(Harian Nasional, 19 Desember 2015)
Judul : Tiada Ojek di Paris
Penulis : Seno Gumirah Ajidarma
Penerbit : Mizan
Cetakan : I, April 2015
ISBN : 978-979-433-846-9
Ketika kita menyebut kata Jakarta, maka yang terlintas
barangkali tak hanya gedung demi gedung yang jangkung, namun juga deretan
perkampungan kumuh di tengah kota. Begitu pula, Jakarta tidak hanya merujuk
pada Betawi, karena Betawi hanya merujuk geografis, tapi dianggap tak cukup untuk mewakili Jakarta. Lalu apa Jakarta?
Jakarta, bagi Seno Gumirah Ajidarma (SGA) dalam bukunya Tiada Ojek di Paris adalah “ibu kota” makna. Kehidupan yang
plural, berjalan cepat, tergesa, kontras, dan penuh seliweran kontradiksi. SGA mencoba mengulik wacana demi wacana yang yang hadir dalam menciptakan kota
metropolitan dan penghuninya. Esai-esai dalam buku ini jadi semacam obrolan
urban yang nakal, nyentil, cerdas, dan bernas. Mengenai bagaimana ajaibnya Homo Jakartensisnya beserta tontonan kehidupan
urban yang penuh makna nan absurd.
Merujuk pada pola perkembangan kota-kota global kontemporer macam London, New York dan Tokyo, maka Jakarta lebih mirip Los
Angles sebagai sebuah kota postmodern. Sebuah
kota postmodern menampilkan bagaimana industrialiasi ekonomi global mengubah
basis kota menuju kombinasi industri teknologi tinggi dengan industri
berketerampilan rendah. Pekerjaan, permukiman, dan sistem transportasi membaur
dalam modernitas sekaligus tradisionil. Wajah kota penuh segregasi dan
polarisasi sosial antara kelas menengah dan kelas bawah (hal. 17-19).
Harus diakui, ternyata Homo Jakartensis atau manusia urban
Jakarta tidak pernah bisa sepenuhnya modern. Setiap tahun, kita disuguhi teater
absurd permudikan. Orang-orang dengan dorongan panggilan kampung halaman dan
asal-usul berbondong-bondong mudik. Tradisi mudik telah menjadi bagian kehidupan
metropolitan. Dalam pascamodernitas, yang modern dan yang tradisional hidup bersama (hal. 47). Bagaimanapun,
bagi Homo Jakartensis kampung tetaplah bagian dari dirinya.
Terdapat suatu stereotip: orang Jakarta itu bukan orang
Jakarta. seolah sudah terpatok dalam kepala masyarakat kita, bahwa tidak ada
orang yang asli Jakarta. SGA mencoba mengulik betapa rumitnya orang Jakarta
dalam menjelaskan identitasnya kalau pergi ke luar Jakarta. Bagaimana
problematisnya menjelaskan ketika seorang Homo Jakartensis disodorkan
pertanyaan “aslinya mana?”.
Dalam cerita yang lain, SGA menguliti Jakarta lewat wacana
(ber)mobil yang tak hanya sebagai tontonan kemacetan, tetapi lebih dari itu
jalanan dapat kita lihat sebagai pertarungan ideologi. Dalam esai Manusia Jakarta, Manusia Mobil,
dengan nyentil SGA berseloroh: dunia
Jakarta adalah dunia mobil dan kemacetan, yang telah
melahirkan semesta yang unik (hal. 21). Di mobil, kita temukan pemandangan
makan sambil nyetir, berdandan, makan sandwich, membaca koran, mendengar musik,
atau sambil memegang handphone. Jam
demi jam yang dihabiskan para Homo Jakartensis di jalanan pada gilirannya
menumbuhkan budaya mobil.
Tingkah polah manusia berubah seiring berubahnya persepsi
tentang dimensi ruang dan waktu mereka akibat tuntutan kehidupan perkotaan yang
serba cepat dan tak memberikan waktu untuk berhenti sejenak. Di Jakarta; ruang
konkret menjadi sebuah citra yang abstrak. Banyak orang Jakarta sebetulnya
merasa berumah di kantor, di kafe, dan di mobil dari pada di tempat tinggalnya
sendiri. Ketika berkata “pulang” sebetulnya ia merasa pergi ke tempat asing
(hal 182-183).
Jakarta menjadi ibu kota persilangan pelbagai wacana dan
kekuasaan. Cerita Jakarta adalah cerita tentang orang-orang modern yang tertipu
dan terkungkung oleh “kemodernannya”. Bagaimanapun, tuntutan kehidupan perkotaan
yang keras dan kontradiktif mendorong terciptanya fenomena yang kadang ganjil
dan ketika menyadarinya membuat kita mengernyit dahi.
Banyak laku hidup orang-orang urban yang khas seolah-olah
hanya dapat kita temui di Jakarta. Menengok Paris, maka hanya di Jakarta kita
menemukan ojek. SGA memandang ojek sebagai contoh terbaik
bentuk kreativitas yang tumbuh dari kebutuhan komunitasnya. Namun ojek ada
bukan hanya karena menjadi jalan pintas atas kemacetan semata. Dengan gaya
ironi, SGA membandingkan Jakarta dengan Paris. Lain ladang lain belalang. Homo
Jakartensis adalah ndoro mas dan ndoro
putri yang mboten kerso jalan kaki (hal.189).
Bagi SGA, tak aneh apabila kita kerap mendapati bagaimana sulitnya mendefinisikan Jakarta. Ketika
orang melihat ibu kota yang glamour,
sisi lain juga menyadari ibu kota juga gloomy.
Pengertian kita tentang Jakarta sangat bergantung dengan wacana yang dibentuk,
khususnya representasi media.
Masih ada esai-esai lain tentang dasi vs sandal jepit,
kopi, sepakbola, gosip, uang dengar, dan kado pernikahan. Ada 44 tulisan yang terkumpul dalam buku Tiada Ojek di Paris ini. SGA mengulas tema-tema
khas cultural
studies
yang barangkali tidak merujuk hanya Jakarta, tapi juga kota urban lain di indonesia. SGA
menyelipkan poster, slogan, kemasan, dan selebaran jadul yang menambah buku ini
menarik untuk dibaca.
Buku ini tentu saja hanya semacam fragmen atas pelbagai
wacana yang tanpa sadar, itu adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari.
Yang tentu saja, masih banyak sekali obrolan urban lain yang menarik dari
Jakarta kita. SGA pun dalam pengantar buku mengatakan,
segala gejala dalam dunia urban, mulai dari secangkir kopi luwak sampai
billboard raksasa, memang selalu “minta diperhatikan”.
Apa boleh buat, Jakarta adalah ibu kota penuh makna.
Meskipun barangkali menjelaskan Jakarta sama susahnya menjelaskan apa itu
Indonesia. Sebab “Di Jakarta,” kata Lance Castle (2007), “Tuhan sedang membikin
Indonesia”. Selamat membaca.