Masyarakat kita kembali mendapatkan haknya untuk berpolitik. Pemilihan umum
menjadi ritus sebuah negara demokrasi seperti Indonesia. Lewat pemilu,
masyarakat menemukan dirinya sebagai warga negara. Melihat dirinya punya suara
dalam andil memilih calon legislatif yang diimajinasikan sebagai wakil rakyat.
Akan tetapi demokrasi dalam pandangan Habermas, tidaklah cukup dibatasi dengan
sukses pemilu, melainkan melalui adanya diskursus warga negara dalam ruang publik
politis.
Etika politik Habermas berbicara tentang demokrasi radikal dalam masyarakat,
bukan demokrasi instrumental. Sebuah demokrasi tidak dapat disederhanakan lewat
keikutsertaan seorang warga negara dalam pemilu belaka. Pemilu semata kita
lihat sebagai bagian dari proses demokrasi. Warga negara memiliki tanggungjawab
politisnya dalam proses demokrasi, agar tidak ada kesenjangan antara
janji-janji pemilu dengan keputusan konkret wakil rakyat dikemudian hari.
Kita menginginkan warga negara memiliki hak-hak komunikatifnya. Pemilu
dapat dianggap sebagai salah satu locus
publik mendapatkan hak-hak komunikatifnya. Dalam pemilu kita menilai, memilih, memberikan
suara politik. Selepas pemilu kita menggunakan hak komunikatif untuk mendukung
atau mengkritisi. Apakah arah pembangunan berpihak kepada keadilan dan
solidaritas sosial, atau malah berpihak pada kekuasaan. Komunikasi politik ini
memungkinkan adanya diskursus sebuah konsensus, dialog antara rakyat dengan
negara.
Lewat itu, warga negara memiliki haknya mendapatkan sebuah ruang publik
politis. Ruang publik politik tidak lain memungkinkan warga negara untuk bebas
menyatakan sikap. Keikutsertaan publik dalam diskursus tidak hanya untuk
mencapai konsensus antara rakyat dengan negara, namun berbicara tentang
kepentingan. Sebuah negara yang mengaku dirinya demokratis tidak melakukan
kontrol keras terrhadap berbagai keran opini publik seperti media,
mengsubordinat pihak yang berbeda sebagai subversif, atau meniadakan aspirasi
kaum minoritas.
Dalam ruang publik politis aspirasi warga negara tidak cukup diartikan
dengan adanya lembaga-lembaga perwakilan negara, tetapi adanya aspirasi
dimaknai dengan terpenuhinya kebutuhan dan kepentingan warga negara. Aspirasi
yang menjadi tanggung jawab atas janji-janji politik para wakil rakyat dulu.
Juga sebuah ruang publik yang berfungsi politis berciri otonomnya dari
kekuasaan politik transaksional dan dari
kepentingan pasar kapital.
Karena itu kita menginginkan para wakil rakyat yang berjiwa kuat. Bukan orang-orang
yang biasa membungkuk, bukan wakil rakyat berjiwa bimbang seperti boneka
jejaring kekuasaan. Kita menginginkan wakil rakyat yang mengakuai hak-hak komunikaf
warga negara, membuka dialog politik yang inklusif, dan yang terpenting yakni memenuhi
setiap aspirasi politik yang ada. Kita menanti sebuah ruang publik politis.