25 Mei 2016

Sekolah Swasta sebagai Kritik


(Pikiran Rakyat, 8 Juni 2015)

Menarik sekali membaca perdebatan mengenai keberadaan sekolah swasta dalam tulisan “PPDB dan Sekolah Swasta” (PR, 4/7/2015) oleh Sobandi yang ditanggapi oleh Ramdhan dengan tulisan “Mempertahankan Sekolah Swasta” (PR, 6/7/2015). Tulisan pertama menekankan pentingnya dukungan pemerintah mengenai kesetaraan aturan dan kebijakan antara sekolah swasta dengan sekolah negeri. Sementara tulisan kedua menganggap bahwa kesetaraan tersebut sangat bergantung pada usaha dari sekolah swasta sendiri dalam meningkatkan kualitasnya.

Kedua tulisan tersebut sebenarnya sama-sama mencoba mempertanyakan kembali eksistensi sekolah swasta kita. Apakah sebenarnya yang menjadi tujuan dan perlunya keberadaan sekolah swasta dalam sistem persekolahan kita?

Tentu saja ini bukan semata persoalan kuantitas untuk mencukupi kebutuhan jumlah sekolah kita. Lebih jauh dari itu, semestinya kehadiran sekolah-sekolah swasta sebagai kritik pendidikan terhadap sekolah-sekolah negeri yang sudah disediakan oleh pemerintah. Bagaimana sekolah swasta dapat memberikan pendidikan dan pengajaran yang lebih baik.
Sebab hal itulah yang menjadi ide lahirnya sekolah-sekolah non pemerintah semenjak zaman kolonialisme. Sistem persekolahan sekarang adalah warisan kolonialisme. Sebelum bangsa Barat datang, pendidikan kita adalah pesantren atau Surau. Pemerintahan Belanda pada saat itu memperkenalkan ide mengenai sistem sekolah yang kental dengan nuansa Barat. Sengaja membentuk jiwa dan mentalitas Barat kepada pribumi melalui sekolah pemerintah.

Ini yang kemudian dikritik oleh para tokoh kita dengan mendirikan sekolah otonom atau non pemerintah. Sebut saja sekolah Sarekat Islam (S.I.) Semarang Tan Malaka yang sengaja diperuntukan bagi kaum kromo. Karena masyarakat biasa tidak dapat bersekolah di sekolah pemerintah Belanda yang hanya diperuntukan bagi para Priyayi.

Begitu pula sekolah Taman Siswa. Ki Hadjar Dewantara menjadikan Taman Siswa sebagai kritik terhadap sekolah pemerintah Belanda. Lewat pendidikan dan pengajaran Taman Siswa yang khas keindonesiaan yang menanamkan nilai-nilai dan tradisi masyarakat Indonesia.

Kilas sejarah tersebut selayaknya membuat kita menempatkan keberadaan sekolah non pemerintah atau swasta sebagai kritik pula terhadap pendidikan yang ada di sekolah negeri kita hari ini. Sekolah swasta dapat menghadirkan pendidikan alternatif dengan pendekatan filosofi, kurikulum, dan pengajaran yang berbeda dan lebih baik.

Keberadaan sekolah swasta sebagai sekolah milik masyarakat semestinya bukan semata untuk kepentingan bisnis dengan biaya sekolah selangit. Justru sekolah S.I. Tan Malaka dulu bertujuan untuk memberikan kesempatan pendidikan yang sama. Bila seperti itu, para orang tua dengan sendirinya akan memilih menyekolahkan anaknya di sekolah swasta.