Membicarakan
kaum muda dan pemilu tentu saja tidak dapat kita lepaskan dari politik.
Bagaimana kaum muda memaknai politik akan berdampak pada sikap terhadap pemilu
nanti. Dalam sejarah, kaum muda selalu erat dengan kegiatan politik. Semenjak
pelajar STOVIA di tahun 1910-an, mahasiswa menjadi cermin sikap politik kaum
muda yang enggan berkompromi dengan pemerintah kolonial, orde lama, maupun Orde
Baru.
Kampus
menjadi ruang berliterasi sekaligus berpolitik. Ada kesadaran bahwa kultur
akademik dan politik tidak mungkin dipisahkan. Mahasiswa adalah para pembaca
setia buku dan diskusi: sejarah, politik, filsafat, dan sastra. Bercengkrama
dengan buku yang mengajak memahami sejarah bangsa. Buku-buku yang dapat mengembangkan
keterampilan berpikir dan bernalar, lalu bersuara melawan penyimpangan
penguasa. Mahasiswa generasi itu seringkali disebut sebagai generasi membaca,
menulis, dan bersuara.
Tentu
kaum muda dengan kegiatan politik kerap meresahkan penguasa. Orde Baru dikenal
dengan politik anti-politiknya. Salah satunya lewat politik bahasa, kata
‘pemuda’ yang bermakna politis diganti dengan kata ‘remaja’ yang bermakna
kekanak-kanakan. Pada pertengahan tahun
70-an diberlakukan kebijakan normalisasi kehidupan kampus. Semenjak peristiwa
malaria, kampus dijauhkan dari kegiatan politik dan pelarangan buku-buku yang
dianggap berbahaya.
Kegiatan
politik maupun literasi di kampus makin surut, meskipun tidak hilang sama sekali
yang itu dibuktikan oleh gerakan mahasiswa 1998. Tetapi semenjak kebijakan
normalisasi kampus itu, kaum muda seolah dibuat lupa dengan politik. Sekitar
awal 90-an, melalui program link and
match dalam pendidikan, mahasiswa diarahkan menjadi para pekerja siap
pakai. Kebijakan itu seakan ingin mengubah citra kampus sebagai ruang politik
menjadi pabrik penghasil tenaga kerja bermutu.
Mempelajari
sejarah tersebut mengajarkan kita memahami bahwa dalam setiap kurun waktu, akan
lahir generasi yang memiliki sikap hidup sendiri. Setiap generasi memiliki Zeitgeist alias semangat zaman yang
terbentuk maupun sengaja dibentuk. Kaum muda pasca reformasi terbentuk dari hidup serba kemapanan dan
individualistis. Mahasiswa yang sengaja dibentuk hanya tahu kosa kata agen of change tetapi minim sikap
politik, sebab kampus yang tanpa
kultur membaca apalagi berdiskusi. Sebuah generasi tunapolitik.
Sampai
sini, kita bisa membayangkan bagaimana sikap politik kaum muda terhadap politik
nanti. Apabila dahulu golput adalah sikap politik, golongan putih yang enggan
memilih para ‘pemimpin kotor’, maka kini golput perwujudan apatisme, sikap kaum
muda yang enggan bersentuhan dengan politik. Tentu kita tidak berharap
demikian. Sebaliknya, pengharapan di kampus-kampus masih ada segelintir mahasiswa
yang berupaya menghidupkan lagi generasi membaca, menulis, dan bersuara. Semoga.
*tulisan ini dimuat di koran sindo 20 maret 2014