak yang lurus bukan berarti tidak mungkin tergelincir. Publik menjadi pengingat dan memberi peringatan kepada pemerintahan Jokowi untuk memuliakan rakyatnya, bukan mengulangi dusta-dusta masa lalu.

*ditulis medio Oktober lalu, 2014

28 Oktober 2014

Sekolah di Tepi Pendidikan




Sekolah pernah menjadi perlambang terbitnya terang, munculnya zaman bergerak,  kelahiran elit modern. Orang ingin sekolah, orang ingin mengubah nasib. Aksentuasi sekolah selalu dikaitkan dengan angan meraih cita, memperbaiki status sosial, memartabatkan diri. Bersekolah adalah ruwatan atas kemelaratan dan kebodohan. Sekolah demi melek aksara, untuk memuliakan huruf.
Barangkali berkah terbaik yang diberikan sekolah adalah kesadaran. Pengetahuan mungkin saja coba dibentuk, diproduksi, disebarkan lewat sekolah mengejawantah kepentingan guru, kepala sekolah, menteri pendidikan, pemangku kebijakan pendidikan. Sekolah selalu bermisi kekuasaan. Sekolah kolonial diadakan demi kebutuhan tenaga perah terdidik untuk menyokong pemerintah Hindia Belanda. Sekolah Orde Baru pun melakukan hal serupa. Setiap kebijakan pendidikan tak lain manifestasi “pembangunanisme” Orde Baru.
Tetapi sekolah adalah pisau bermata dua. Mengajari seseorang membaca seperti seorang tuan hendak melepas sahaya-nya. Memberi pintu terhadap pengetahuan, pada buku-buku dan literasi memungkinkan munculnya kesadaran, penolakan, perlawanan seorang individu maupun kolektif.
Goenawan Mohammad (2011) memandang praktik pendidikan kolonial dulu adalah contoh paling mudah atas upaya politik “mimikri” lewat sekolah yang gagal. Sekolah justru melahirkan kesadaran kebangsaan. Sekolah menjadi titian awal menapak angan komunitas berbayang seperti yang diungkap Benedict Anderson (1983). Konon, alam pikir modern yang berwawas kebebasan dan kemerdekaan itu lahir dari kemelekan huruf yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Kini awal abad XXI ini jauh lebih banyak orang yang dapat membaca menulis ketimbang yang masih buta huruf. Tiap tahun pemerintah memaparkan dan memperbaharui data statistik indeks kelompok buta huruf yang terus mengecil. Tetapi kita sangsi apakah itu menjadi bukti Indonesia telah beraksara? Apakah membaca buku telah menjadi kemuliaan hidup bagi sebagian besar orang yang sudah “terberantas” buta huruf itu?
Kita menyadari melek huruf tidak diartikan semata ketika seseorang dapat membaca sebuah teks; misalkan buku pelajaran. Melek huruf berarti melakukan kerja cendikiawan; membaca tidak sekedar usaha gramatikal atau semantikal yang badaniah, tetapi upaya politik, budaya, intelektualitas, religiositas.
Sekolah tidak lagi bermisi literasi. Di kota-kota, orang dilarang sekolah apabila belum dapat membaca dan menulis. Sekolah mirip ajang seleksi. Orang yang ingin belajar dianggap peserta yang harus memenuhi persyaratan dan aturan. Sekolah menjadi tragedi pendidikan kita yang berseberangan dengan nalar edukasi.
Wajah sekolah mutakhir adalah keprihatinan terhadap pendidikan kita. Imajinasi sekolah telah bergeser digerus zaman. Ingatan sekolah disesaki represi ujian, dihantui PR, dibebali materi dan soal LKS. Sekolah menjadi ruang imperialis kapitalisasi pendidikan kita. Bersekolah menjelma melemparkan diri masuk ke dalam pabrik penghasil ijazah, gelar, profesi.
Ikhtiar berangkat ke sekolah berubah. Orang ingin bersekolah, orang ingin pamer diri. Anak-anak diantarkan ke sekolah untuk adu gengsi: telepon genggam, merk sepatu, kendaraan yang dibawa ke  sekolah. Pendidikan adalah ruang menebar benih pamrih: martabat, asal-usul, status sosial, gaya hidup. Kita lengah mengurusi pendidikan. Kini sekolah di tepi pendidikan. Miskin ilmu, miskin buku.

