BAHASA
& SASTRA adalah dua buah nomina yang mengejala secara asosiasi. Bahasa;
entah ia sebagai fakta sosial, sebagai langue dan parole,
sebagai sistem tanda, atau -sesuai fungsionalnya- sebagai sarana
representasi-komunikatif, seringkali bertaut dengan bahasan lain, yakni sastra.
Sedangkan sastra sendiri adalah sebuah gejala kebahasaan. Jika saya ibaratkan,
keduanya selayaknya awan mendung dan air hujan. Pada mulanya adalah pengetahuan
tentang bahasa, selanjutnya barulah sastra.
Namun
dalam dinamikanya, Bahasa justru tunduk pada sastra. Sebagaimana yang pernah
diusung oleh Putu Wijaya dalam sebuah seminar, bahwa sastra bukan alat bahasa
tetapi bahasa adalah alat sastra. Sastra menjadikan bahasa sebagai medium yang
‘membahasakan’ sekelumit kabut gagasan yang bersifat ‘mental’, berupa petanda
dan penanda bahasa. Pendeknya; bahasa mengantarkannya menjelma sebagai Karya.
Bahasa
sastra sendiri menggunakan sistem tanda bahasa kedua. Yang dalam perspektif
psikoanalisis Freud, bahwa sebuah karya seni (termasuk sastra) adalah sebentuk
ruang penyampai represi dan ekspresi kejiwaan -seringkali dalam alam bawah
sadar si pencipta karya- yang tak mungkin disampaikan dengan cara biasa.
Memungkinkan, sastra tidak bisa dipahami dengan cara biasa pula. Karena ia
kerap kali berupa metafor-metafor simbolik. Padahal, sebuah karya itu selalu
berdiri diantara pencipta karya dan pembaca. Hal ini tentunya berakibatkan
terjadinya Space yang
diderita oleh bahasa sastra. Tetapi juga memicu terjadinya sebuah keintiman.
Eksplorasi,
rekayasa, dan permainan sistem tanda bahasa pada bahasa pada sastra barang
tentu membuat sekian pembaca mengeluh. “Saya tidak mengerti dengan maksud puisi
ini. atau Novel
itu jelek, bahasanya sastra banget. susah dipahami.” Inilah yang saya sebut
sebagai keintiman sastra. Sastra sebagai sistem tanda kedua atau cenderung
sebagai makna konotasi -terutama pada puisi atau sajak- mengharuskan pembaca
melakukan tafsiran-tafsikan dalam skala tertentu untuk bisa memahami –bahkan
menikmati- sebuah karya sastra. Yang tak kan jauh pula dari sejauh mana
pengetahuan pembaca akan sastra itu sendiri.
Gunawan
Muhammad (GM) dalam seks,
sastra, dan kita pernah
pula menyinggung keintiman ini lewat analisa trans-historikal kesusastraan
indonesia. Kesusastraan modern kita yang bersifat self-conscious mengalami
frustasi dan kehilangan keintimannya -sebagai bacaan kalangan terbatas- ketika
dibukanya keran kapitalisme berupa percetakan dan distribusi. Adanya masyarakat
umum sebagai khayalak luas ‘penikmat baru sastra’ memungkinkan terjadinya
dialog antara pencipta sastra dan para pembaca sastra. Yang pada akhirnya pula
menjerat sastra dalam mekanisme ‘pasar’. Dan ketika karya menjadi ‘barang
dagangan’, ia selalu ambil sikap sebagai ‘laku’ atau ‘tidak laku’.
Saya
kira disini seorang sastrawan, entah sebagai pengarang atau penulis –Roland
Barthes membedakan keduanya- berupa Novel, Cerpen, atau Puisi menemui
paradoknya. Berdiri pada posisi dilematis. Apakah ia menjadikan dirinya sebagai
otoritas otonom yang memiliki ‘hak’ penuh atas karyanya. Dalam hal ini dia
memposisikan diri sebagai pihak yang ‘acuh tak acuh’, dan tak mau tunduk pada
mekanisme pasar yang ada. Atau dia menjadikan dirinya sebagai seorang pencipta
karya sastra yang ‘peka’ terhadap selera publik dan memilih untuk mencoba masuk
kedalam lingkaran yang sudah ada. Kemudian berharap (lebih) karyanya dapat
diterima dengan hangat oleh banyak pembaca.
Andrea
Hirata sedikit menjawab pergulatan sengit ini,
setidaknya ia meyakini bahwa ada tiga kategori penulis. Pertama, penulis yang karyanya
bemutu tapi tidak laku. Kedua, penulis dengan karya yang bermutu dan laku. Dan
ketiga, penulis dengan karya yang tidak bermutu tetapi bisa diterima
masyarakat. Andrea menambahkan, Sebagai penulis seharusnya mampu mengarahkan
kemana tulisan yang akan dibuatnya. Apakah ingin membelokkan tulisan itu pada
karya sastranya tapi pembacanya terbatas, atau menulis dengan harapan mampu
menyapa pembaca dari semua kalangan. Ia pun mengakui yang memahami sastra itu
sangat sedikit dan menjadi sebab-musababnya ia tak berani disebut sastrawan.
Dan
agaknya bahasa sastra tak semestinya dijadikan perdebatan. Karena bahasa dan
sastra akan terus mengejala dengan dinamikanya. keduanya telah menjalin relasi
unik yang senantiasa mengelisah. Dan hanya akan menimbulkan frustasi ketika
mencoba mempertemukannya dengan kepuasan absurd pembacanya. Sastra membutuhkan
bahasa agar pesan dalam sebuah karya sastra bisa tersampaikan kepada pembaca.
Akan tetapi sastra juga memiliki sistem langue atau
‘buku pedoman’ tersendiri yang menginginkan kita untuk ‘menikmatinya’ sebagai
identitas: inilah ‘sastra’.
Pada
ujungnya; pilihan dikembalikan pada kita. Seorang sastrawan yang ‘cerdik’
tentunya dapat menakar sebarapa kadar kepekatan ‘sastra’ tanpa menghilangkan self-conscious dan
keintiman kesusastraan itu sendiri. Sehingga
sebuah karya sastra menemui ruangnya dan dapat diterima oleh para pembaca
sastra tanpa ‘keluhan’ atau protes. Pula tentunya para penerbit sastra ikut
ambil peran mengatur ‘irama’ didalamnya, dalam skala; mendamaikan antara
sastrawan, pembaca dan karya sastra itu sendiri.
***