(Pikiran Rakyat, 8 Juni 2015)
Menarik sekali membaca perdebatan
mengenai keberadaan sekolah swasta dalam tulisan “PPDB dan Sekolah Swasta” (PR,
4/7/2015) oleh Sobandi yang ditanggapi oleh Ramdhan dengan tulisan “Mempertahankan
Sekolah Swasta” (PR, 6/7/2015). Tulisan pertama menekankan pentingnya dukungan pemerintah
mengenai kesetaraan aturan dan kebijakan antara sekolah swasta dengan sekolah negeri.
Sementara tulisan kedua menganggap bahwa kesetaraan tersebut sangat bergantung pada
usaha dari sekolah swasta sendiri dalam meningkatkan kualitasnya.
Kedua tulisan tersebut sebenarnya
sama-sama mencoba mempertanyakan kembali eksistensi sekolah swasta kita. Apakah
sebenarnya yang menjadi tujuan dan perlunya keberadaan sekolah swasta dalam sistem
persekolahan kita?
Tentu saja ini bukan semata
persoalan kuantitas untuk mencukupi kebutuhan jumlah sekolah kita. Lebih jauh dari
itu, semestinya kehadiran sekolah-sekolah swasta sebagai kritik pendidikan terhadap
sekolah-sekolah negeri yang sudah disediakan oleh pemerintah. Bagaimana sekolah
swasta dapat memberikan pendidikan dan pengajaran yang lebih baik.
Sebab hal itulah yang
menjadi ide lahirnya sekolah-sekolah non pemerintah semenjak zaman kolonialisme.
Sistem persekolahan sekarang adalah warisan kolonialisme. Sebelum bangsa Barat
datang, pendidikan kita adalah pesantren atau Surau. Pemerintahan Belanda pada saat
itu memperkenalkan ide mengenai sistem sekolah yang kental dengan nuansa Barat.
Sengaja membentuk jiwa dan mentalitas Barat kepada pribumi melalui sekolah pemerintah.
Ini yang kemudian dikritik
oleh para tokoh kita dengan mendirikan sekolah otonom atau
non pemerintah. Sebut saja sekolah Sarekat Islam (S.I.) Semarang Tan Malaka
yang sengaja diperuntukan bagi kaum kromo. Karena masyarakat biasa tidak dapat
bersekolah di sekolah pemerintah Belanda yang hanya diperuntukan bagi para
Priyayi.
Begitu pula sekolah Taman
Siswa. Ki Hadjar Dewantara menjadikan Taman Siswa sebagai kritik terhadap
sekolah pemerintah Belanda. Lewat pendidikan dan pengajaran Taman Siswa yang
khas keindonesiaan yang menanamkan nilai-nilai dan tradisi masyarakat
Indonesia.
Kilas sejarah tersebut
selayaknya membuat kita menempatkan keberadaan sekolah non pemerintah atau
swasta sebagai kritik pula terhadap pendidikan yang ada di sekolah negeri kita hari
ini. Sekolah swasta dapat menghadirkan pendidikan alternatif dengan pendekatan filosofi,
kurikulum, dan pengajaran yang berbeda dan lebih baik.
Keberadaan sekolah
swasta sebagai sekolah milik masyarakat semestinya bukan semata untuk kepentingan
bisnis dengan biaya sekolah selangit. Justru sekolah S.I. Tan Malaka dulu
bertujuan untuk memberikan kesempatan pendidikan yang sama. Bila seperti itu, para
orang tua dengan sendirinya akan memilih menyekolahkan anaknya di sekolah
swasta.