“Manusia
terlahir bebas, dan kini di mana-mana ia terbelenggu.” -Jean-Jacques Rousseau-
SEJATINYA
MANUSIA adalah sebuah gerak. Gerak sadar maupun tak sadar. Tak pernah berhenti
layaknya dialektis kehidupan. Lewat gerak, manusia berhasil survive dari
yang purba. Sebabnya, manusia bukan sekedar ‘ada’ tetapi selalu ‘mengada’.
Sebagaimana yang diwacanakan Heidegger dulu. Manusia barangkali sebuah proses
menjadi ada, yang lahir dari rahim Ada dan Ketiadaan. Olehnya, peradaban
manusia adalah peradaban berkepanjangan yang tak kunjung usai.
Kita-dulu-kini-dan-nanti adalah sebuah kerumunan, spesies yang menanggalkan
identitas terdahulu demi eksistensinya atas nama humanisme. Agaknya dari sini
lah kemudian Peradaban lahir.
Dan
IPTEK adalah bentuk dari peradaban manusia. Ilmu pengetahuan telah mencerahkan
manusia dari belenggu dogmatis pada abad kegelapan (Aufklarung), atau
juga melepaskan bangsa kita dari kungkungan sikap fatalisme pada zaman
kemodalan dan kolonialisme bangsa barat. Sementara Teknologi adalah ‘Roda’ yang
mengerakkan peradaban itu sendiri. Kita patut berterima kasih kepada James Watt
atas mesin uap temuannya yang mendorong terjadinya Revolusi industri di Inggris
dan negara-negara lain di Eropa. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi
simbol yang menjadi ukuran seberapa kencang laju kemajuan peradaban manusia itu
sendiri.
Simbol-simbol
kemajuan IPTEK nampak dalam berbagai ranah. Dari wujud yang paling simpel sampai
ke yang paling rumit dan kompleks. Dalam Sains, temuan-temuan
berupa Robot pintar maupun rekayasa genetik dianggap sebagai tambang IPTEK
paling berharga saat ini. Sementara kemajuan teknologi komunikasi menunjukan
progres yang luar biasa. Manusia dapat dengan mudahnya berinteraksi satu sama
lain pada jarak ribuan kilometer, ataupun mendapatkan akses informasi dengan
mudahnya. Dunia kini telah menglobal dan sekat-sekat berupa ‘negara’ telah
menjadi hal yang semu. IPTEK telah menisbikan ruang dan waktu. Sebagaimana
IPTEK menisbikan keberadaan manusia itu sendiri.
Sebab
IPTEK telah membenturkan manusia pada masalah besar. Arus kemajuan peradaban
yang pesat mendorong kompleksitas kehidupan manusia. Mengakibatkan manusia
mengalami ketergantungan yang luar biasa pada mesin dan teknologi. Kini, Hampir
semua aktivitas manusia tak bisa lepas dari jerat teknologi. Mulai dari bangun
tidur sampai akan tidur lagi. Dari ngupdate status sampai
transaksi banking online. Tak bisa dibayangkan jika kita hidup
tanpa listrik dan penerangan, tanpa handphone, tanpa alat transportasi, dsb.
Akhirnya kita tak bisa mengelak bahwa teknologi telah menjadi candu bagi kita.
Dan kita teralienasi didalamnya.
Alienasi
kita pada peradaban dan teknologi telah mengurung kita pada semacam lingkaran
paradoksal. Dimana IPTEK justru berbalik arah dan menikam humanisme sendiri.
Inilah yang pernah didengungkan Jean-jacques Rousseau, bahwa peradaban bukanlah
hal yang selalu bagus, seperti yang selama ini diasumsikan oleh setiap orang.
Dan bukanlah sekadar sesuatu yang bebas nilai. Artinya, pada satu sisi kemajuan
teknologi telah memudahkan segala bentuk aktivitas manusia, namun disisi lain
teknologi memberikan dampak luaran yang negatif pada diri manusia.
Jujun
Soemantri dalam Filsafat ilmu pun memandang teknologi kini
tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan bagi kehidupan
manusia, melainkan dia berada untuk tujuan eksistensinya sendiri. IPTEK secara
tidak langsung telah merubah cara pandang dan cara hidup kita. Teknologi
seperti televisi dan internet meracuni fikiran anak-anak dan para remaja. Pula,
teknologi menjadikan kita manusia-manusia pemalas yang bergantung pada mesin.
