Pada mulanya adalah kata. Kata-kata membuat pikiran, jiwa dan tubuh kita selalu
“bergerak” dan menolak untuk diam. Kata membawa kita beranjak dari kebekuan
pikiran, menenggelamkan kita mengenai persoalan kehidupan manusia. Lewat kata, kita
mengingat masa lalu sekaligus menjumpai masa depan, seolah melintasi lorong
waktu sejarah. Kata membuat kita bergelimang imajinasi akan peristiwa,
perjalanan, dan pertemuan. “Membaca Kata,
Membaca Dunia..” Begitulah kata Paulo Freire (1921-1997), Filsuf pendidikan
Brazil itu.
Saya mencintai kata, karena itulah saya mencintai buku. Buku-buku saya
sentuh, baca, tulis, kabarkan. Buku-buku mengerakkan jiwa dan tubuh saya untuk
menelusuri rak-rak buku perpustakaan, mengobrak-abrik tumpukan buku-buku di
kios buku Senen, Blok M, Manggarai dan kios-kios buku lain di Jakarta. Buku memberi
saya gairah akan petualangan.
Imajinasi tentang buku-buku mengajak saya pada perjalanan Literasi mengikuti
acara 3 Hari Sinau pendidikan di
Bilik Literasi, Colomadu, Karanganyar, pada 16-18 mei lalu. Ini sebuah acara
yang digagas para aktivis Bilik Literasi untuk mengadakan pameran mengenai
buku-buku pendidikan lawas. Di Bilik literasi, buku memberi perjumpaan
orang-orang yang ingin sinau
(belajar) pendidikan, berorasi, berdiskusi, dan menulis.
Saya berangkat sore hari, pukul 15.00 WIB, menggunakan Bus dari terminal
Rawamangun, Jakarta. Saya menikmati
perjalanan 18 jam Jakarta-Solo bersama Novel Genduk Duku, Romo Mangunwijaya. Keesokan paginya, Sekitar pukul
08.00 WIB saya sampai di Bilik Literasi. Ketika awal memasuki rumah yang
disebut Bilik Literasi, saya digugah dengan 150 lebih buku-buku pendidikan
lawas yang digantung. Saya takjub dengan kehadiran buku-buku tersebut.
Setiap penulis akan terus hidup lewat karya buku-bukunya. Lewat pameran
buku-buku pendidikan lawas kita mendapati tulisan pemikiran pendidikan Ki
Hadjar Dewantara, Moh. Syafe’i, Kartini, dan Dewi Sartika. Mengenal sekaligus
mengingatkan nama Ki Mohammad Reksohadiprodjo, Sumidi Adisasmita, S. Mangunsarkoro,
M. Said dan D. Mansoer sebagai tokoh-tokoh yang pernah menulis buku-buku
pendidikan. Buku-buku itu menggugah kita untuk menelusuri jejak sejarah
pendidikan, ide-ide pendidikan keindonesian.
Dari Mahabarata sampai Apologia
3 hari tinggal di Solo memenuhi diri saya pada gairah literasi. Saya
menyiasatinya dengan jalan-jalan di Solo. Minggu pagi, saya bersama dengan
teman saya menuju ke daerah Manahan, Solo.
Disana orang-orang tumpah ruah bersama para penjual makanan, minuman,
pakaian, mainan, dan berbagai oleh-oleh Solo. Ditengah keramaian itu, mata tertuju pada
gelaran buku-buku.
Ada keasikkan tersendiri ketika mencari buku yang kita suka, berebut buku
dengan orang lain. Buku membuat deg-degan, merasa senang ketika mendapati buku
yang selama ini dicari. Salah satunya sebuah buku lawas epos Mahabarata, terbitan Bharata, karangan
Nyoman S Pendit tahun 1970.
