Selasa, 20 Mei 2014, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) menginginkan keberhasilan “gerakan 20 menit
orang tua mendampingi anak”. Aher meminta para orang tua mendampingi anaknya
dari pukul 18.30-18.50, serentak di seluruh Jawa Barat. Agenda sengaja
bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Kita lantas kebingungan mengenai
esensi. Kita tidak yakin apakah gubernur bertanggungjawab mengurusi persoalan
orang tua dalam mendampingi anaknya. Kita sulit menemukan kaitan gerakan
tersebut dengan Hari Kebangkitan Nasional. Kita pantas curiga agenda tersebut
bermisi politik populis.
Demi menyukseskannya, iklan-ilkan disebar di surat kabar dan media sosial.
Dalam iklan di koran nasional, gerakan tersebut bertujuan untuk melindungi anak
dari kekerasan, demi menyelamatkan masa depan anak. Aher dan aparat pemerintah berdalih bahwa
agenda 20 menit didasari maraknya kekerasan terhadap anak. Ada keinginan
mencegah bertambahnya kasus kekerasan pada anak. Kita dapat merasakan nada kecemasan, kekhawatiran yang
berlebihan terhadap anak. Kita dapat menilik ide dari gerakan ini semata
tanggapan sporadis tanpa bernalar panjang.
Dari bahasa iklan tersebut saja kita disuguhi bahasa-bahasa warisan Orde Baru.
Bahasa iklan seperti “melindungi” dan “menyelamatkan” mengisyaratkan nuansa bahasa
Orde Baru. Ada misi birokratis. Persis seperti yang dilakukan oleh pemerintah
Orde Baru dengan upaya penyuluhan dan penertiban keluarga sesuai kemauan
penguasa. Aher dapat dinyatakan memposiskan dirinya seperti Soeharto dalam
politik-keluarga.
Kita belum tahu banyak mengenai tangapan para orang tua terhadap agenda berdurasi
20 menit. Apakah orang tua akan turut atau tidak akan mempedulikan. Tapi, kita
sangsi jumlah peserta yang terlibat.
Kita tidak dapat membayangkan bagaimana cara Aher dan aparat pemerintah memastikan
semua orang tua menjalankan instruksi. Dinyatakan 20 menit digunakan untuk
membacakan buku kepada anak. Kita pantas merasa aneh. Kita ragu apakah di rumah-rumah
terdapat buku-buku bacaan untuk anak. Kita semakin ragu dengan kejelasan dan
kewarasan dari gagasan 20 menit mendampingi anak.
Kita dapat mengingat corak keluarga Indonesia yang berbeda seperti yang ada
dalam buku Dirumah dan Disekolah terbitan
Chailan Syamsoe, 1954. Buku itu menjadi buku bacaan bagi anak-anak di masa 1950-an.
Dalam buku itu disajikan kisah-kisah bergambar mengenai hubungan ibu, bapak, dan
anak di rumah. Kisah ibu memandikan anak, bapak membacakan cerita. Membawa
imajinasi orang tua memberikan pelukan, ciuman, dengan wajah keriangan
anak-anak dan tawa seorang ibu. Kita merindukannya. Gambaran anak dan orang tua
pada masa lalu tentunya berbeda dengan kondisi keluarga saat ini yang semakin
penuh tantangan.
Kemunculan gerakan 20 menit maupun gerakan sejenis tak lain menggambarkan
pemerintah mulai kehabisan akal dengan maraknya kekerasan terhadap anak. Kita
menyadari saat ini orang tua punya sedikit waktu untuk mendampingi, memberi
perhatian, kasih sayang terhadap anak. Kita tak dapat menampik telah kehilangan
ikatan orang tua dan anak yang ada pada keluarga-keluarga di tahun-tahun lalu.
Hari ini komunikasi orang tua dengan anak adalah komunikasi instan lewat
BBM, SMS. Orang tua lebih banyak menghabiskan waktunya dengan tumpukan kertas,
memandangi layar komputer, ketimbang waktu bersama anak-anaknya. Mendapati
anak-anak yang lebih “mengenal” bibinya ketimbang ibunya sendiri. Gerakan 20
menit lahir dari tidak adanya kesadaran waktu bersama anak.
***