5 Februari 2015

Membela Ekonomi Orang Kecil



Indonesia adalah negara yang plural. Bukan hanya mengenai kemajemukan etnis, budaya atau agama. Tapi juga keberagaman perihal sandang dan papan. Dalam sudut ekonomi, keberagaman itu kita artikulasikan sebagai ketimpangan. Ekonomi kita seolah terjebak dalam adagium lama: yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Kota menjadi representasi paling tepat untuk mengambarkan kegagalan proyek pembangunan kita itu.

Dalam historiografi ekonomi kita, semenjak zaman kolonial sampai kini, kita tidak pernah serius dalam usaha menata ekonomi yang sama rata dan sama rasa bagi setiap pemilik kartu tanda penduduk di negara ini. Kita mengingat orang-orang kecil mengalami susah hidup luar biasa krisis ekonomi pada periode kejatuhan Soekarno. Pula ekonomi Pancasila yang dulu digembar-gemborkan nyaris hanya bentuk propaganda politik dari pembangunanisme Orde Baru. Kue pembangunan bukan milik orang kecil.

Orang kecil bukan semata merujuk pada kecilnya penghasilan hidup, atau pada profesi tertentu seperti buruh. Orang kecil adalah orang-orang yang terpinggirkan. Orang kecil bukanlah akibat dari identitas yang melekat dalam dirinya, melainkan sebagai dampak dari ketiadaan akses, ketidakadilan dalam sistem ekonomi dan pembangunan kita. Seperti, kelompok disabilitas yang menjadi orang kecil karena memperoleh diskriminasi dalam kesempatan bekerja.

Negeri ini mesti mengubah arah kemudi perekonomian. Meminjam istilah Jokowi, sudah “terang benderang” bahwa membela ekonomi orang kecil menjadi tantangan dalam ekonomi kita. Jokowi pun sebenarnya seperti sudah menginsafinya dalam kampanye politiknya dulu. Jokowi berdalih, janjinya membela orang kecil kita dapati dalam pelbagai program kartu miliknya, seperti kartu Indonesia pintar dan Indonesia sehat. Tidak hanya itu, Jokowi mengungkapkan bahwa kelompok petani dan nelayan menjadi prioritas dalam program ekonomi.

Kita tentu tidak menginginkan Jokowi adalah penjanji manis, tapi bukti nihil. Sebab orang kecil bukanlah semata komoditas politik seperti yang selama ini terjadi. Dalam demokrasi, keadilan ekonomi adalah sebuah keniscayaan. Pemerintahan baru semestinya menjadi arus balik bagi kemudi perekonomian kita agar lebih membela orang-orang kecil. Membangun ekonomi dari bawah ke atas, menempatkan para petani dan nelayan sebagai aktor pembangunan di negeri ini.

*tulisan ini dimuat di Koran Sindo pada senin, 2 Februari 2015