(Koran Jakarta, 29 September 2015)
Judul : Hujan Bulan Juni
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : Gramedia
Cetak : Juni 2015
ISBN : 978-620-03-1843-1
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : Gramedia
Cetak : Juni 2015
ISBN : 978-620-03-1843-1
Mungkin ada yang pernah membaca puisi Hujan Bulan Juni karya
Sapardi Djoko Damono. Kini, puisinya hadir dalam bentuk karya sastra
lain. Dari puisi menjadi lagu, kemudian komik, dan nanti film. Kini Hujan Bulan Juni beralih wahana menjadi novel. Tapi tetap puitis.
Barangkali tak ada yang lebih murung dari menanti hujan di bulan Juni
yang kemarau. Seperti betapa murungnya perasaan Sarwono karena gelisah
memikirkan Pingkan, kekasihnya yang pergi ke Kyoto. Sarwono ingin
menulis puisi, tak peduli Pingkan akan menyebutnya lelaki cengeng.
“Puisi itu medium,” ujar Sarwono, tokoh utama novel. Dosen muda asal
Solo itu selain mengajar Antropolog di UI, juga seorang pujangga.
Puisi-puisinya selalu menjadi langganan mengisi sudut surat kabar,Swara Keyakinan.
Ya, puisi itu medium. Ia percaya bahwa manusia yang sama-sama masih
hidup bisa berkomunikasi, tanpa harus bertatap muka (hal 4). Dalam
kerinduan yang melelahkan, Sarwono percaya, puisi bisa menjadi medium
penghubung perasaan dengan tambatan hatinya itu. Ia yakin, puisinya
akan sampai ke Pingkan, meski terpaut jarak ribuan kilometer Solo-Kyoto
sekalipun.
Pingkan adalah dosen muda di prodi Jepang. Ia adik Toar Palengkahu,
teman Sarwono semenjak SMA. Sejak pertama dikenalkan oleh Toar, Sarwono
seperti langsung jatuh hati pada perempuan yang dia sebut Fiona, si
putri tidur. Kisah kasih keduanya tumbuh ketika sama-sama mengajar di
kampus dan mengerjakan penelitian.
Sarwono demikian kasmaran pada Pingkan dan menganggapnya pacar. Tapi
Pingkan selalu menolak label pacar atau mungkin sebenarnya hanya
pura-pura menolak. Sarwono tak tahu. Ini yang kadang membuat hubungan
keduanya terasa rumit.
Hubungan mereka semakin rumit ketika di antara keduanya ada
perbedaan kota, budaya, suku, bahkan agama. Sarwono seorang Jawa tulen.
Sementara Pingkan campuran Jawa dan Manado. Halaman demi halaman dalam
novel berkisah tentang kepelikan antara perempuan dan laki-laki yang
tinggal di sebuah ruangan kedap suara bernama cinta.
Puncaknya ketika Pingkan harus pergi ke Kyoto untuk melanjutkan
studi. Sarwono merasa ketakutan dan kehilangan. Sebab di Jepang Pingkan
akan bersama sontoloyo Katsuo, seorang dosen Jepang. “Jadi, kau
akan berangkat juga akhirnya?” itu pertanyaan Sarwono kepada Pingkan.
Sarwono benar-benar cengeng seperti puisi-puisinya.
Ia suka bunga sakura yang hanya mekar sepekan di awal musim semi, lalu gugur bagaikan ronin yang dipenggal samurai yang dikhianatinya. Tetapi, bunga sakura tidak pernah berkhianat kepada siapa pun (hal 11-12).
Bukan. Pingkan bukan Ronin. Tak ada perempuan Ronin. Tetapi itu di
Jepang. Siapa tahu di Minahasa ada perempuan Ronin? Rupanya rindu tak
hanya menguras perasaan Sarwono, tetapi juga turut merubuhkan
kesehatannya. Di Jepang, Pingkan pun merindukan dan mencintai Sarwono.
Ia segera pulang ketika mendapat kabar Sarwono di rumah sakit.
Novel ini bermula dari puisi dan berakhir pula dengan puisi.
Barangkali hujan yang ganjil turun di bulan Juni membasahi kota Solo.
Tapi hujan juga turun di sudut mata Pingkan, ketika membaca puisi “tiga
sajak kecil.” Kita tak akan pernah bertemu/aku dalam dirimu/tiadakah pilihan/kecuali di situ/ kau terpencil dalam hatiku (hal 130-133).