Bus kota menjadi tontonan warga kota sehari-hari. Deru mesin,
kepulan asap knalpot mengisi ruang kota yang bising. Di sisi lain, bus menjadi imajinasi ruang kota,
menyajikan pemandangan akan
gairah pembangunan. Bus-bus yang berseliweran di tengah kota semacam pemenuhan
kebutuhan untuk kepentingan
transportasi. Warga kota membayangkan
sebuah mesin yang dapat mengantarkan berapa puluh orang mengelilingi kota,
menelusuri jalanan rata beraspal, menikmati gedung-gedung bertingkat menjulang ke
langit.
Imajinasi seperti
itu pula sebagai awal kemunculan bus kota, yakni metromini di Jakarta. Keberadaan metromini tak terlepas dari pesta olahraga negara-negara
berkembang, GANEFO, yang digagas Sukarno, tahun 1962. Sukarno memerintahkan pengadaan metromini yang saat itu disebut bus merah untuk mengangkut
atlet dari berbagai negara. Sukarno berambisi menyulap kota. Bus termasuk dalam proyek impian Sukarno: ibu kota yang
modern, dengan bus-bus yang mengantarkan warga kota menikmati sebuah
perjalanan kota metropolis.
Angkutan
publik adalah pesona lain dari bus dalam imajinasi kota. Sebagai angkutan publik, tentu semua
lapis warga kota dapat menggunakan bus kota. Tak padang bulu siapa: anak-anak, tua maupun
muda. Tak pandang kelas: anak sekolah, penjual sayur, karyawan, pegawai negeri, maupun
pejabat kota. Bus kota memungkinkan pertemuan berbagai wajah warga kota.
Bus
kota adalah ruang imajiner sebuah masyarakat inklusif.
Saat ini, imajinasi tentang perjalanan di kota, pesona dan keramahan
menaiki bus, kita tidak mengalami itu semua. Tetapi kita menghadapi bus kota yang lain. Tak ada tegur sapa, tetapi saling sikut
berebut tempat. Mata harus awas sebab pencopet di
mana-mana. Kemacetan di setiap penjuru kota membuat kita
ingin buru-buru turun dari bus kota. Perjalanan menggunakan bus kota adalah perjalanan yang melelahkan, jauh dari rasa
aman apalagi nyaman. Jelas bukan perjalanan kota seperti
impian Sukarno.
Beberapa
tahun lalu, ada lagu terkenal berlirik, “Bus kota sudah miring ke kiri oleh sesaknya penumpang, aku terjepit di
sela-sela ketiak penumpang yang bergantungan.” Suasana bus kota tersebut terekam dalam lagu Franky Sahilatua, Bus Kota, pada 1990-an. Franky lewat lagu-lagu baladanya memang gemar
“bercerita” mengenai kehidupan orang sehari-hari. Lagu Bus
Kota mengambarkan
suasana dalam bus kota di Surabaya, yang panas dan berdebu. Walau telah puluhan tahun, Bus Kota
tetap kontekstual hingga kini.
Dengan judul
lagu yang sama Bus
Kota (1990), Ahmad
Albar juga “memprotes” bus kota yang jauh dari imajinasi kota metropolis. Lirik Bus Kota
seperti: berlarian mengejar bus, bus tanpa pedingin, berdesak-desakan dengan aroma tak
karuan. Suasana yang sampai sekarang terus kita hadapi. Ahmad Albar pun dengan lirik yang
begitu peka mengambarkan para penumpang bus kota yang seakan tak memiliki pilihan: “Serba salah, nafasku terasa sesak, berhimpitan,
berdesakan, bergantungan. Memang susah, jadi orang yang tak punya, kemanapun naik
bus
kota.”
Meskipun bus kota menjadi angkutan publik, tetapi bus kota pada kenyataannya diperuntukan bagi
warga kota yang tak punya pilihan lain. Sebab orang tentu
tak akan mau menaiki bus kota yang cenderung tak manusiawi itu. Persis seperti
lirik lagu Ahmad Albar, penumpangnya adalah orang-orang dengan kantong minim. Dalam
bus
kota, kita temukan wajah warga kota pinggiran. Imajinasi tentang warga kota
yang inklusif seolah urung dengan kendaraan pribadi yang berjejal di jalanan
kota.
Ada
pengharapan ketika hadirnya busway
sebagai tontonan baru di kota. Tetapi busway
pun nyatanya sebuah proyek “terapi kejut” untuk menyembuhkan kekecewaan warga
kota pada bus kota dan kemacetan. Busway menjelma
simbol budaya politik negara untuk mendapatkan legitimasi, tak lebih usaha
kekuasaan dalam membentuk identitas penumpangnya: menata dan
mendisiplinkan warga kota (Abidin Kusno, 2009).
Padahal busway menjanjikan imajinasi kemenanggan
warga kota pinggiran. Busway memberi
perasaan sekelas lebih tinggi daripada bus-bus kota lain. Membuat penumpang merasa berbeda dari
sekelilingnya ketika di tengah kemacetan ia berjalan tanpa hambatan di sepanjang
jalur khusus. Busway menawarkan
perasaan superior bagi penumpangnya. Mengantarkan warga kota pinggiran pada
imajinasi naik kelas. Mungkin saja.