Arah dan Angan
Bagaimana semestinya arah dan tujuan sekolah? Sebuah pekikan kata yang telah berulang kali diserukan pada pelbagai seminar, ruang akademik, pidato kenegaraan, televisi, koran, media. Ini pula yang dimunculkan dalam diskusi kurikuLAB oleh Serrum, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta 18 Oktober lalu. Obrolan menghadirkan diantaranya Yuli Prasetyo kepala sekolah anak berkebutuhan khusus Talenta, Lestia Primayanti kepala sekolah Kembang, Bandung Mawardi esais pendidikan Bilik Literasi, Solo.

Lewat diskusi wagu di sebuah meja, arah dan tujuan sekolah diobrolkan, didiskusikan, dan coba digagas ulang oleh kepala sekolah, guru, penulis, aktivis pendidikan, dari berbagai latar sekolah. Kita gusar, kepelikan masalah pendidikan tumbuh di sekolah meski berakar dari pelbagai hal. Sekolah selalu menjadi ruang penghakiman pendidikan kita.
Diskusi berkisar pada pendangkalan pemaknaan belajar. Belajar tidak ingin diartikan sebagai mengerjakan soal dan ujian. Belajar bukan ajang kompetisi demi gapaian rangking kelas dan prestasi. Belajar tidak bertendensi ruang labelisasi si Pintar dan si Bodoh. Belajar coba direka, didefinisikan ulang.
Kekeliruan pemaknaan belajar dapat kita telusuri lewat bahasa, pakaian, buku yang digunakan dan dihadirkan di sekolah. Dari ucapan, anjuran, perintah, aturan yang dikeluarkan guru-guru dan para pemangku kebijakan sekolah. Ideologisasi sekolah dilakukan dengan sadar maupun tidak disadari.
Bereferensikan jejak sejarah pendidikan, Bandung Mawardi berorasi kalau praktek ideologisasi dapat ditelusuri lewat bahasa yang dipakai di buku-buku pelajaran. Buku-buku pelajaran tahun 50-an berjudul seperti “Bahagia”, “Cahaya”, “Matahari”. Pilihan kata yang dipakai menjadi tafsir bagaimana belajar dimaknai di zaman itu. Judul buku bergelimang imajinasi kebahagiaan. Kini, buku-buku pelajaran dipenuhi pelbagai kata, “Sukses”, “Kiat”, “Bank Soal”. Maka belajar dibentuk sebagai angan kesuksesan material, merujuk pada nalar berprofesi.
Bandung Mawardi mengungkapkan pendangkalan makna belajar nampak bagaimana kita berulang kali mengganti istilah, “murid”, “siswa-siswi”, lalu “peserta didik”. Istilah peserta mengangankan sekolah mirip sebuah agenda. Padahal dulu kita pernah memakai istilah “pelajar” yang lebih rekat dengan “belajar”. Pendidikan bergantung pada bahasa. Kata, istilah, kalimat, ungkapan yang dipakai menciptakan imajinasi dan tafsir kita mengenai belajar dan pendidikan.
Sekolah di abad XXI menghadirkan keprihatinan. Sekolah mengejawantahkan pendidikan kita yang disesaki ide industrialiasi. Sekolah tak hanya berkah, tetapi juga duka. Semenjak dulu sekolah penuh resiko dan polemik. Kita patut menyimak salah satu isi manifesto pendidikan atas Usulan Paidea, Mortimer J. Adler (1982): Sekolah memang tak dapat mengambil alih tanggung jawab pendidikan. Penyekolahan hanya sebagian dari pendidikan.


12 Oktober 2014

Kabinet Hikmat-Kebijkasanaan




Mohammad Hatta, pernah berkata: “Ketetapan hati dan keteguhan iman adalah satu condition sine qua non (syarat yang terutama) untuk menjadi pemimpin.” Ungkapan ini tegas dan lugas, seruan otokritik bagi tiap pemimpin. Hatta berkeras pandangan, kalau pemimpin tidak mempunyai moril yang kuat, ia tidak dapat memenuhi kewajibannya. 

Kita ingin memunculkan kembali memoar Hatta itu dalam pembentukan kabinet Jokowi. Berita-berita tentang kabinet Jokowi mulai merepotkan publik. Pemilihan menteri bakal menimbulkan kecewa dan pengharapan. Jokowi telah dinilai sebagai pemimpin yang menjanjikan kebaharuan politik atas rekam jejaknya. Sebaliknya publik akan kecewa apabila Jokowi jatuh dalam percaturan politik lama yang penuh transaksional.

Publik mendambakan kabinet hikmat-kebijaksanaan. Kita menantikan ketetapan hati atas politik revolusi mental yang menjadi misi Jokowi. Pengharapan kabinet profesional tak lain berisikan tokoh-tokoh yang berjiwa kuat. Bukan orang-orang yang biasa membungkuk, bukan menteri berjiwa bimbang, dengan gelagat mudah jatuh pada nafsu kekuasaan dan kesempatan mengambil alih hak rakyat.

