Idealnya ruang kelas adalah sebuah ruang transformatif, yakni
ruang pembentukan serta perubahan bagi alam fikir, akal budi, dan spiritual
seorang peserta didik. Diharapkan selepas keluar dari ruang kelas mereka akan
menjadi seorang intelektual yang berintegritas dan bermoralitas tinggi ketika
hidup bermasyarakat.
Namun yang terjadi adalah kesenjangan antara kondisi ideal dengan
realitas. Ruang kelas melahirkan para lulusan yang miskin integritas, dan
bermoralitas picisan. Watak dan sikap para pemangku kebijakan di negeri ini
adalah potret parsial terjadinya “mis-transformatif” di ruang kelas. Yakni
terjadinya kekeliruan dalam konsep maupun praktik. Kekeliruan seperti apa? Dan
Apa yang menyebabkan terjadinya “mis-transformatif ini?”
Ruang kelas di sekolah-sekolah atau di lembaga pendidikan kita
saat ini tidak mengkondisikan sebuah ruang belajar. Secara
fisik, ruang kelas saat ini walau tidak seluruhnya baik dalam fasilitas,
seperti banyak sekolah saat ini telah dilengkapi dengan LCD atau proyektor,
ruang ber-AC, dan sebagainya. Namun disisi lain secara kultur dan visi belum
mencerminkan sebagai ruang belajar, yaitu sebagai ruang penuh
hasrat akan pengalian ilmu pengetahuan.
Ruang kelas gagal membentuk kita memahami hakikat belajar. Belajar
tidak dimaknai sebagai sebuah proses dimana hasil itu sebagai
konsekuensi logis dari proses belajar. Akan tetapi telah
terjadi kekeliruan persepsi. Belajar di ruang kelas dipragmatisasi
sebagai pengejaran terhadap nilai raport, nilai UN atau nilai IPK. Kondisi ini
oleh penulis sebut sebagai “budaya nilai”.
Selanjutnya yang terjadi adalah matinya kesadaran berfikir dan
bernalar para peserta didik. Hal ini nampak pada kering dan miskinnya ruang
kelas dari dialog kritis antara guru-murid-yang sama-sama saling belajar.
Berbagai metode baru coba diperkenalkan seperti teaching active learning (TCL),
namun tak merubah, yang menurut penulis akar masalahnya ada pada “budaya
nilai”. Selama sistem dan instrumen pendidikan yang ada masih menjaga status
quo “budaya nilai” ini.
Matinya kesadaran berfikir dan bernalar peserta didik membuat
ruang kelas menjelma sebagai ruang represif. Represif
diartikan penulis sebagai bersifat represi, yakni menekan,
mengekang, menahan, dan menindas. Atau dalam bahasa Sigmun Freud, represif
diartikan sebagai kondisi ketidaksadaran yang dikekang. Maksudnya, ruang kelas
– dalam hal ini guru, perangkat, isntument dan sistem-tidak menciptakan kondisi
dan situasi nyaman bagi alam fikir, akal budi, dan spiritual peserta didik.
Ruang represif ini melahirkan wajah-wajah kekecewaan, ekspresi
penolakan terhadap budaya hegemoni yang ada. Bentuknya bisa dua macam, positif
seperti kegiatan ekstrakulikuler dan negatif seperti mencontek, membolos dan
tindakan bullying. Ruang kelas sebagi ruang represif
membutuhkan sarana ekspresif atau pelampiasan yakni “ruang luar kelas”. Semisal
kantin sekolah, perpustakaan, masjid, atau ruang kreativitas seperti seni,
olahraga, dan minat pada organisasi sekolah atau kampus.
Ruang kebudayaan
Kebudayaan merupakan ruang-ruang untuk memaknai dan
mengartikan hidup. Studi cultural mengartikan kebudayaan sebagai keseharian
yang dimaknai. Raymon williams merangkum kebudayaan dalam tiga makna,
kebudayaan adalah setiap dinamika perkembangan intelektual, spiritual, dan
estetika. Kebudayaan merangkum kegiatan intelektual, artistik serta produk
hasilnya, dan kebudayaan itu menyangkut seluruh cara hidup, kepercayaan,
aktivitas dan kebiasaan seseorang, kelompok atau masyarakat.
Ruang kelas merupakan dan sepatutnya dimaknai sebagai ruang
kebudayaan. Baik oleh seorang guru maupun para murid yang belajar. Ruang kelas
sebagai ruang kebudayaan dimaknai sebagai ruang keseharian berproses dan
belajar, tentang apa yang benar (pengetahuan), apa baik (etika), apa yang suci
(religiositas), dan apa yang indah (estetika). Juga murid merasa ‘nyaman’
belajar di ruang kelas.
Ruang kelas yang represif menghambat terbentuknya ruang kelas
sebagai ruang kebudayaan ini. Juga dalam proses trasformatif peserta didik
selama belajar di ruang kelas. Karena kekangan “budaya nilai” dan bentuk
evaluasi yang menindas. Sehingga dibutuhkan perubahan untuk merubah kondisi
ini.
Pertama perubahan mentalitas orang-orang dari sistem nilai yang
dehumanisasi menuju mentalitas humanis. Sebuah ruang kelas sebagai ruang
kebudayaan haruslah ruang humanis, karena guru dan murid itu sendiri yang
mengauli ruang kebudayaan. Oleh sebab itu guru memiliki fungsi dan peranan yang
penting, guru sebagai fasilitator tidak menciptakan space dengan
murid – guru menjadi murid, murid menjadi guru-dan saling belajar.
Kedua, perubahan kondisi struktural dan lingkungan tempat belajar
menyerap nilai sebagai ruang kebudayaan. Ruang kelas harus menciptakan suasana
dan iklim belajar yang sehat. Juga memahami pendidikan sebagai sebuah proses.
Sehingga tidak terjadi mis-transformasi, mis-persepsi dalam visi dan motivasi
belajar murid. Agar ruang kelas dapat dimaknai kembali sebagai ruang belajar
dan ruang kebudayaan.