30 September 2014

Minyak dan Dagelan



Ada sebuah adagium, minyak mudah membakar atau membuat kita tergelincir. Rasanya kita perlu berwawas itu ketika BBM dan ribut-ribut soal subsidi minyak menjadi bola liar di tengah wacana publik.

Tiap kali ada isu kenaikan BBM, publik cepat terbakar menanggapi. Terutama para elit politik kita yang suaranya terbelah, antara yang memberi reaksi penolakan maupun dukungan. Lucunya sekalipun berbeda sikap dan argumen, masing-masing pihak merasa itu semua atas kepentingan masyarakat kecil.

Hal seperti itu terus berulang tiap kali isu BBM mencuat. Lama-lama publik pun menjadi jemu. Melihatnya sebagai pertunjukan politik yang membosankan dan memuakkan. Para elit politik itu lebih tampak sedang tampil sebagai maklar politik ketimbang seorang “wakil” yang memikirkan masyarakat kecil. Putut EA (2009) menyebut maklar politik itu seperti ular, mereka suka berganti kulit. 

Kita mendapati politik simpati. Para elit politik kita tahu betul kalau minyak itu menyangkut hajat orang banyak. Bagi para oposan, kenaikan BBM jadi senjata untuk menggoyang pemerintahan. Sementara bagi pemerintah, menaikkan harga BBM bukanlah kebijakan populis. Bisa-bisa tergelincir jika tidak berhati-hati. Hitung-hitungan politik semacam itu menjadi cermin mentalitas yang bebal.

Kita mengingat Abdul Rohim, seorang sopir yang prihatin dengan banyaknya paku di jalanan Jakarta berinisiatif memunguti paku itu setiap sebelum berangkat kerja dan sepulangnya ia kerja. Kegiatan ini mempertemukannya dengan Siswanto yang memiliki kepedulian serupa. Magnet bekas speaker pun dimodifikasi keduanya menjadi alat penyapu paku. Sederhana tapi menusuk nurani, bagi Siswanto, “Daripada mengeluh dan menunggu ada langkah pemerintah, bukanlah lebih baik kita turun ke jalan?”

Cerita itu hanyalah nukilan dari kisah-kisah lain mengenai keteladanan pengamalan pancasila oleh Yudi Latif (2014), dalam buku Mata Air Keteladaan. Lewat buku itu Yudi Latif seperti ingin menghadirkan tokoh, peristiwa, pengamalan pancasila dalam perbuatan. Kisah-kisah itu dihadirkan ditengah keringnya nya nilai-nilai keteladanan dalam masyarakat kita saat ini yang sibuk dengan berbagai macam dagelan.

Dari  kilas kisah penyapu paku itu, para elit politik dan kita selayaknya menginsafi mereka ketika persoalan minyak terus menjadi hantu. Minyak tidak untuk menggerakkan mobil pribadi orang-orang yang tak malu memiskinkan dirinya membeli BBM subsidi. Tetapi minyak menggerakkan keteladanan yang dicontohkan orang-orang seperti Abdul Rohim dan Siswanto. Masalah minyak lebih banyak bersumber dari sumur mentalitas kita yang tidak pancasilais.

Krisis Membangun Desa



Pengharapan pembangunan pasca pemilu presiden mengingatkan saya pada kisah para pengarjin anyaman bambu boboko di desa Trajaya, Majalengka dalam buku Menali Kehidupan, Meraut Kesabaran (2014). Buku itu berkisah tentang para pengarjin anyaman bambu yang bergulat dengan persoalan masyarakat desa seperti kesulitan ekonomi, pendidikan dan kemandekan sendi kehidupan lain.

Seperti yang diutarakan Budayawan Mudji Sutrisno dalam buku itu, desa terekam sebagai ruang terjadinya kemiskinan kultural dan struktural, keterputusan atas pewarisan budaya menganyam boboko kepada yang muda, hingga desa dikisahkan sebagai ruh seni merajut kerajinan rakyat Trajaya demi menghidupi nafkah mereka.

Pemimpin terpilih nanti semestinya menyadari, kita mengadapi masalah desa, krisis membangun desa. Sementara setiap tahunnya laporan perekonomian terus tumbuh, tetapi kita terus mendapati kasus kelaparan, putus sekolah, dan potret desa-desa yang tertinggal. Dominannya kebijakan ekonomi yang berpusat di kota, telah tidak berpihak pada ekonomi desa dan pemerataan pembangunan.

Status sosial dan urbanisasi menjadi persoalan dasar atas mentalitas masyarakat desa kita. Pemimpin terpilih mengadapi persoalan klasik orang desa yang  membayangkan kehidupan kota yang maju, produktif, dan modernis. Ini perlu ada political will dari pemimpin terpilih nanti, melalui kebijakan yang berpihak pada masyarakat kecil di desa. Menciptakan mentalitas baru, yakni masyarakat yang membangun desanya.

