Menyesakkan
adalah perasaan yang hadir ketika kita melihat wajah perpustakaan sekolah. Perpustakan
kini tak lain ruang dengan tumpukan buku-buku tua berdebu. Buku-buku yang tercatat
di sampul belakang telah sekian tahun terakhir kali dipinjam dan dibaca. Ruang
senyap tanpa anak-anak sekolah yang asik berdiskusi membicarakan buku-buku
dongeng, cerita rakyat atau puisi kesukaan mereka.
Perpustakaan
sekolah seolah jadi museum pengawetan buku-buku. Tempat angker bagi anak-anak
sekolah untuk mengabiskan waktu istirahatnya. Mereka lebih memilih duduk dan jajan
di kantin. Lebih suka sibuk dengan gadget
di tangan ketimbang membaca buku. Miskin literasi, seperti itulah wajah
anak-anak sekolah.
Anak-anak
tanpa literasi gampang mengeluh ketika diminta gurunya menulis karya sastra.
Ketika diberi tugas dalam bentuk esai. Tak ayal lagi, anak-anak generasi pertanyaan
pilihan ganda tak diasah mengembangkan imajinasi maupun kemampuan bernalar.
Padahal itu dua aspek yang jadi bekal penting dalam memecahkan persoalan hidup
ketika dewasa nantinya.
Tanpa
literasi anak-anak kini seakan kebingungan menemukan dirinya dalam kehidupan.
Mereka kehilangan
identitas dan seolah membenci diri mereka sendiri. Ketika setiap hari mereka
mendapatkan nilai-nilai budi pekerti di sekolah akan tetapi gemar mencontek,
tawuran, dan pendangkalan karakter lain.
Teringat
apa yang Sindhunata (2004) katakan, anak-anak seolah tak berkaki. Bahwa membaca
adalah kaki-kaki itu. Melalui membaca anak-anak memiliki kaki-kaki yang
menuntun mereka berpijak dan menetukan pilihan hidup. Melalui membaca mereka
menyejarah, mengubah diri, melawan, dan juga mencintai manusia lain.
Tentu
saja menyedihkan apabila sekolah tak berliterasi. Tempat dimana semestinya
tradisi membaca dan menulis itu disemai. Perlu usaha keras untuk menjadikan
sekolah berliterasi. Anak-anak berliterasi tidak mungkin tanpa guru-guru yang
berliterasi pula. Minimnya budaya literasi di sekolah bisa jadi karena
guru-guru kita yang gagap literasi.
Guru-guru
tak usah latah teknologi dengan menugaskan anak sekolah untuk googling di internet. Lebih baik guru
mengajak anak sekolah ke perpustakaan. Bertemu dengan Buya Hamka, Chairil Anwar,
dan Pramodya Ananta Toer lewat karya-karyanya. Guru memperkenalkan dan membiasakan tubuh dan jiwa
anak-anak hidup sehari-hari bersama buku dan tulisan. Berliterasi di sekolah.