(Koran Jakarta, 21 Oktober 2015)
Judul : Potret Pendidikan Kita
Penulis : Ahmad Baedowi, dkk
Penerbit : Alvabet
Cetakan : I, Mei 2015
Tebal : 346 halaman
ISBN : 978-602-9193-63-3
Barangkali pendidikan nasional hari ini seperti benang kusut yang sulit diurai untuk menemukan simpul perbaikan. Buku Potret Pendidikan Kita mengajak pembaca melihat sengkarut isu-isu dan persoalan pendidikan.
Buku dibuka dengan mengurai persoalan Ujian Nasional (UN) yang saat
ini memang sudah tak menjadi penentu tunggal kelulusan dan evaluasi.
Namun karena belum dihapus, UN masih meninggalkan polemik dan
disorientasi tujuan pendidikan. Esai Adilkah UN, Adilkah Kita mencoba mengajukan sistem evaluasi yang menggunakan pendekatan peformance assessment (hal 33-35).
UN hanyalah salah satu instrumen evaluasi. Asesmen lebih luas dari
sekadar evaluasi dibutuhkan untuk melihat sekaligus menguji kompetensi
murid dalam mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan untuk mengatasi
masalah sekitar mereka.
Performance assessment dapat dilakukan dengan
memberi berbagai tugas eksperimental, portofolio, dan menulis.
Sementara UN memukul rata kemampuan setiap murid. Peformance asessment
justru melihat bahwa setiap individu unik, sehingga perlu evaluasi
pembelajaran secara pribadi yang tidak hanya melihat kekurangan, tetapi
juga kelebihan, potensi, dan minat siswa. Performance assessment memahami keberagaman (inklusif) setiap anak.
Pendidikan inklusif, selalu bersandarkan pada asas keunikan,
keberagaman, dan keadilan dengan adanya akses yang sama untuk semua
dalam pendidikan. Sayang, cara pandang pendidikan masih mengabaikan
keberagaman.
Praksis pendidikan dengan kesadaran inklusif masih sebatas wacana besar, minim kemauan politik yang sungguh-sungguh. Esai Pendidikan Inklusi: Antara Cita dan Fakta
menyoroti proses pelaksanaan pendidikan inklusi. Anak-anak dengan
kebutuhan khusus seperti autis, downsyndrome, dan tunanetra masih sulit
mendapat sekolah inklusi. Banyak sekolah reguler yang menolak mereka
(hal 71-72).
Pada bab lain, buku mengulas nasib perpustakaan yang terbengkalai
karena minim buku, fasilitas, dan pendanaan. Ini ditambah minat baca
para pelajar dan masyarakat yang rendah. Untuk mengatasinya bisa
ditempuh model digitalisasi perpustakaan.
Kekerasan guru juga menjadi sorotan. Banyak kasus kekerasan atau bullying
secara verbal, fisik, maupun simbolis yang dilakukan guru. Ada semacam
mitos yang menganggap kekerasan bisa menjadikan seorang guru terlihat
berwibawa. Seolah hanya dengan kekerasan, murid mau mendengarkan, takut,
dan menaruh hormat (hal 170-173).
Tulisan-tulisan buku ini menggambarkan wajah pendidikan nasional
terkait politik pendidikan, budaya, dan konflik di sekolah. Ini
termasuk juga persoalan guru dan inspirasi pembelajaran. Sebagai sebuah
tulisan bunga rampai, Potret Pendidikan Kita seperti almanak yang mencatat berbagai isu menarik sekaligus masalah dalam pendidikan.