Kita prihatin bencana banjir
belakangan ini mengisi media kita. Tak sedikit pemberitaan yang ada menujukkan
upaya pemerintah dalam mengatasi banjir. Ambil saja contoh seperti normalisasi
kali, pengerukan waduk, pembenahan saluran air, dan upaya pendekatan struktural
lain. Secara politik kebijakan, semua itu menggunakan pendekatan logika proyek,
yakni bertindak setelah ada masalah. Alih-alih terbebas banjir, kota seperti
Jakarta terus saja setiap tahunnya terendam banjir.
Upaya struktural bukan berarti
tidak perlu. Namun mengatasi bencana juga perlu upaya non struktural dan
kacamata yang beragam. Misalkan dalam perspektif ekologi, yang melihat hubungan
timbal balik antara manusia dan lingkungan. Banjir maupun bencana alam sejenis
tak lain adalah hasil dari perilaku manusia, bagaimana kita gagal memperlakukan
alam dan lingkungan dengan bijak.
Bencana banjir erat kaitannya
dengan etika pembangunan. Kita bisa melihat selama ini pembangunan kita lebih dipandang
semata pembangunan fisik seperti mendirikan gedung bertingkat, jalanan
beraspal, dan pabrikasi. Dalam pembangunan kota, ekonomi menjadi tujuan. Tak heran
mudahnya izin pendirian pusat belanja, sementara lahan hijau makin sedikit. Wajar
bencana terus-menerus terjadi, bila pembangunan yang tak berbudaya ini terus
berlanjut.
Padahal dalam etika pembangunan,
ada pula pertimbangan dampak sosial dan budaya. Pembangunan tidak hanya
mencakup pengelolaan sumber daya alam, juga pengembangan sumber daya manusia.
Sangat penting paradigma ekonomi dan etika pembangunan yang lebih berpusat pada
manusia.
Apa yang diutarakan Franz Magnis-suseno
(1992) bahwa modal pembangunan yang paling penting adalah kualitas mutu
orang-orang kita, melebihi segala fasilitas fisik. Apa gunanya kita membangun
segala macam prasarana fisik, tetapi orang-orang kita tidak mampu memelihara?
Kita lantas bagaikan tong kosong tanpa dasar: terus diisi, tetapi tetap saja
kosong.
Selain banjir, kedepan kita
menghadapi tantangan bencana lain atas proyek industrialisasi. Perlu etika
pembangunan yang manusiawi. Dapat dari hal sederhana seperti menangani sampah
penyebab banjir. Etikanya, bukan dengan menciptakan Bank sampah, tetapi menghindari
sampah yang tidak perlu. Semacam kampanye: akan lebih mudah mencegah daripada
mengatasi. Begitu.