...Ketika kami
memeluknya satu persatu tanda perpisahan, air matanya mengalir pelan,
pelukannya erat seolah tak mau melepaskan, tubuhnya bergetar saat jiwa
kecerdasannya yang agung tercabut paksa meninggalkan sekolah... (laskar
pelangi)
Sastra yang baik adalah
yang tidak intim, akan tetapi mendekatkan kita pada realitas. Laskar
pelangi Andrea Hirata barangkali satu diantaranya. Novel yang
menjadikan Belitong, tanah tambang timah sebagai latar dari kisah tragis yang
dialami oleh Lintang. Seorang bocah pesisir anak nelayan kampung yang cerdas
luar biasa, harus putus sekolah karena benturan biaya setelah Ayahnya, si pria
cemara angin meninggal.
Baik novel maupun
filmnya, sedikit banyak mengambarkan potret kecil dunia pendidikan kita. juga
tentang bakat. Lintang adalah satu contoh kecil, karena penulis fikir masih
banyak lintang-lintang lain, yang tak pernah tersingkap, anak yang memiliki
bakat luar biasa akan tetapi bakatnya tersebut harus terkubur karena
keterbatasan.
Bakat dan pendidikan
merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Dengan pendidikan yang baik, entah itu
lewat pendidikan formal maupaun formal, akan menyebabkan bakat dari seseorang dapat
dikembangkan secara optimal. Namun kenyataannya, pendidikan kita saat ini,
khususnya pendidikan untuk anak berbakat masih menyisakan berbagai persoalan
pelik. Pendidikan kita belum bisa mengakomodir kebutuhan akan layanan
pendidikan khusus untuk anak berbakat.
Anak berbakat, memiliki
karakteristik khusus yang berbeda dari yang lain. Sebagai contoh, Lintang dalam
novel laskar pelangi merupakan seorang bocah kampung yang memiliki kemampuan
luar biasa, terutama dalam bidang fisika dan matematika. Pada saat lomba cerdas
cermat, Lintang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh dewan
juri dengan jitu dan sangat cepat, tanpa menghitung, hanya dengan memejamkan
matanya.
Akan tetapi anak
berbakat bukan saja mereka yang memiliki kemampuan matematik atau akademik yang
luar biasa, karena mengacu pula pada konsep multiple intelegensi Howard Gadner,
bahwa setiap individu memiliki kecenderungan dan kelebihan pada bidang tertentu
yang berbeda-beda. Dalam novel laskar pelangi, Mahar merupakan contoh anak
berbakat dalam bidang seni.
Pada tataran idealis,
Mereka, anak berbakat, membutuhkan layanan khusus agar bakatnya dapat
berkembang, Namun kondisi ynag ada sering bertolak belakang. Dunia pendidikan
bagi anak berbakat di Indonesia saat ini masih jauh dari harapan. Berbagai
faktor ditengarai sebagai penyebab kondisi ini. seperti kurangnya tenaga
pendidik anak berbakat, kurangnya fasilitas layanan untuk anak berbakat,
samapai belum jelasnya arah dan grand desain layanan pendidikan bagi anak
berbakat itu sendiri.
Salah satu perdebatan
yang cukup menarik adalah anak berbakat dan kaitannya dengan keberadaan sekolah
berbasis internasional, yakni RSBI atau SBI. Dengan adanya sekolah RSBI ini
yang menawarkan berbagai layanan seperti akselerasi maupun berbagai fasilitas
yang luar biasa, dianggap dapat memberikan layanan yang baik untuk “anak-anak
cerdas” atau berbakat.
Namun pada kenyataanya,
sekolah ini merupakan bentuk sekolah kapitalis yang telah melanggar
undang-undang dasar negara kita. Karena sekolah ini bukannya untuk anak-anak
yang berprestasi, akan tetapi hanya mereka para kaum borjuis, yang
berkesempatan bersekolah di sana. Sekolah RSBi ini sama halnya seperti sekolah
PN Timah dalam laskar pelangi, dimana orang-orang melarat seperti Lintang,
Ikal, dan Mahar, sulit dan tidak punya kesempatan bersekolah di sana.
