“huuaahh....”
“berisik amat nih, gangguin orang tidur
aja.”
Aku maki alarm yang ku setel sendiri. lalu
sambil mencoba membuka mata yang masih berat, tanganku jelalatan mencari-cari
handphone yang dari tadi tak berhenti berdering. Tak lama ku temukan handphone
tepat berada dibawah bantal, ku lihat di jam handphone sekarang sudah pukul
05.00 pagi. Dengan mata yang masih setengah tertutup ku buka pesan baru yang
tadi malam belum sempat ku baca karena ketiduran, ternyata sebuah kartu nama.
Nama
Riska Aurelia
Ponsel
+6287733478633
Singkronisasi
Pribadi
Aku kaget dan langsung berdiri dengan
perasaan setengah tak percaya ketika membacanya. ku coba membuka mata
lebar-lebar untuk memastikan bahwa aku benar-benar sudah terbangun dan
tidak sedang bermimpi. lalu ketika menyadarinya aku pun terkulai lemas, ku rebahkan
tubuh ke tembok kamar.
hatiku benar-benar masih tak percaya
dengan semua ini, setelah penantian panjang selama ini. Dan tanpa ku sadari
linangan air mata telah membasahi wajah kusamku.
Delapan tahun lamanya aku terpisah
dengannya, tak tahu dimana keberadaanya. Delapan tahun pula aku mencarinya,
bertanya kepada teman-teman SMPku, menanyakan kabarnya, keberadaanya, rumahnya,
atau hanya sebatas nomor handphone. Tapi tak pernah ada hasil.
Wilda, dialah yang mengirimiku kartu nama
Riska semalam. Dia adalah sahabat Riska saat SMP dulu. Tempo hari aku
menanyakan keberadaan Riska dan bertanya apakah dia memiliki nomor handphone
Riska yang bisa aku hubungi. Tapi saat itu dia mengaku tak memilikinya.
Kini setelah hari-hari panjang yang ku
lalui, begitu tiba-tiba, disaat aku mulai belajar untuk merelakan kepergiannya.
Hari ini, ku temukan dia, Setidaknya membuka lagi harapan yang telah ku simpan
rapat-rapat.
Ku terbangun dari lamunanku saat teringat
bahwa hari ini aku berencana akan pulang ke kampung halamanku mengikuti tradisi
mudik saat lebaran tiba. Jam dinding kamar menunjukkan sudah pukul enam lewat.
Ku usap air mata yang belum mengering, lalu segera bergegas untuk menuju ke
terminal Bus pulogadung.
***
Selama perjalanan pulang fikiranku terbawa
saat-saat ku SMP dulu. Saat dimana aku diam-diam mengagumi sosok cewek cantik
dan pintar bernama Riska. Dia adalah gadis keturunan jawa asli, tubuhnya
mungil, dengan rambutnya yang tak ia biarkan terurai, ia ikat rambutnya hingga
tampak seperti ekor kuda. Saat itu aku adalah cowok pendiam dikelas. Ku
teringat kapan pertama kali ku mulai menyukainya, saat dia dengan senyum
manisnya mengajari ku mengerjakan soal matematika. memang sebuah cinta monyet
yang begitu biasa. Tapi dari yang biasa itu tertanam rasa dan kerinduan ku yang
luar biasa kepadanya.
Entah sudah berapa kali, untuk kesekian
kalinya ku baca lagi pesan singkat dari Wilda tadi malam. Sejenak aku pun
terdiam, lalu jari tanganku mulai memencet tombol-tombol di handphone ku.
087733478633
Panggil...
Tut...tut...tut...tut...
“halo..”
“ia, halo.. assalamuakaikum. ini riska
bukan?”
“waalaikumsalam, he’em. Sampeyan sopo?”
“aku Aries, temen SMP Riska dulu..”
“Aries...?”
Lalu kami pun ngobrol panjang lebar,
menurutnya dari suaraku di telpon, aku sudah berubah tak seperti dulu yang
pendiam, tapi dia masih tak percaya kalau ini aku, karena begitu lama kita
terpisah, delapan tahun lamanya. kami bercerita saat-saat SMP dulu. Saat kami
berdua digosipkan saling berpacaran oleh anak-anak sekelas dulu. Indah rasanya
mendengar suaranya lagi. Namun Perjalanan delapan jamku pun terasa singkat, ku
sudahi perbincangan penuh kerinduan kami berdua saat bus yang aku tumpangi
telah merapat di terminal bus ponolawen.
***
Sore itu, ku keluarkan sepeda ontel
kesayanganku dari garasi rumahku. Hari ini aku berencana menemui gadis yang
delapan tahun lamanya ku rindukan. Gadis yang tak pernah pergi dan selalu
singgah di hatiku. Dia yang telah menyiksaku, tak membiarkanku berpaling ke gadis
lainnya. Lalu bersama degug jantungku yang kian kecang, ku kayuh sepedaku
meninggalkan rumahku menuju Jl. Rambutan no. 19
Langkahku terasa berat saat berjalan di
pekarangan menuju pintu rumahnya. Ku susuri rangkaian tanaman hias dengan
berbagai jenis bunga yang cantik dan tertata rapi dengan perasaan sedikit
canggung dan ragu. Namun ku mantapkan hatiku begitu sampai dan ku ketuk pintu
dengan pelan.
Tok..tok..tok...
Terdengar suara gadis yang rasanya tak
asing bagiku menyahut dari dalam rumah, sontak hatiku berdebar-debar. Tak lama
kemudian di balik pintu muncul gadis mungil cantik sambil tersenyum kepadaku,
senyuman manis yang masih sama seperti dulu.
“Aries yah..?”
“iah..” balasku dengan gugup.
