Barangkali dari kita seringkali tidak menyadari bahwa hidup kita berkutat pada pertaruhan antara tradisi dan modernitas. Antara yang lampau dengan yang baru. Seseorang yang terkurung dalam masa lalu cenderung menjadi fundamentalis. Mengabaikan segala bentuk pembaharuan atas nama kebenaran mutlak dari tradisi yang dia yakini. Dia memusuhi modernitas yang dicap hanya “merusak” tradisi.
Ki Hadjar Dewantara yang lantang dengan pemikiran-pemikiran kebudayaannya pun menyangkal keangkuhan atas nama tradisi semacam itu. Baginya, tradisi itu semacam pakaian. Persis seperti pepatah jawa: kepribadiaan seseorang dapat dilihat dari apa yang seseorang itu kenakan, dari pakaiannya. Karenanya menurut ki Hadjar tradisi ini semestinya kita pandang sebagai hal yang dinamis, terus berubah sesuai tuntutan zaman. Apabila sebuah pakaian kita pandang sudah tidak layak pakai, maka kita ganti dengan pakaian yang lebih layak dan sesuai.
Sebaliknya, seseorang
yang terjebak dalam arus modernitas akan cenderung mengalami krisis identitas
dan jati diri. Dia terus menerus berganti pakaian. Demi mengikuti “tren” dan
gaya hidup modernis yang terus berubah sedemikian cepat. Melakukan replikasi
budaya tanpa pandang bulu. Karenanya istilah orang Jawa, orang Sunda, apalagi
orang Indonesia menjadi tidak relevan lagi. Tapi sebuah identitas hybrid atau
gado-gado.
Tentu saja kita kerap
tidak menyadarinya. Karena permasalahan identitas yang seseorang hadapi tidak
dirasa secara langsung. Tapi bergerak dalam alam bawah sadar. Aku yang “nampak”
sebenarnya hanyalah citra yang terbentuk dari orang-orang sekeliling (seperti
orang tua, saudara, teman), dari televisi, sekolah, pasar, mall, dan
seterusnya. Pada mulanya, Aku memahami keberadaan-diri Aku dengan terlebih dulu
memahami keberadaan-orang-lain. Aku membentuk-diri Aku dengan “meniru”
bagaimana orang lain membangun citra atas dirinya. Orang lain menjadi alasan
Aku memilih jenis pakaian, orang lain menjadi alasan Aku membeli mobil baru.
Sekali lagi, identitas
seseorang tidak tetap tapi terus berubah dan berkembang. Maka sebenarnya sebuah
ungkapan “belum menemukan jati diri” adalah klise. Itu hanyalah bentuk lain
dari krisis identitas yang dialami oleh seseorang. Sebab sebuah pengandaian
jati diri yang purna hanyalah ilusi. Identitas adalah sesuatu yang terus
menerus dibentuk tetapi selalu kembali retak.