Kita mendapati akhir-akhir ini kasus
tawuran antar sekolah belum berakhir. Kita juga mengeluhkan berita anak muda
bertindak asusila. Pandangan kita, mengaitkannya dengan kesalahan pola asuh
keluarga, mengecap para orang tua telah lalai mendidik anaknya. Mungkin kita
sepakat, namun bukan berarti menyederhanakan persoalan. Kita pun semestinya
curiga, apa yang orang-orang saat ini pikirkan mengenai mendidik anak. Lebih
jauh, apa yang sekolah telah berikan pada anak-anak?
Cara mendidik sebenarnya suatu hal yang
bersifat kultural. Bangsa Barat mengenal kata
otoritarian, demokratis, dan permisif. Keluarga yang berkuasa, yang
membuka suara, dan yang liberal. Sementara masyarakat kita sendiri, semisal
orang jawa mengenal bahasa momong.
Dalam karya para priyayi (1992) Umar
Kayam mengajak menemukan keluarga Sastrodarsono menjadi gambaran orang jawa
dalam momong anak. Menanam etika melalui tokoh dalam cerita pewayangan seperti
pandawa lima dan punakawan, dari nilai luhur yang terkandung di dalam
tembang-tembang macapat.
Anak jawa dididik untuk menjadi bagian
dari masyarakat. Sebaliknya seorang anak jawa akan sangat isin atau malu ketika berperilaku yang menyalahi nilai atau norma.
Itulah, mengapa tradisi jawa maupun masyarakat Timur pada umumnya melahirkan
nilai-nilai kolektif ketimbang masyarakat Barat yang lebih individual. Jelas,
seperti yang dikatakan oleh Frans Magnis Suseno (2013), kebudayaan-kebudayaan
di Indonesia menjadi kontrol sosial dalam masyarakat.
Tentu saja tradisi semacam itu tumbuh
dalam masyarakat masa lalu, pada masa Indonesia pramodern. Zaman terus
bergerak, nilai dan etika tersebut telah banyak bergeser dan berubah. Dalam
masyarakat modernis sekarang, setiap perkara hidup disetir oleh rasio
konsumsi-produksi. Oleh logika bagaimana menimbun kebendaan. Begitu pula dalam
hal ihwal momong anak, mengenai cara-cara mendidik anak. Banyak cerita anak
dipukuli, dilarang bermain, dipaksa menjadi seperti kemauan orang tuanya.
Konsekuensinya, anak pun seolah dianggap benda, bukan jiwa.
Telah terjadi pergeseran peran dan
mengenai cara-cara momong anak. Menganggap sekolah sebagai tempat paling baik
mendidik anak. Dalam buku Deschooling
Society (1971), Ivan Illich membaca kondisi masyarakat yang tergantung
terhadap lembaga pendidikan. Orang-orang yang terbelenggu oleh sekolah
berkeyakinan bahwa belajar sendiri itu tidak cukup. Orang tua merasa tidak
cukup cerdas untuk membantu anaknya belajar. Maka dimasukkan anak-anak mereka
ke sekolah, ke tempat bimbingan belajar.
Sementara itu kita membuka sistem
pendidikan yang kita adopsi dari warisan kolonial. Sebuah model persekolahan
seperti ruang kelas, kurikulum, jam matapelajaran, dan lengkap dengan kurikuler
tersembunyi. Anak-anak dikenalkan logika standarisasi melalui test, diajari bagaimana
berkompetisi. Guru-guru melarang menghabiskan waktu dengan bermain, mengatakan
bermain itu bukan belajar. Guru tersebut seolah tak penah kenal dengan Frobel,
tokoh pendidik itu.
Sekolah seolah tempat satu-satunya
pendidikan anak. Orang melupakan adanya pendidikan nonformal dan informal.
Permasalahannya, sekolah pun nyatanya jauh dari esensi belajar, dari pendidikan
itu sendiri. Sekolah menyamakan pengajaran sebagai pendidikan, menganggap nilai
raport sebagai gambaran proses belajar, dan menjadikan pemberian hukuman
sebagai cara mendidik, yang bahkan dianggap paling tepat dan luhur.
Sulit disangkal bahwa sekolah menjauhkan setiap orang dari masyarakat. Guru
lebih suka anaknya bertanya tentang rumus, daripada mempertanyakan kemiskinan
di jalah-jalan. Lebih suka anak-anak pandai bahasa asing ketimbang bahasa ibu.
Ruang kelas justru menjadi ruang pemerkosaan jiwa anak, mencabut anak dari alam
kehidupannya. Lantas mengapa masih mengeluh ketika generasi kita lupa akar
budayanya?
Kita semestinya memahami bahwa sekolah
punya banyak keterbatasan sebagai istitusi pendidikan. Mulai berpikir guru-guru
tak akan cukup mampu untuk mendidik empat puluh kepala dalam satu kelas. Dan
sekolah tidak selayaknya dianggap sebagai agama baru yang menentukan masa depan
anak-anak. Kita harus membebaskan masyarakat dari belenggu sekolah, dari
pikiran sekolah sebagai tempat paling baik momong anak-anak.
Kita melupa pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan dan
keluarga. Tentang gagasan Tri-pusat pendidikan, yakni keluarga, perguruan, dan
pergerakan pemuda. Menempatkan keluarga sebagai pilar pusat pendidikan, tempat
lahir dan tumbuhnya budi pekerti. Ki Hajar Dewantara telah mengingatkan untuk
meragukan sistem sekolah, yang dia katakan hanya semata mengusahakan cerdasnya
intelektual (1935).
Tuntutan zaman yang ekonomistik bukan
berarti menelantarkan anak-anak. Tetapi menyelamatkan anak-anak dari
sinetron-sinetron, dari gadget-gadget
mereka, dari merek-merek dan iklan-iklan. Setiap orang tua semestinya berpikir
ulang untuk menyerahkan pendidikan anaknya kepada sekolah. Kita, orang-orang
yang momong, sekiranya mengingat perkataan Ki Hajar Dewantara, “Setiap orang
adalah guru, setiap rumah menjadi sekolah.”