Artinya, mereka yang
memiliki bakat lebih, namun berasal dari keluarga yang kondisi ekonominya di
bawah, yakni para kaum proletar, pada akhirnya tidak bisa mendapatkan layanan
yang lebih pula. Sekolah RSBI tidak menjadi representasi sebuah sekolah kaum
intelektual, akan tetapi sekolah RSBI telah menjadi simbol kelas sosial. Antara
kaum borjuis dan kaum proletar, antara sekolah si miskin dan si kaya. Dimana,
orang miskin cukup sekolah di sekolah kampung saja!
Bakat kritis dan
pendidikan kritis
Anak berbakat ternyata
memberikan berbagai wacana yang cukup menarik untuk diperdebatkan. Salah
satunya adalah kaitannya dengan pendidikan kritis. Banyak ahli pendidikan yang
mengatakan bahwa anak berbakat memiliki sikap maupun karakter tertentu, salah
satunya adalah sikap kritis. Sikap kritis adalah suatu sikap yang selalu
mempertanyakan segala hal. Memandang segala sesuatu dengan sikap skeptis.
Banyak anak berbakat
yang memikirkan secara mendapat terhadap segala sesuatu yang menarik
perhatiannya. Ketika orang lain memandang “tidak ada masalah” dengan kemacetan
yanga da di jakarta, anak berbakat akan mempertanyaakan hal ini. akan mencul
pertanyaan-pertanyaan seperti, kenapa bisa macet? Apa penyebab kemacetan ini?
lantas bagaimana cara mengatasi kemacetan ini?
Disisi lain, menarik
jika kita kaitkan dengan pedagogik atau pendidikan kritis. Dimana paulo freire
dianggap sebagai bapak pendidikan krtitis dalam buku pendidikan kaum
tertindasnya, memandang bahwa pendidikan haruslah membebaskan!
Freire yang mengkritisi
model “pendidikan gaya Bank”, dimana murid dipandang sebagai botol kosong yang
harus diisi. Jadi hanya ada hubungan satu arah, dari guru ke murid. Menurut
Freire, bahwa dalam belajar, harus terjadi hubungan dialogis antara guru dan
murid. Guru pada suatu kondisi tidak hanya bertindak sebagai guru tapi juga
sebagai murid yang belajar. Dengan adanya dialog-dialog yang kritis antara guru
dan murid, akan melahirkan pengetahuan baru, dan pada akhiraya pendidikan
adalah praktek transformatif yang membebaskan.
Tapi kemudian
pertanyaannya adalah, adakah relevansi antara anak berbakat yang memiliki sikap
kritis, dengan pendidikan kritis?
Dari sini sebenarnya
perlu telaan lebih lanjut. Pedagogik kritis merupakan sebuah pemikiran yang
berangkat dari upaya untuk menjadikan pendidikan yang transformatif sebagai
jalan memberikan penyadaran pada para kaum pertindas, yakni mereka yang
terbelengu dalam budaya bisu. Budaya bisu adalah sebuah kondisi dimana tidak
adanya kesadaran politis. Kesadaran sebagai manusia yang hidup di dunia bersama
sejarah dan menciptakan sejarah. Bukan “berada di” tapi “bersama dengan” dunia
menciptakan sejarah.
Jadi secara konteks,
sebenarnya agak tidak relevan jika dikaitkan dengan anak berbakat yang memiliki
sikap kritis. Akan tetapi, gagasan serta pemikiran dari pedogogik kritis ini
akan konsep pendidikan yang dialogis, yang membangun sikap kritis siswa bisa
dijadikan kerangka dalam menciptakan model pendidikan bagi anak berbakat.
Berbakat, disabilitas,
dan posisi
Ada sebuah pertanyaan
menarik, apakah anak berbakat termasuk disabilitas? Dalam konteks, pendidikan,
anak berbakat dimasukkan kedalam golongan anak-anak berkebutuhan khusus. Yakni
mereka yang memiliki karakteristik tertentu yang karena hal tersebut pula,
dalam mendapatkan pendidikan membutuhkan layanan khusus sesuai dengan
karakteristik yang mereka miliki.