Pemimpin terpilih selayaknya mengingat apa yang dikatakan oleh Y.B. Mangunwijaya (1978), bahwa desa jangan dijadikan hinterland (daerah belakang) untuk menghidupi kota. Tetapi bagaimana perkembangan desa-kota itu berlangsung secara simbiosis yang saling menguntungkan. Seharusnya kota mengembalikan hasil-hasil produksi kepada desa sehingga desa dapat dikembangkan.

Karenanya membangun desa tidak sama dengan membangun kota. Pemimpin terpilih nanti ketimbang berusaha mengubah desa menjadi kota baru, akan lebih tepat mempertahankan pola lama perekonomian desa yang bernuansa gotong-royong dan kerakyatan. Membangun desa bukan perkara mengolah sumber daya alam saja, tetapi juga sumber daya manusia. Desa bukan hanya keperluaan infrastruktur dan teknologi, tetapi mengubah mentalitas sosial dan budaya.

Pemimpin terpilih nanti selayaknya membaca kisah-kisah orang desa seperti kisah para pengrajin anyaman bambu dalam buku Menali Kehidupan, Meraut Kesabaran. Agar pemimpin terpilih menyadari krisis pembangunan desa selayaknya menjadi perhatian. Pembangunan desa kita maknai dalam arti pembaharuan ekonomi dan pendidikan yang berkeadilahan pada desa. Sementara membangun desa dapat dimulai dengan pemimpin terpilih nanti menghadirkan orang-orang yang terdidik dan terlatih di desa-desa, orang-orang yang mau berkotor tangan mengembangkan desa. Begitu.

*pernah dimuat dalam Koran Sindo

Politik Bergantung Bahasa



Semenjak dulu politik bergantung pada bahasa. Kata, istilah, kalimat, ungkapan yang hadir dalam politik menciptakan persepsi dan tafsir pada ruang publik. Lewat bahasa kita dapat menafsir politik hendak diarahkan pada demokrasi, keadilan atau politik bermisi kehausan atas kekuasaan. Kita bergelimang bahasa politik dalam agenda pemilihan umum saat ini. Pelbagai kampanye politik memenuhi surat kabar, televisi, dan media sosial. Bahasa menjadikan ruang publik penuh sesak dengan politik.

Kita mengingat Soekarno pernah menjadi orator sangar dalam pidato-pidato penuh bergelora. Orasi “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis” pernah menjadi cermin politik “revolusi” Soekarno yang anti kapitalisme Barat. Bagi pemimpin besar revolusi, Pidato menjadi referensi politik. Istilah dan ungkapan seperti Nasakom, Jas merah, Berdikari menjadi bahasa orisinilnya. Bahasa menjadi senjata politik paling ampuh bagi Soekarno.

Lain hal dengan Soeharto, bahasa pernah menjadi alat politik anti-politik era Orde Baru. Oleh Soeharto, “revolusi” diganti dengan “pembangunan”, haluan “politik” berubah “ekonomi”. Kata “pemuda” yang bermakna subversif diganti dengan kata “remaja” yang bersifat kekanak-kanakan. Melalui politik bahasa EYD, Orde Baru berkepentingan menghilangkan ingatan Orde Lama. EYD tak semata ejaan yang disempurnakan, melainkan politik edjaan pengalihan sedjarah.

Bahasa terus direproduksi, dihadirkan,disebarkan, lalu dilekatkan. Bahasa menjadi referensi politik setiap zaman. Tetapi bahasa juga selalu menjadi antitesa politik. Pasca reformasi, kita berulang-ulang disuguhi oleh para pemimpin negeri ini dengan kata-kata seperti perubahan, perbaikan, kesejahteraan, demokrasi, keadilan dan Hak Asasi Manusia. Bahasa semacam itu semakin sering kita dengar, lihat, dan baca dari kampanye sekarang ini.

Hari-hari penuh sesak bahasa kampanye. Masing-masing kubu melontarkan kata-kata kampanye. Tidak hanya ide, misi, dan program kedepan, kita mendapati bahasa sindiran, cemooh, bahkan fitnah. Fakta dan data disetir untuk pihak yang dibela, persepsi dibentuk dan digiring pada salah satu kubu yang didukung. Kita kecewa, ruang publik justru lebih banyak dijejali kampanye hitam miskin nalar. Lebih sering bahasa arogan ketimbang bahasa intelektual.

Sejarah mengingatkan, bahasa bermakna politis. Kita tidak memilih pemimpin yang bergelimang bahasa politik sindiran, cemooh pada lawan politiknya. Kita pun sudah cukup jemu dengan sofisme retorika bahasa kampanye penuh klise. Kita menginginkan hadirnya bahasa politik yang membumi, konkret, hidup dan dekat dengan persoalan rakyat. Memilih pemimpin dapat kita lihat dari kata, istilah, kalimat, dan ungkapan yang hadir dalam debat, surat kabar, televisi dan media sosial. Sebab, sekali lagi politik memang bergantung pada bahasa.