Epos Mahabarata merupakan
kesusastraan kuno yang sangat terkenal mengenai kisah pertempuran besar bangsa
Bhrata. Sebuah konflik antara dua saudara bersepupu, yaitu Pandawa dan Kurawa. Didalam
buku itu Nyoman S Pendit menceritakan kisah demi kisah mengenai iri hari dan
kedengkian Kurawa, yakin Duryodhana dan saudara-saudaranya terhadap tahta dan
kerajaan Indraprashtha milik Yudhistira beserta para Pandawa yang menjadi
muasal pertempuran saudara itu.
Buku memberi kesadaran masa lalu sekaligus renungan di masa kini. Membaca
buku Mahabarata membuat kita
merasakan tokoh-tokoh Pandawa dan Kurawa hadir dalam kehidupan masyarakat kita.
Epos Mahabarata ditulis oleh Bhagawan
Whiyasa ratusan abad sebelum masehi, tetapi kita masih menemukan watak
Duryodana pada diri tokoh-tokoh politik kita yang sekadar berambisi mendapatkan
kursi dan kekuasaan. Mendapati tontonan “perang saudara” antar partai politik
yang saling bertikai atas nama tokoh politiknya. Kita pun lalu bertanya, masih
adakah pemimpin yang memiliki kebijaksanaan dan kebajikan seperti Yudhistira?
Membaca Buku Mahabarata kita
seolah melintasi lorong waktu sejarah. Itu pula yang saya dapati ketika saya
memperoleh buku Apologia, di Gladak
yang berada tak jauh dari Keraton Solo dan Pasar Klewer. Apologia merupakan catatan
klasik tentang pidato pembelaan Sokrates (470-399 SM) yang dibadikan muridnya
Plato (427-347 SM). Buku Apologia itu
disadur oleh Fuad Hassan tahun 1973.
Sokrates dituduh oleh Meletos, Anytos dan Lycon telah meracuni pikiran kaum
muda dengan ajaran-ajarannya serta tuduhan ketidakpercayaan Sokrates terhadap
Tuhan. Dalam pidatonya, bagi Sokrates maut bukanlah sesuatu yang harus dihadapi
dengan kecemasan, ia pun mengungkapkan bahwa semua yang dituduhkan kepadanya
adalah tidak benar. Plato dengan gaya indah sekali melukiskan pembelaan
Sokrates dihadapan sidang pengadilan dan para warga Athena. Tetapi pidato
pembelaan Sokrates tetap ditolak.
Pidato Sokrates begitu pilu. “.. Sedikitpun
aku tak mempunyai rasa amarah terhadap penuntut maupun penghukumku; meskipun
mereka itu tak bermaksud baik terhadapku, namun tak ada diantara mereka yang
melukai hatiku . . ketahuilah tak mungkin orang yang jahat melukai orang yang
baik, kalian sekalianlah yang akan lebih terluka dari diriku sendiri..” Seusai
pidatonya itu Sokrates dijatuh hukuman mati oleh pengadilan Athena pada tahun
399 SM. Sokrates telah mati, tetapi pemikiran dan kisahnya, hidup sampai
sekarang.
Membaca Apologia sungguh
mengharukan. Buku menghadirkan imajinasi tubuh yang melintas zaman dan
peristiwa. Perjalanan Literasi ke Solo membawa jiwa dan tubuh seolah
menyaksikan dua tragedi besar dalam sejarah Kebudayaan Timur dan kebudayaan
Barat. Buku
menjadikan pembacanya menjadi manusia ulang-alik.
Kereta ekonomi Brantas mengantarkan saya pada perjalanan pulang ke Jakarta.
Buku Mahabarata dan Apologia itu bersama satu kardus buku
berisikan sekitar 39 buku-buku lain yang saya dapati di Solo; Bilik Literasi,
Manahan, UNS, dan Gladak. Perjalanan Jakarta-Solo pun
menjadi semacam ibadah literasi. Persis seperti yang
diutarakan oleh Jean-Paul Sartre (1905-1980), “Telah kutemukan agamaku. Tak ada yang lebih penting dari buku. .”