(Koran Jakarta, 3 Desember 2015)
Tanggal 3 Desember ini diperingati sebagai Hari Disabilitas
Internasional (HDI) yang dulu Hari Penyandang Cacat. Di sekolah,
penyandang disabilitas atau difabel disebut sebagai anak berkebutuhan
khusus (ABK). Ini sebuah istilah yang menggantikan kata cacat, tidak
normal, maupun anak luar biasa. Istilah anak berkebutuhan khusus
dianggap lebih etis, manusiawi, bermartabat, dan sesuai dengan
karakteristik mereka.
Perbaikan istilah ini diharapkan mengandung makna adanya perubahan
cara pandang masyarakat terhadap para penyandang disabilitas, termasuk
dalam dunia pendidikan. Istilah berkebutuhan khusus berusaha menjelaskan
bahwa mereka sama seperti anak-anak pada umumnya, hanya memiliki
kebutuhan belajar yang berbeda dan khusus.
Anak-anak yang tidak cacat penglihatan dapat membaca dengan mata.
Sedang anak-anak yang tidak dapat melihat, harus membaca dibantu jari
menggunakan huruf braille. Bila anak-anak yang dapat mendengar
berkomunikasi secara lisan, maka anak-anak tunarungu berkomunikasi
dengan bahasa isyarat dan alat bantu dengar. Mereka sama dan mampu
untuk belajar, hanya cara belajarnya khusus dan unik.
Kini dunia pendidikan mulai memberi kesempatan kepada anak-anak
berkebutuhan khusus untuk belajar di sekolah inklusif. Artinya anak-anak
berkebutuhan khusus tidak lagi harus belajar terpisah, di sekolah luar
biasa (SLB). Mereka dapat belajar di sekolah reguler bersama anak-anak
umumnya. Inilah yang kemudian disebut sebagai sekolah inklusif.
Sekolah inklusif mencerminkan sebuah pandangan yang melihat adanya
keberagaman dan keunikan pada setiap individu, sehingga pendidikan
semestinya dapat mewadahi perbedaan. Pendidikan inklusif tidak
membeda-bedakan anak atau segregatif. Sekolah inklusif adalah gagasan
untuk memberi kesempatan belajar yang sama pada setiap anak.
Semua anak memiliki hak untuk belajar. Pendidikan adalah untuk semua,
termasuk anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Maka, rakyat tidak
berhak melarang atau menolak anak berkebutuhan khusus yang ingin
sekolah. Mereka berhak mendapat dan memilih tempat belajar sesuai
dengan kemampuan, karakteristik, minat, dan bakatnya.
Warga tidak hidup dalam dunia terpisah, tetapi kadang malah bersikap
memisahkan orang-orang yang dianggap berbeda, terhadap anak-anak dengan
kebutuhan khusus atau difabel seperti autis, tunanetra, tunarungu, dan down syndrom. Mereka adalah kelompok minoritas yang kerap diperlakukan diskriminatif, terlebih dalam pendidikan.
Berbagai stereotip negatif dilekatkan pada mereka. Warga memisahkan
dari kehidupan dengan menyebut mereka “tidak normal.” Masyarakat
membuat semacam pagar politik, sosial, dan kultural. Sekolah adalah
contoh paling mudah bahwa kita belum bisa menghargai perbedaan.
Eufemisme
Mereka disebut anak luar biasa dan tempat pendidikannya dinamai
sekolah luar biasa. Tapi itu hanya bentuk eufemisme (penghalusan) bahasa
yang justru membuat orang bersikap membedakan. Itilah-istilah tersebut
justru menciptakan pelabelan sosial terhadap mereka. Mereka bukan
anak-anak luar biasa, tetapi biasa karena sama seperti lainnya. Mereka
tidak berbeda dengan anak lain yang juga memiliki kekurangan dan
kelebihan.
Tidak sulit hidup bersama. Ketidaksamaan bukan untuk
dibeda-bedakan, tetapi menjadi medan belajar saling memahami.
Barangkali anak-anak difabel memiliki hambatan, tapi bukan untuk
dibedakan. Sebab tak ada satu pun individu yang sama. Setiap individu
berbeda dan kerenanya setiap anak itu unik.
Merayakan perbedaan adalah menghargai nilai pluralitas. Seperti yang
St Kartono (2009) katakan, pendidikan pluralistik menciptakan situasi
sekolah untuk melayani diversity atau pluralitas siswa.
Anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti tunanetra dan tunarungu
sepatutnya dibiarkan memilih tempat pendidikan di sekolah luar biasa
(SLB) atau inklusif, sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan. Sekolah
terbaik yang sesuai dengan karakteristik anak. Apabila mampu, mereka
berhak dan harus didorong dapat belajar di sekolah inklusif.
Setiap siswa berhak diperlakukan sama. Namun setiap murid juga
diperhatikan secara pluralis, sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan
individual. Kehadiran sekolah inklusif adalah bentuk kesadaran atas
kewajiban untuk memberikan hak dan akses yang sama dalam pendidikan.
Sebab bagaimanapun menyembunyikan perbedaan hanya akan menumbuhkan
benih-benih sikap intoleran dan diskriminatif pada anak-anak. Sekolah
adalah laboratorium kehidupan. Sekolah menjadi anasir laku hidup
anak-anak. Ruang kelas menjadi tempat berbagai nilai kemanusiaan
ditanamkan dan disemai. Di situlah anak-anak diajari nilai toleransi
dan merayakan perbedaan.