Pada mulanya adalah ketertarikan saya
pada hal-hal mengenai pendidikan. Sebagai mahasiswa calon guru, kuliah dan
buku-buku pendidikan menjadi pergulatan
saya sehari-hari. Meski saya sering
menemui kejenuhan terhadap buku-buku perkuliahan
itu.
Perkenalan awal
saya dengan buku-buku seperti Pendidikan
Kaum Tertindas Paulo Freire dan S.I. School Onderwijh Tan Malaka
menggugah saya pada imajinasi liar mengenai pendidikan. Membaca pemikiran pendidikan Paulo
Freire dan Tan Malaka seolah membawa saya untuk membaca ulang pendidikan.
Pemaknaan atas pendidikan menjadi
berubah. Sama sekali berbeda dengan apa yang diajarkan di ruang kelas, ruang kuliah. Pendidikan
tidak lagi menyoal psikologi
semata yang serta merta mengubah perilaku anak.
Pendidikan berkaitan erat dengan persoalan sosial, politik, kultural bahkan
kekuasaan. Pendidikan melahirkan ketidakadilan, perenggutan kemanusiaan.
Pendidikan tak melulu berkah, tetapi juga petaka.
Semenjak itu saya larut dalam
ketertarikan terhadap buku-buku pendidikan. Buku-buku Ivan Illich, Neil
Postman, Ki Hadjar Dewantara, Mochtar Buchori, S. Nasution dan tokoh-tokoh
pendidikan lain menenggelamkan saya pada persoalan pendidikan mutakhir dan
menariknya ke pendidikan pada masa lampau.
Buku-buku
itu membawa saya pada pertanyaan-pertanyaan semisal bagaimana sejarah [buku] pendidikan
di Indonesia? siapakah
tokoh-tokoh pendidikan kita di masa sebelum dan awal kemerdekaan? pemikiran-pemikiran mereka mengenai
pendidikan? Dan, bagaimana kontektualisasi
dengan pendidikan kekinian?
Imajinasi tentang pendidikan
Indonesia menarik diri saya untuk mengikuti “3 hari sinau pendidikan” di Bilik Literasi, Colomadu,
Karanganyar, pada 16-18 Mei lalu. Ini sebuah acara yang
digagas para aktivis Bilik Literasi
yang memaknai Mei sebagai bulan
sakral, yakni bulan Hari Pendidikan, Hari Kebangkitan Nasional, dan bulan yang menjadi saksi
ketika para mahasiswa menjatuhkan rezim Orde Baru 16 tahun silam.
Selain bertemu dengan para aktivis Bilik Literasi,
saya bertemu dengan mahasiswa-mahasiswi dari Solo, Semarang, Kudus, Sulawesi,
dan daerah lain. Di Bilik literasi, rumah menjadi perjumpaan orang-orang yang
ingin sinau pendidikan, berorasi, mengobrol, dan
menulis.
Ketika awal memasuki rumah yang disebut Bilik Literasi, saya digugah dengan
150 lebih buku-buku pendidikan lawas yang digantung. Saya takjub dengan
kehadiran buku-buku tersebut. Buku-buku pendidikan yang jarang kita temukan dan
membacanya.
Lewat pameran buku-buku lawas kita mengenal
sekaligus mengingat nama-nama seperti Ki
Mohamad Reksohadiprodjo, Sumidi Adisasmita, atau S, Mangunsarkoro, M. Said dan
D. Mansoer sebagai tokoh-tokoh yang pernah menuliskan buku-buku pendidikan.
Ingat S.Mangunsarkoro ingat buku
pendidikan Sosiologi dan Kebudayaan
yang ditulisnya tahun 1950. Di dalam buku itu Mangunsarkoro dengan tegas
mengharapkan perubahan yang radikal dalam pendidikan.
Ia menilai zaman penjajahan telah
mewariskan kepada bangsa Indonesia satu masyarakat yang bobrok dalam sosial,
politik, ekonomi. Bangsa Indonesia memerlukan pendidikan yang dapat menimbulkan
masyarakat baru diatas runtuhan masyarakat yang lama itu.
Mangunsarkoro menilai harus ada
kebebasan berfikir, dari kungkungan jiwa yang bersimpati pada Barat, sekaligus
bebas dari pengaruh alam pikiran feodal.
Dalam pemikirannya terhadap pendidikan
Mangunsarkoro menyatakan metode pengajaran kita berdasar kemerdekaan
anak untuk bertumbuh dengan bebas dan sebaik-baiknya sesuai dengan dasar kecakapannya. Biar telah puluhan tahun, pemikiran tersebut masih
kontekstual untuk pendidikan mutakhir.
Masih kontektualnya pemikiran
pendidikan Mangunsarkoro juga kita temukan pada buku pendidikan lawas yang
ditulis Ki Mohamad Reksohadiprojo. Buku Masalah
Pendidikan Nasional, adalah kumpulan tulisan Ki Reksohadiprojo sebagai
sumbangan pikiran, salah satunya tulisan mengenai pendidikan seks.
Ngopeni Buku Lawas
Menurut
dia, keperluan adanya pendidikan seks tidak dengan dituangkan dalam
matapelajaran tersendiri, melainkan pendidikan seks dapat dipertanggungjawabkan
bila diberikan dalam rangka pendidikan budi pekerti. Pemikiran Ki
Reksohadiprojo itu lahir bertahun tahun sebelum kementerian Pendidikan dan Kebudayaan era sekarang berbicara
mengenai pendidikan seks.
Wajah pendidikan mutakhir adalah
keprihatinan terhadap buku-buku pendidikan kita. Dari sekian buku-buku
pendidikan yang tersaji di rak-rak perpustakaan maupun toko-toko buku, kita
kesulitan menemukan buku-buku [sejarah] pendidikan di Indonesia.
Jarang buku-buku lawas atau cetakan
lama ada di rak-rak perpustakaan publik. Sementara toko buku dipenuhi buku-buku
pendidikan kontemporer ala Barat. Memprihatinkan, kelangkaan buku-buku sejarah
pendidikan adalah isyarat pendidikan kita yang tercerabut dari akar keindonesiaan.
Di
awal abad abad XXI ini, pendidikan kita
seolah tanpa sejarah. Pendidikan kita seperti berpijak tanpa kaki. Pejabat
pendidikan kita berdalih kemajuan pendidikan sebagai alasan mengunakan konsep-konsep
pendidikan ala Barat.
Itu tercermin dari kurikulum, sistem
pendidikan, dan buku-buku pendidikan yang ditulis mutakhir ini. Buku-buku yang pernah
ditulis oleh tokoh-tokoh pendidikan kita lalu ditinggalkan. Pemikiran
pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara, Moh Syafe’i, Tan Malaka, bahkan Hatta
seolah dianggap sudah kadarluasa.
3 hari sinau pendidikan menjadi agenda bermisi menyelamatkan pendidikan.
Mengingatkan sekaligus menggugah kita untuk menelusuri jejak sejarah
pendidikan. Kita mengharapkan dapat menghadirkan kembali pendidikan sesuai
dengan konteks keindonesiaan.
Konteks
keindonesiaan itu seperti ide-ide yang pernah dilontarkan Mangunsarkoro
maupun tokoh pendidikan lain. Sinau
buku-buku pendidikan lawas dapat menjadi siasat untuk ngopeni ide-ide pendidikan keindonesiaan itu.
* Tulisan ini dimuat di koran Solopos, 20 mei 2014