"Jika
kita dalam perjuangan revolusioner tidak mengambil inisiatif duluan, maka lawan
mendapatkan keuntungan menguasai kemauan dan perbuatan kita sehingga kita
dipaksa dalam keadaan pasif melumpuhkan." (Tan malaka:Naar de 'Republiek
Indonesia')
Saat
ini penegakan hukum bangsa kita tengah compang-camping. kehilangan kekuatanya,
sehingga borgol-borgol tak mampu lagi mengikat para tikus-tikus gendut yang
kian rakus saja mencabik-cabik hak orang-orang yang ‘sengaja dilupakan’.
Mewabahnya dalang-dalang pewayangan yang pintar memainkan skenario cerita 1001
malam versi markus semakin melumpuhkan sendi-sendi eksistensi kita sebagai
negara hukum.
Tengoklah
kasus arthalita-urip, ballout century,
Anggodo, dan sekarang Gayus tambunan. Itulah hanya sebagian kecil kasus yang
ter-scaning didalam cerita 1001 malam tersebut. Masih
banyak virus-virus yang tak terdeteksi. Mungin karena ganasnya Mr.virus
tersebut, sehingga antivirus itu sendiri telah terkontaminasi virus sehingga
bersekongkol untuk tidak membuka siapa dalang dibalik semua ini. Sehingga yang
tertangkap hanyalah virus-virus ringan macam worm.
Hukum
itu ibarat sebuah payung. Ketika kita ingin payung itu dapat memayungi dengan
kuat dan kokoh, maka kita harus membuat pilar-pilar penyangga payung tersebut
yang kuat dan kokoh pula. Pilar-pilar penegakkan hukum sebuah negara itu
sendiri ada tiga, yaitu hukum itu sendiri (law), aparatur hukum (institution
of law), dan rakyat yang dinaunginya (public).
Berbicara
tentang hukum maka mata kita takkan terlepas pada sorot tajam kepada si pembuat
hukum atau undang-undang yaitu DPR. Sampai sekarang ini UU tentang tindak
pidana Korupsi masih terkatung-katung tidak jelas. DPR terlalu takut membuat UU
untuk menghukum mati para koruptor dengan berbagai macam alibi, yaitu
pelanggaran HAM dan sebagainya. Padahal jelas-jelas para koruptor telah
melakukan pelanggaran HAM besar karena secara tidak langsung telah ‘mematikan’
jutaan jiwa bangsa ini. Banyaknya intervensi dari berbagai kepentingan politik
adalah dalang ciutnya nyali para ‘yang katanya’ aspirator suara rakyat ini.
Pilar
kedua adalah aparatur hukum. Kasus keluar masuknya Gayus tambunan dari sel
tahanan ke bali, singapura, malaysia, hongkong dan macau sampai berkali-kali,
serta pengakuan dari dirinya telah menyogok sebesar 20 milar kepada para aparat
polisi dan jaksa merupakan sebuah tamparan keras terhadap kedua institusi
tersebut. Tidak bersihnya antivirus yang bernama polri dan kejaksaan dari Mr.
Virus, merupakan sinyal besar bahwa sistem pemerintahan dan hukum kita telah crash
and corrupt. Dan jika meminjam lagi kata-kata dalam IT
maka jalan satu-satunya harus dilakukan install ulang, atau dengan kata
merestrukturisasi semua jajaran polri dan kejaksaan dari atas sampai bawah.
Dengan catatan meremove seluruh jajaran yang telah menjadi budak markus tanpa
pandang bulu dan sistem tebang pilih seperti selama ini. Pertanyaanya, berani
kah?
Ketika
pilar pertama dan kedua sudah goyah atau bahkan roboh, maka tumpuan kita
satu-satunya hanyalah pada pilar ketiga atau terakhir yaitu rakyat. Fungsi
pilar ketiga ini bukanlah the
tower of law maintenance, akan
tetapi sebagai rescuer dari
tegaknya supremasi hukum bangsa ini. Sebagai negara yang menjunjung tinggi asas
demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, seharusnya kita jadikan power
of people untuk melawan, berontak
atas segala ketidakadilan yang sangat nyata dan mencekik. Tan malaka mengatakan
Ujud perjuangan yang dilakukan inisiatif ialah offensif. Mereka yang menyerang
duluan, mempunyai inisiatif dan menguasai kemauan dan perbuatan lawannya (Naar
de 'Republiek Indonesia: 1925).
Namun
ketidakbecusan pemerintah selama ini dalam menyelesaikan berbagai kasus korupsi
dan makelar kasus telah melahirkan bibit sikap-sikap apatis yang mengerogoti
hati rakyat. Rakyat kini mulai jenuh dan bosan dengan otak sampah para elit
politik negeri ini. Ketika rasa kepercayaan semakin luntur, maka muara dari
sikap apatis, acuh, masa bodoh adalah terbentuknya manusia-manusia individualis
materialis. Homo hominilupus yang mementingkan dirinya sendiri, dimana
menggunakan cara-cara busuk demi meraih tujuan mereka yang berorientasi pada
materi.
Maka
sesungguhnya kemana arah perahu candik ini berlayar, demi mencapai cita-cita
dan tujuan para building father kita
dulu, bukan ditangan Nahkoda. akan tetapi pada para awak perahu bangsa ini.
Karam tidaknya perahu kitalah yang menentukan. Namun tak adil rasanya, karena
mereka juga masih punya pilihan. kalau kata Soe Hoek Gie kita hidup hanya ada
dua pilihan yaitu apatis atau idealis?. Terserah kita mau memilih yang mana.