Idealnya ruang kelas adalah sebuah ruang transformatif, yakni
ruang pembentukan serta perubahan bagi alam fikir, akal budi, dan spiritual
seorang peserta didik. Diharapkan selepas keluar dari ruang kelas mereka akan
menjadi seorang intelektual yang berintegritas dan bermoralitas tinggi ketika
hidup bermasyarakat.
Namun yang terjadi adalah kesenjangan antara kondisi ideal dengan
realitas. Ruang kelas melahirkan para lulusan yang miskin integritas, dan
bermoralitas picisan. Watak dan sikap para pemangku kebijakan di negeri ini
adalah potret parsial terjadinya “mis-transformatif” di ruang kelas. Yakni
terjadinya kekeliruan dalam konsep maupun praktik. Kekeliruan seperti apa? Dan
Apa yang menyebabkan terjadinya “mis-transformatif ini?”
Ruang kelas di sekolah-sekolah atau di lembaga pendidikan kita
saat ini tidak mengkondisikan sebuah ruang belajar. Secara
fisik, ruang kelas saat ini walau tidak seluruhnya baik dalam fasilitas,
seperti banyak sekolah saat ini telah dilengkapi dengan LCD atau proyektor,
ruang ber-AC, dan sebagainya. Namun disisi lain secara kultur dan visi belum
mencerminkan sebagai ruang belajar, yaitu sebagai ruang penuh
hasrat akan pengalian ilmu pengetahuan.
Ruang kelas gagal membentuk kita memahami hakikat belajar. Belajar
tidak dimaknai sebagai sebuah proses dimana hasil itu sebagai
konsekuensi logis dari proses belajar. Akan tetapi telah
terjadi kekeliruan persepsi. Belajar di ruang kelas dipragmatisasi
sebagai pengejaran terhadap nilai raport, nilai UN atau nilai IPK. Kondisi ini
oleh penulis sebut sebagai “budaya nilai”.