Kisah Joko Widodo memasuki episode teranyar sebagai presiden terpilih. Pelantikan Jokowi menjadi momentum ruwatan massal. Merenungi kekotoran dan dusta bangsa kita, menabur pengharapan pada pemerintahan baru. Jokowi tak hanya didoakan akan memihak rakyat, janji-janji kampanye jokowi patut menjadi ingatan dan peringatan.
Selepas dilantik
memegang kuasa sebagai presiden, meja kerja Jokowi sudah disesaki pelbagai
permasalahan politik, ekonomi, pendidikan, sosial, kultural yang menjadi keluh
kesah bangsa kita hari ini. Subsidi minyak melambung, rupiah terus tergerus,
kacau kurikulum baru, rebut kekuasaan dan jabatan, riuh kekerasan, dan pelbagai
propaganda lain yang telah sering muncul di seminar, ruang akademik, koran,
televisi dan warung kopi.
Pelbagai pekerjaan rumah
Jokowi mengharuskannya membentuk pemerintah kerja. Bukan pemerintah pura-pura,
apalagi pemerintah dusta. Ini menjadi ingatan dan peringatan. Sebab politik
terlanjur dimetaforkan ke dalam bahasa kotor seperti dusta, munafik, korupsi,
main perempuan. Kita tidak mengarapkan Jokowi dan menterinya mengulangi
kekotoran yang sama. Tantangan pokok pemerintahan jokowi adalah melawan dusta
pada rakyat.
Jokowi barangkali perlu
membuka catatat Manusia Indonesia,
ceramah Mochtar Lubis 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki. Mochtar Lubis mencoba
memberikan cermin watak, ciri-ciri khas bangsa ini seperti munafik,
enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, berwatak lemah. Kita tidak menampik
kalau watak semacam itu dilekatkan pada pejabat, elit pemimpin kita.
Ciri, identitas, jati
diri yang direka Mochtar Lubis itu tidak lah bersifat mutlak, tetapi dapat
menjadi cermin refleksi dan referensi Jokowi. Renungan lawas untuk tidak
dilupakan atau ditaruh di tepian kenangan. Pemimpin memerlukan literasi sebagai
otokritik koreksi diri. Sebab kita tidak menginginkan pemerintahan Jokowi
berisikan tuan-tuan hipokritis, berpura-pura, lain di muka lain di belakang.
Puan-puan yang pamrih, mentalitas ada udang di balik baskom.
Kita tidak menghendaki
pemerintahan Jokowi adalah mereka yang di muka publik bersumpah bersih dari
korupsi, lalu ternyata meringkuk di balik
jeruji bui. Atau mereka yang berkata, “bukan saya” ketika diminta pertanggung
jawaban atas perbuatannya dan putusannya.
Seruan revolusi mental
selayaknya menjadi otokritik untuk diinsafi. Berpikir jernih bekerja untuk
kesejahteraan Indonesia. Pelbagai persoalan politik, pendidikan, ekonomi,
sosial dan kultural sudah siap menjadi sarapan Jokowi di awal pemerintahnya. Rekam
jejak yang lurus bukan berarti tidak mungkin tergelincir. Publik menjadi pengingat
dan memberi peringatan kepada pemerintahan Jokowi untuk memuliakan rakyatnya,
bukan mengulangi dusta-dusta masa lalu.
*ditulis medio Oktober lalu, 2014