Baru
saja kita disuguhi agenda pendeklarasian Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Kita memiliki dua poros, Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Jokowi mengunakan museum
Joang 45
untuk menyatakan dirinya maju sebagai calon presiden.
Pemilihan museum punya makna lebih. Kita mendapati ada politik ruang dalam
momentum deklarasi. Museum mendadak tak sekadar memiliki nilai sejarah, budaya intelektual,
atau ilmu pengetahuan. Museum tiba-tiba memiliki nilai politis.
Gedung
Joang 45
adalah bekas Hotel Schomper milik pengusaha Belanda,
tetapi diambil alih oleh para pejuang untuk menggelar pendidikan politik bagi
para pemuda. Pihak Jokowi menyatakan, deklarasi sengaja mengambil tempat di
Gedung Joang untuk mewarisi semangat perjuangan tokoh pemuda “menteng 31”
seperti Sukarni, Chairul Saleh, BM Diah, dan Adam Malik. Ada propaganda politik
ingatan yang hendak mengesankan kepada publik bahwa Jokowi mengusung “berjuang”
dalam jiwa nasionalisme. Upaya menegaskan ke publik, Jokowi adalah “pewaris”
Soekarno.
Kita
mendapati gejala pergeseran makna yang melekat pada museum. Kita ingat, menilik
sejarah museum di Indonesia, tak terlepas campur tangan pemerintah Belanda di
masa penjajahan. Museum sebagai ruang adalah ide masyarakat Eropa. Bangsa ini tak
mengenal museum sebelumnya. Masyarakat tradisonal kita “mengawetkan” kejayaan raja-raja dan artefak kerajaan
dengan membangun candi-candi. Museum baru kita temukan di tahun-tahun awal abad
XX.
Tahun-tahun
yang lalu, museum menjadi ruang penyimpanan ingatan sejarah; ilmu pengetahuan,
seni, sastra, intelektualitas. Kita menemukan patung, lukisan, buku, dan
benda-benda yang dianggap bernilai sejarah, kesenian dan kesusastraan. Masyarakat
Eropa mengunjungi museum untuk menghadirkan gairah renaissance, heroisme masa
lalu. Ingatan akan kesadaran sejarah sengaja dihadirkan oleh museum. Museum
sebagai ruang bergelimang ingatan masa lalu sekaligus letupan harapan pada masa
mendatang. Museum adalah simbolisme wisata budaya peradaban manusia.
Dari
kilas balik itu kita kehilangan romantisme museum di zaman mutakhir ini. Kini,
museum adalah ruang sepi minim pengunjung. Wisata museum kalah bersaing dengan
bioskop, mall, dan wahana-wahana rekreasi. Kita mulai meninggalkan museum, yang
artinya meninggalkan pula sejarah peradaban bangsa ini. Nalar ruang
mengantikan nalar historis, masa lalu menjadi imajinasi ketertinggalan yang
usang, kuno, dan primitif. Sementara kita menginginkan kehidupan penuh fantasi,
pop dan modernis.
Nalar
mengubah pandangan mengenai ruang, terhadap museum. Saat ini museum lebih
identik dengan nalar rekreasi seperti sesi foto-foto. Patung dan lukisan di
museum semata frame atas kemewahan
dokumentasi digital. Ketika dalam memori ruang kita dapat mengingat ataupun
melupakan, memori kita terhadap museum-museum lebih banyak lupa ketimbang
ingat. Museum menjadi pengingat tanpa ingatan. Museum telah lama ditinggalkan
publik.
Lalu
tiba-tiba museum diangkat dalam kancah politik. Agenda pendeklarasian calon
presiden dan wakil presiden menggunakan ruang museum menjadi siasat politik
simbolis. Museum menjelma dekorasi politik Jokowi. Museum Joang yang jarang
kita sebut tiba-tiba publik membicarakannya. Publik seolah diajak kembali menenggok
museum. Tetapi bukan dalam ingatan akan peradaban, melainkan ingatan politik.