Artinya, dalam konteks
pendidikan khusus atau pendidikan luar biasa, tidak membedakan mereka anak
berbakat “yang berkelebihan” dengan mereka yang dalam tanda kutip “anak
berkekurangan atau berketerbatasan” entah itu fisik maupun mental. Namun
melihat pada kesamaan yang ada bahwa, mereka (keduanya) membutuhkan layanan
khusus dalam pendidikan.
Tapi kemudian hal ini
menjadi berbeda ketika mengkaitkan anak berbakat dengan disabilitas.
Disabilitas, yang menurut konsepnya UPIAS, sebuah kelompok peduli penyandang
cacat di Inggris memandang bahwa “disabilitas” harus dibedakan dengan
“kekurangan”. Kekurangan tubuh (impairment) merupakan kekurangsempurnaan tubuh
atau bagian tubuh, organ dan mekanisme tubuh. Sementara Disabilitas merupakan
terbatasnya aktivitas yang disebabkan oleh organisasi sosial kontemporer (kekuasaan)
yang tidak mempertimbangkan mereka yang memiliki kekurangan secara fisik dan
dengan demikian menghalangi mereka untuk berpartisipasi dalam aktivitas sosial.
Ketidakmampuan untuk
berjalan merupakan kekurangan fisik, tetapi ketidakmampuan untuk memasuki gedung
karena pintu masuknya lebih tinggi merupakan kecacatan (disabel).
Ketidakmampuan untuk mengerakkan tubuh adalah kekurangan fisik tetapi
ketidakmampuan untuk bangun dari tempat tidur karena bantuan fisik yang sesuai
tidak ada merupakan kecatatan. Jadi mereka “disabilitas” menjadi “disabel”
karena surroundings and socials barrier.
Definisi Disabled
People’s Internasional (DPI) tentang kekurangan fisik dan Disabilitas.
Kekurangan fisik atau impairment adalah keterbatasan
fungsional pada seorang individu yang disebabkan oleh kekurangan fisik, mental
dan sensorik. Sedangakan disabilitas adalah hilangnya atau terbatasnya
kesempatan untuk mengambil bagian dalam kehidupan normal didalam masyarakat dan
tingkat yang sama dengan yang lain dikarenakan halangan fisik dan sosial.
Pada difinisi ini,
kekurangan fisik merujuk pada keterbatasan bio-psikologis atau kekurangan yang
ditentukan oleh ahli medis. Tetapi kekurangan fisik bukan berarti secara
otomatis mereka yang mengalami perubahan status menjadi difabel. Ini menjadi
isu pada satu titik dimana halangan sosial menghalangi seseorang individu dari
partisipasi ke dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.
Sementara itu,
“keberbakatan” lebih dikaitkan dengan “kelebihan” bukan “keterbatasan”. Ini
menjadi sebuah diskursus yang tentunya menarik. Agar telaahnya menjadi harus
kita berkaca pada kondisi realitas yang ada. Apakah anak berbakat menghadapi
Permasalahan srtuktural, budaya dan sosial yang sama seperti yang dialami oleh
“para penyandang cacat”?
Jika menilik realitas, tentu
berbeda kondisi dan perlakuan yang didapatkan oleh para penyandang cacat dengan
apa yang dihadapi oleh anak berbakat. Saat ini mereka para penyandang cacat
harus dihadapkan pada kondisi yang sulit, adanaya intimidasi, stigma negatif
yang melekat pada mereka, dan tidak adanya aksesibilitas bagi mobilitas mereka
merupakan bentuk-bentuk penindasan yang harus mereka hadapi.
Sementara anak berbakat
lebih sering digambarkan mereka yang “dielu-elukan’ atas prestasi yang mereka
miliki atau peroleh. Mereka mendapatkan stigma yang baik di dalam sosial
masyarakat kita. tapi apakah berarti anak berbakat bukan disabilitas? Penulis
fikir, jika kita kembali pada definisi yang dikemukakan oleh UPIAS maupun DPI,
akan berbakat akan “menjadi” disabilitas pula ketika mereka tidak mendapatkan
layanan khusus yang semestinya, seperti kasus RSBI tadi. Akibatnya, bakat
mereka terbatas. Bahkan dibatasi.
***