Yang tanpa kita sadari peradaban telah melahirkan manusia dalam bentuk baru
yang bernama Posthuman.
Posthuman
APA
ITU Posthuman? Lantas, diskursus apa yang sebenarnya ingin
diungkap?. Secara istilah Posthuman berarti ‘setelah
humanisme’. Merujuk pada fakta bahwa ‘makhluk manusia’ saat ini sedang
mengalami pergeseran dan transformasi yang sangat besar. Sementara manifesto
posthuman sendiri berusaha mengungkapkan bahwa ‘manusia’ sebagai kaum
humanisme melihat diri mereka sendiri sebagai makhluk yang berbeda, dalam
sebuah hubungan yang antagonistik dengan lingkungan disekitar mereka. Kaum
posthuman, di sisi lain, memandang diri mereka sebagai bagian dari dunia
teknologi yang luas.
Jelas
disini bahwa pertama-tama kita terlebih dulu harus membedakan antara humanisme
dan posthuman. Thesis tentang humanisme telah ada sendari dulu,
sejak Protagoras mengeluarkan peryataan bahwa “manusia adalah ukuran dari
segala hal.” Mencerminkan sebuah bentuk sense of being (rasa
meng-ada) pada diri manusia. Yang kemudian istilah humanisme ini kerap
dihubungkan dengan eksistensi manusia terhadap Tuhan dan juga terkait
Renaisans. Bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas menentukan
‘dirinya’, tanpa dogma-dogma atau kehendak takdir Tuhan.
Sementara Posthuman cenderung
kepada ketakterelakan manusia terhadap kemajuan teknologi yang kian pesat,
dimana telah menciptakan kehidupan artifisial sebagai yang-lain dari manusia.
bahkan digambarkan Robert pepperell bahwa teknologi robotik, nanoteknologi,
teknologi komunikasi, rekayasa genetik, dan kecerdasan-buatan, akan membentuk
eksistensinya sendiri. Sehingga terjadi pergeseran dari eksistensi manusia (human)
ke kondisi eksistensi posthuman.
Namun
yang perlu digarisbawahi, posthuman bukan ‘akhir dari manusia’
tapi akhir dari jagat raya yang ‘terpusat pada manusia.’ disinilah sebenarnya
terjadi pertentangan antara paham eksistensialisme dan strukturalisme. Eksistensialisme
memandang bahwa manusia sebagai entitas yang memiliki kehendak, kebebasan, dan
kesadaran akan dirinya sendiri. Sementara Strukturalisme meyakini bahwa sistem
atau struktur, entah itu berupa bahasa maupun budaya, adalah bagian terpenting untuk
menjelaskan kehidupan manusia. bahwa tidak ada sebuah entitas apapun yang
berdiri sendiri, tapi selalu ada relasi-relasi yang mengikat satu sama lain.
Manusia
dan eksistensinya tak dapat memungkiri adanya relasi dan tautannya dengan
teknologi. Semacam kompleksitas kesadaran bahwa ada Liyan-liyan atau yang lain
diluar eksistensi manusia itu sendiri. Namun terjadi sebuah paradok ketika
teknologi dengan sense of being nya telah menbentuk
‘subjek’nya sendiri, dan manusia ‘meng-objek’ kepadanya. Artinya, manusia tak
lagi mampu melakukan resistensi terhadap ‘kekuasaan’ teknologi. Lantas,
kesadaran seperti apa yang hendak kita dengungkan?
Lebih
dari itu, manusia dan peradaban posthuman mengaungkan chaos berupa
degredasi moral dan karakter. Manusia sekarang adalah manusia-manusia pemalas
dan lemah yang ringkih terhadap hal-hal yang tidak praktis. Peradaban sekarang
merupakan pembusukan dan perusakan terhadab nilai-nilai dan norma. Meskipun
begitu, bukan berarti peradaban sekarang adalah peradaban hina. Lantas kita
memilih kembali ke peradaban primitif seperti berabad-abab yang lalu. Akan
tetapi, menurut Rouseau, yang harus kita lakuakan adalah , seperdi dulu lagi,
memperadabkan peradaban. Dan pendidikan adalah jalannya.