Dekat
ini Jakarta menyongsong pesta demokrasinya pemilihan DKI-1. Enam calon bersaing untuk saling sikut memperebutkan kursi. Dari nama calon yang muncul,
persaingan ditaksir bakal ‘panas’. Fauzi Bowo memimpin dalam perhitungan
elektabilitas, tapi lawan-lawan
politiknya diprediksi dapat menikam diakhir. Sebut saja Jakowi yang namanya
melambung semenjak “esemka”, Alex Noerdin yang dianggap sukses di Sumatera
selatan, atau Faisal Basri sebagai calon independen yang belakangan merangsek
sebagai calon kuat.
Akan
tetapi persaingan ‘panas’ Pilkada DKI seperti hanya terjadi pada lingkup antar calon
terpilih dan tataran partai politik. Sebab muncul kesan paradoksal masyarakat
Jakarta adem-ayem menanggapi pilkada
DKI. Apa yang terlontar dari Mistar (35) seorang menjual gorengan, “saya enggak kenal calon-calon gubernur. Siapa
pun yang terpilih, saya cuma mau
harga bahan pokok murah”[1],
mewakili suara rakyat yang sepenuhnya kecewa, pada demokrasi dan politik. Harga-harga
barang yang mencekik rakyat miskin, Kasus-kasus korupsi, jual-beli kasus, dan
tebang pilih hukuman, telah membuat rakyat tak lagi percaya adanya keadilan.
Goenawan
Muhammad (GM) sebenarnya sudah mengurai secara gamblang kelesuan ini dalam demokrasi dan kekecewaan.
GM memetakan sejarah demokrasi kita semenjak demokrasi awal kemerdekaan,
demokrasi terpimpin Soekarno, demokrasi pancasila Soeharto, dan sekarang
demokrasi ‘liberal’ era reformasi sebagai “harapan yang retak”. Kesemuanya
mengarah pada tendensi bahwa demokrasi sebagai format, entah presidential atau
parlementer, justru oligarki dan otoriter, menampikan platformnya: dari, oleh, dan untuk rakyat.
Demokrasi
justru dianggap telah membunuh politik. Politik yang menurut Bagus Takwin itu
ikut-mengambil-peran[2] tercederai
oleh demokrasi “kurva lonceng” yang berusaha mempertahankan status quo pemegang kekuasaan dengan
membungkam suara-suara yang meniupkan angin perubahan. Dan juga dinodai oleh politik
transaksional yang dilakukan oleh para calon terpilih dengan partai politik,
antar partai politik, maupun dengan para “penyumbang dana” kampanye. Dimana
hajat orang banyak yang menanggung kesemua itu.
Kondisi
ini memperteguh demokrasi sebagai sebuah “kejadian momental”. Inilah yang
sepenuhnya kita alami dalam sejarah demokrasi kita. ‘Demokrasi’ menjadi mesiu ketika
mengulingkan totaliterisme Soekarno tahun 1965 dan menjatuhkan rezim 32 tahun Soeharto
pada 1998. Tapi setelah “kejadian” (baca: demokrasi) itu, semangat orde baru
mengganti orde lama, semangat reformasi merombak orde lama,
hanya sebatas “ledakan”. Suara, teriakan, tuntutan, perlahan berangsur-angsur surut,
bahkan tak bunyi lagi. Seakan “perubahan telah selesai”. Dan kita kembali
menjadi bangsa yang nerimo kawulo gusti.
Pemilu pun
sekedar ritus yang momental pula. Pemilu yang dianggap sebagai ruh demokrasi,
untuk membentuk parlemen atau legislatif sebagai “suara yang mewakili” dan
memilih pemimpin “pilihan rakyat” dianggap hanya sebagai kebutuhan normatif dan
prosedural dari demokrasi. Dan kita, masyarakat mengalami semacam histeria[3], dalam
bahasa sederhananya, mengalami kekalutan dalam menentukan sikap politik.
Pada satu
posisi kesadaran kita sudah mengangkat bendera mosi tidak percaya terhadap pemilihan
umum, yang dalam hal ini kepada para calon. Sikap apatis ‘rakyat’ seperti pak
Mistar adalah sebuah ketakterelakan. Bahkan ketika adanya calon jalur
independen yang dianggap sebagai katakanlah credible
alternative, dirasa tak cukup menyakinkan rakyat, bahwa tidak ada yang
mendomplengi “Yang independen” tersebut.
Rakyat
kadung menyadari estetisasi politik yang menampilkan kemunafikan wajah ganda,
yakni di permukaan indah, sementara dibalik itu busuk. Pemilu, seperti yang
dikatakan budayawan Mudji sutrisno adalah sarana manipuliasi masyarakat untuk
tangga naik. Lalu, begitu kursi jabatan sudah ditangan, rakyat sebagai anak
tangganya ditendang dan tak dipedulikan lagi nasibnya.
Namun satu
posisi lain, wacana politik membawa ketidaksadaran atau kesadaran palsu pada
rakyat untuk percaya dan menaruh harapan. Kita seakan dituntut untuk tidak
sepenuhnya apatis dan meredam sikap pesimis. Setidaknya oleh jargon-jargon
politik beberapa calon yang menjadikan ‘Teks etnik’ golongan, agama, atau wong cilik sebagai komoditas politik. Dan
memang tak dapat dipungkiri bahwa rakyat sering luluh di sini dan tak lagi
kritis.
Pun sering
terlontar bahwa mentalitas manusia kita sebagai bangsa yang latah, termasuk
latah politik. Yakni kecenderungan menentukan pilihan politik karena “meniru
yang lain”. Dan lagi-lagi kosmetika iklan dan media membuat makin mati lemasnya
kesadaran kritis. Bagaimana kecondongan politik media disinyalir memiliki
pangsa kuat untuk menggiring kemana suara rakyat. Menjadi soal, media kita saat
ini dianggap tak lagi objektif, karena telah dikuasai oleh elit dan kepentingan
tertentu.
Semua dikembalikan pada para
pemilik hak suara. Bagaimana mereka mengambil sikap politik. Sejauh ini, yang
terang adalah bahwa demokrasi yang mengecewakan tak sepenuhnya bangkrut. Demokrasi
masih bisa jadi format
dan sebagai representasi suara rakyat. Setidaknya, 11 juli nanti tak kesemuanya
harus menjadi golongan putih. Termasuk pak Mistar yang hatinya telah terlanjur
dongkol terhadap politik. (29/6)
[1] Majalah tempo edisi
19-25 maret 2012: elu jual gue beli! Menuju DKI-1. Dalam sebuah rubrik
berjudul: abang disokong, abang didorong. Hal 37.
[2] Politik sebagai ikut-mengambil-peran
merupakan rumusan Bagus Takwin terhadap pemikiran yang terkandung dari empat
tokoh politik, yakni Habermas, Ranciere, Camus dan Levinas. Memandang politik
dalam kerangka ikhtiar manusia untuk hidup bersama dalam rangka mencapai “yang
baik” (Lebih lengkap baca esai nya dalam pengantar buku empat esai etika
politik)
[3] Mengambil
ide psikoanalisis tentang hysteria sebagai suatu wacana antara kesadaran dan
ketidaksadaran. (lebih lengkap baca Lacan: L’Ecrits).