Jokowi memang berada dalam posisi dilematis. Jokowi membutuhkan sokongan partai politik pendukungnya di pemerintahan maupun “mengamankan” kekuatan di parlemen. Tapi dalam politik kita, “tak ada makan siang gratis”. Tidak ada yang cuma-cuma atas sokongan politik. Kita pun pantas curiga pada menteri sodoran partai politik yang selama ini sarat pamrih. Idealisme ketokohan Jokowi diuji juga dimintai keteguhan iman.

Hatta pernah mengingatkan, dimana ada pertentangan yang hebat antara berbagai kepentingan, dimana ada golongan yang menindas dan ditindas, di situ sukar didapat persaudaraan. Saat itu Hatta gusar dengan egoisme para elit pantai politik PNI, Masyumi, NU dan PKI. Keempat partai politik penguasa parlemen itu saling jegal demi melenggangkan kepentingan golongan. Arogansi partai politik itu membuat usia kabinet Orde Lama tak pernah berumur panjang.

Sumbu dari seribu perkara politik adalah libido kekuasaan. Seolah kita memiliki sejarah panjang berkaitan adu politik penuh arogansi tanpa keteladanan. Kita tidak menginginkan kabinet Jokowi terjebak pada sejarah serupa. Yudi Latif (2014) dalam buku Mata Air Keteladanan, memuat kisah perumusan Piagam Jakarta, yang “menyegarkan” kita atas mata air keteladanan dalam pengamalan kerakyatan yakni pepesan untuk memimpin dengan hikmat kebijaksanaan.

Jokowi memiliki pilihan untuk menginsafi orintasi etis hikmat-kebijaksanaan dalam memilih menteri di kabinetnya. Melalui pembentukan kabinet yang didasari rasionalitas, kearifan rasa kemanusiaan, dan komitmen keadilan yang bereferensi keberpihak dan pengabdian pada rakyat. Publik menanti kabinet kerja, mendambakan kabinet yang memuliakan rakyat.

*dimuat di koran sindo sabtu, 11 oktober 2014

5 Oktober 2014

Qurban . . .






Sama seperti tahun lalu, lebaran haji kali ini saya pun tidak pulang kampung. Bedanya mungkin, kalau tahun lalu karena saya mengemban amanah kepengurusan di organisasi mahasiswa yang saya geluti sehingga tidak memungkinkan untuk pulang. Sementara kali ini saya tidak pulang kampung karena lebih alasan benturan mengajar di sekolah dan katong yang sedang kurus kering sekali.

Sudah menjadi kebiasaan barangkali saya dan teman-teman satu organisasi dimana kita juga tinggal gratis di sana selalu bangun kesiangan. Bagaimana tidak, hampir tiap malam kita begadang. Membaca buku, menulis, mengerjakan tugas kuliah, nonton film, main game, atau sekedar haha hihi sampai larut, bahkan shubuh. Untungnya saya bukan tipe yang kuat tidur larut, alias pelor. Saya pun tidak terlalu peduli ketika teman-teman saya ngecengin saya itu tukang tidur.

Bagi saya, tidur itu soal kebutuhan yang pada dasarnya setiap orang punya porsi yang sama, katakanlah 8 jam atau minimal 4 jam dalam sehari.  Barangkali yang membedakanya, kapan kita tidur?

Maka ketika teman-teman saya masih terjaga, saya sudah berwisata mimpi. Sementara ketika saya bangun tidur, mereka baru saja memulai membuat pulau!
Begitu pula yang terjadi pagi ini. Saya bangun sebelum kemudian membangunkan dua teman saya untuk sholat hari raya. Itu pun dengan segenap kantuk disertai malas-malasan. Untungnya, tempat kami sholat letaknya tak jauh, di sebuah sekolah persis di samping kampus kami.

Tak lama setelah kami sampai, segenap jama’ah menjalankan ibadah sholat hari raya idhul adha yang cukup khusyuk. Selepasnya, kita pun mendengarkan khutbah. Isi khutbah berkisar tentang pengulangan cerita perintah Alloh kepada Ibrahim untuk menyembelih putranya, Ismail. Selebihnya, adalah pengayaan cerita dan pelajaran yang dapat kita ambil atasnya. Isi khutbah semacam itu saya telah mendapatinya semenjak saya SD. Kita semua nyaris hapal dengan cerita seruan penyembelihan ismail. Beberapa dari kita maklum, ya memang seperti itulah isi khutbah sholat hari raya haji.

