Ibu dalam zaman mutakhir ini menunjukkan gejala-gejala terampasnya posisi ibu sebagai pendidik. Boleh dikatakan kita melupai ibu adalah guru. Seolah-olah ibu guru semata para perempuan di ruang kelas. Ibu kehilangan bahkan dihilangkan kelazimannya sebagai guru, kewajarannya sebagai pendidik anaknya. Kita melihat, bagaimana zaman mengkonstruksi posisi perempuan dalam konteks sosial, politik, agama dan budaya. Ibu pernah dilekatkan dengan dapur, sumur, dan kasur. Ibu dikaitkan sebagai tukang gosip, ibu diinginkan bisa bekerja di kantor seperti bapak. Zaman memaknai ibu dengan berbagai identitas, posisi, dan peran.
Ibu sebagai sebuah identitas selalu tak dapat dipisahkan dengan wacana
kekuasaan. Relasi kekuasaan bermakna ideologis yang hadir dalam ruang keluarga dan
institusi pendidikan. Kekuasaan yang sadar atau tidak sadar dibentuk dalam rantai
sosial budaya masyarakat modernis. Ibu sebagai pendidik kehilangan
posisi tawar tak lain akibat
dari pemaknaan kita terhadap sekolah. Kita beriringan dengan lahirnya kesadaran gerakan kesetaraan pada perempuan.
Abad XXI ini kita dihadapkan persoalan mengenai kekeliruan dalam memaknai
pendidikan semata pada ruang kelas. Sekolah dipandang sebagai ruang mendidik
satu-satunya. Ivan Illich dalam bukunya Deschooling
Society (1971) menggambarkan
masyarakat modernis yang sangat bergantung pada institusi. Selayaknya rumah sakit adalah tempat pengobatan
orang-orang pesakitan, sekolah pun dimengerti dengan cara yang sama. Sekolah
menjadi tempat menyelamatkan orang-orang yang dianggap bodoh. Sekolah semacam
kereta pengantar masa depan gemilang.
Kita menemukan anak-anak saat ini lebih banyak menghabiskan waktunya di
sekolah. Kita
mengeluhkan tentang begitu banyaknya materi pelajaran atau kurikulum pada
pendidikan kita. Pemerintah berdalih tuntutan zaman. Seolah-olah semuanya ingin diajarkan di sekolah. Selain
ilmu pengetahuan, sekolah juga dituntut untuk urusan budi pekerti, moralitas,
dan pelajaran agama. Akhirnya anak-anak kita mabok teks. Sekolah justru menjadi
ruang represi bahkan neraka bagi mereka.
Ketergantungan pada institusi pendidikan memberi dampak timbulnya rasa
rendah diri para ibu-ibu, bahwa mereka tidak sanggup untuk mendidik anak.
Urusan mendidik lalu diserahkan pada guru-guru di sekolah. Kekuasaan institusi
pendidikan mengerus posisi ibu yang punya tanggungjawab dalam mendidik anak.
Tak hanya itu, pengertian mendidik dipersempit sebagai mengajar. Guru-guru di
sekolah dianggap telah mendidik ketika telah mengajarkan membaca dan berhitung.
Sementara ibu dirumah berpikir anaknya telah dididik di sekolah. Para ibu itu
akan mempertanyakan sekolah ketika anaknya bermasalah dalam sopan santun.
Imanjinasi ibu sebagai pendidik juga menghilang ketika ibu-ibu
berbodong-bondong untuk bekerja. Lahirnya kesadaran mengenai kesetaraan
ternyata memberi efek dalam ambiguitas posisi dan identitas para ibu modernis.
Satu sisi ibu menginginkan dirinya bekerja agar mendapakan hak yang sama dengan
para bapak, akan tetapi itu justru merampas waktu bersama anak. Ketika hal itu terjadi, kita menyaksikan anak menjadi korban
dari ketidakharmonisan identitas dan pembagian tanggungjawab anatara ibu dan
bapak. Kecenderunganya kita akan mendapati anak-anak dengan perkembangan jadi
diri dan emosi yang labil.
Tak ayal lagi, kini kita menemukan para ibu modernis yang lebih banyak
menghabiskan waktunya dengan tumpukan kertas, memandangi layar komputer,
ketimbang waktu bersama anak-anaknya. Maka kita lalu mendapati anak-anak yang lebih
“mengenal” Bibinya ketimbang Ibunya sendiri. Kita pun menjadi sangsi terhadap
para ibu yang menjadi guru di ruang kelas, apakah mereka punya cukup waktu
untuk mendidik anaknya sendiri. Atau kita berhak curiga, jangan-jangan para ibu
guru justru gagal mendidik anaknya sendiri?
Kita tak mengharapkan semua gejala-gejala itu terus terjadi. Bagaimanapun,
tuntutan zaman tak selayaknya merampas ibu sebagai pendidik. Sebab kita
berimajinasi tentang ibu sebagai pendidik semata kelaziman. Pendidikan anak
yang tumbuh dari “pangkuan” ibu di rumah. Ibu sebagai pendidik sebuah pengejawantahan
makna “ibu pertiwi”. Ibu sebagai pendidik tak lain terwujudan dalam menyelami nilai-nilai luhur
bangsa ini.