Saya merasa hal semacam ini yang membuat islam mengalami kemandekan. Dalam masyarakat kita, seorang ustad atau kyai menjadi mercusuar berkiblat dalam memperoleh pengetahuan agama. Pendidikan agama nyaris berangkat dan berasal dari para ustad atau kyai. Kita beragama bergantung pada ustad dan kyai. Lewat kata, ucapan, perintah yang terlontar dari seorang kyai, kita mendapati cermin watak islamiah yang hendak disebarluarkan, diamini.

Saya adalah bagian dari masyarakat yang semenjak kecil belajar agama lewat berbagai agenda pengajian di kampung. Kami tidak mengenal Quran terjemah. Kami tidak mengerti, bahkan untuk sekedar mempertanyakan apa isi ayat demi ayat yang kami baca. Bagi kami, kyai adalah penyambung isi Quran. Kami meyakini, pak kyai sudah khatam isi Quran. Kepada beliau lah kami belajar agama.

Kini setelah dewasa saya mulai bertanya. Mengapa di kampung-kampung, kita tidak diajarkan mengaji ayat-ayat berbahasa arab itu dengan terjemahan bahasa ibu kita? Bukankah kita seperti orang buta ketika membaca ayat tanpa mengerti apa yang sebenarnya kita baca? Bukan kah Quran diturun kan sebagai petunjuk? Bagaimana kita mendapatkan petunjuk bila kita tidak mengerti sama sekali isi Quran yang kita baca?

Apabila kita telisik sejarah, para kyai, mubaliq, atau sunan, memiliki posisi penting dalam sejarah penyebarluasan islam. Mereka menjadi tokoh rakjat yang dikisahkan turun temurun. Surau-surau dan pesantren menjadi pusat  penyebaran dan belajar ilmu agama. Baru ketika masa kolonial, pola-pola pendidikan agama mengalami perubahan ketika pemerintah belanda mendirikan sekolah-sekolah rakjat. Situasi ini terus berlanjut sampai sekarang, nasib pendidikan agama nyaris dibebankan semua pada sekolah.

Meskipun begitu, para kyai tetap menjadi tokoh rujukan untuk belajar agama. Sedikiti dari kita yang belajar agama lewat Quran, dari teks-teks sejarah islam. Kita belum belajar agama dari buku. Kita mengalami kemandekan, agama masih diajarkan seperti 1500 tahun lalu, yakni lewat lisan. Belajar agama lewat teks belum menjadi rujukan di zaman ini.

Saya sebenarnya orang yang selalu menantikan sebuah khutbah yang berisi kisah, nukilan ajaran agama yang menarik. Tetapi saya saya sering dikecewakan oleh pengulangan isi khutbah seperti kisah penyembelihan Ismail itu. Atau pengulangan isi-isi khutbah seperti tentang keutamaan puasa ini dan itu, rahasia sholat shubuh, tentang iming-iming pahala. Saya protes kepada para kyai.

Saya memang cerewet dan banyak meminta dari agama yang saya yakini. Karena saya yakin agama saya ini tidak sekedar mengajarkan perihal yang berkutat iming-iming pahala dan surga.  Banyak hal baik dari agama yang dibawa oleh Muhammad ini. Agama saya ini mengajak kita pada fastabiqul khoirat, untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Ber-qurban hanyalah bagian kecil dari perintah ini.

Rasanya perintah ber-Qurban bukan sekedar menjalankan kewajiban agama, ibadah untuk menghapuskan dosa-dosa dan mendapatkan pahala, apalagi semata untuk pamer atau ri’ya kepada orang lain. Qurban adalah ajaran humanis yang penuh rasa kemanusiaan yang adil, beradab dan agamis. Qurban adalah ibadah yang sangat pancasilais.

Ber-qurban pun tak melulu potong kambing atau sapi. Setiap orang berkesempatan untuk Qurban kok.  Makna qurban adalah apa yang seringkali kita pikir adalah milik dan hak kita sebenarnya bukan milik kita sama sekali. Menjadi pejabat ternyata bukan milik kita apalagi milik partai politik, tetapi pejabat adalah milik rakyatnya. Menbeli bensin bersubsisi ternyata bukan hak kita, tetapi ternyata ada yang lebih berhak mendapatkan bensin bersubsisi itu. Lolos CPNS lalu menjadi pegawai negeri sipil ternyata bukan rezeki kita, bukan pula menjadi pegawai pemerintah yang dituntut netral, sebab ternyata menjadi PNS itu ya mengabdi kepada sipil. Ber-Qurban itu . . . . 

Ustadz, andai kita semua mau Qurban?