“jangan diam aja disitu, ayo pinarak mas.”
“iah..”
***
Kemudian Riska mempersilahkan ku untuk
duduk, sementara ia pamit sebentar ke dapur untuk membuatkanku minuman. Nafasku
masih belum teratur, rona gugup masih menyelimuti wajahku. Lalu ku coba
mengalihkan pikiran dengan melihat-lihat sekeliling ruangan.
Rumah riska bisa dibilang sangat
sederhana. Bangunan orang jawa tempo dulu dengan lantai yang tinggi dan
daun-daun jendela yang panjang dan lebar. Namun rumahnya tampak tertata dan
rapi. Dindingnya dihiasi beberapa hiasan dari tangan dan album foto keluarga. Mataku
yang mondar-mandir kini tertuju pada sebuah foto yang digantung di atas daun
pintu. Sebuah foto Riska dan laki-kaki yang umurnya setingkat diatasku. Tapi ku
tak mengenalnya, mungkin itu kang mas nya batinku. Sesaat berselang Riska
datang membawakanku secangkir kopi hangat dan beberapa kue.
“monggo mas, diunjuk kopi nipun, kaleh
dikersakke roti ne. Namung niku sing enten.”
“iah makasih ris, maaf udah ngrepotin.”
Awalnya kami berdua masih agak canggung.
Namun tak lama kemudian kami mulai terbiasa dan suasana lebih mencair.
“baru mampir sekarang, kemana aja selama
ini mas.” goda Riska.
“nggak kemana-mana kok, cuma melaksanakan
perintah rasululllah, nyari ilmu di Jakarta.” Jawab ku sambil tersenyum.
“oh, mas kuliah di Jakarta. Mas hebat
yah.” Lagi dia menggodaku
“biasa aja ris, hebat itu kalau aku datang
kesini bawa mobil. Ini, ku kemari cuma bawa ontel.”
“yang penting itu niatnya mas. Tapi dulu
aku sempat merantau ke jakarta juga mas.”
“beneran?”
Kemudian riska pun mulai bercerita. Waktu
itu setelah kami lulus SMP dulu, sama seperti lainnya riska berniat meneruskan
ke SMA. dengan prestasinya yang menonjol, ia tak kesulitan diterima di SMA
paling favorit di kota. Namun nasib berbicara lain. Ayahnya mengalami
kecelakaan dan meninggal tepat di hari pertama ia masuk sekolah. Riska pun
akhirnya harus merelakan mimpinya merasakan bangku SMA karena ibunya tak mampu
menanggung beban ia dan ketiga adiknya. Lalu beberapa bulan kemudian, riska
memutuskan mengadu nasib ke jakarta bersama seorang teman dikampungnya.
Miris hatiku mendengarnya. Gadis paling
pintar di kelasku dulu, gadis yang mengajariku menyelesaikan soal persamaan
kuadrat dulu, gadis yang ku cintai meski bertahun-tahun tak bertemu harus putus
sekolah lebih awal. Hal yang tak pernah terfikirkan olehku. Ku bayangkan betapa
hancurnya hati riska saat itu. kematian ayahnya yang juga mengubur mimpi riska
dalam-dalam.
“sabar yah yang..”
“maaf, tadi mas bilang apa?”
“eh, maksud aku sabar yah, yang berlalu
biarkan berlalu”
“iah, makasih yah aries.” Sambil ia
tersenyum.
“sama-sama.. Eh gimana kalau kita
jalan-jalan aja pake ontelku?”
“hah, kemana?”
“ke pantai aja, mau ya?”
Kemudian riska mengiakan ajakkan.
***
Jarak antara pantai dan rumah Riska tak
begitu jauh, hanya sekitar 2 km. Sehingga tak butuh waktu lama, hembusan angin
laut telah terasa, menerpa rambut hitam riska yang sedikit bergelombang dan
membuatnya terurai indah. Begitu aku hentikan kayuhan sepeda ontelku, riska
langsung turun dan melangkah ke sebuah batu besar yang tengah melawan terjangan
debur ombak. Lalu akupun beranjak menghampirinya.
“tak banyak yang berubah ya ris”
“iah, tak banyak yang berubah di pantai
ini, menenangkan hati.” Binar matanya kosong, menatap jauh ke laut lepas.
“terakhir kali aku kesini waktu kita
perpisahan dulu kan, sekitar delapan tahun yang lalu. Kamu masih ingat kan
ris?”
“masih mas.” sambil ia mengeser posisi
duduknya sehingga kini kami duduk bersebelahan di batu besar tadi.
“tempat ini begitu berarti buatku.”
“sama mas.”
“sama halnya kau sangat berarti buat aku
ris”
Lalu riska menolehkan pandangnya kearahku.
Sedangkan aku memandangi ombak yang bergelombang.
“maksud mas aries” ucap riska pelan.
“kamu masih ingatkan ris dulu waktu
perpisahan, kita dan teman-teman menuliskan sebuah mimpi kita masing-masing
dikertas, lalu dimasukkan ke sebuah botol.” Sambil ku tersenyum
“masih mas.”
“kau tau ris apa yang aku tulis waktu
itu?”
Riska hanya mengelengkan kepalanya.
“emm..”
du bist meine liebe, und ich moöchte, dass
sie alle begleiten.
kau yang kucintai, dan ku ingin kau pun
yang temani.
“Mungkin kata itu amat sederhana.
Sederhana sekali. Tapi itu adalah bahasa hatiku yang kusimpan. Teruntuk
kasihku. Dia yang mengajariku mengerjakan soal matematika, dia yang memberiku
semangat agar jangan mudah menyerah, dia yang ku cintai, dia yang kucari, dia
yang delapan tahun ku rindu.”
“kau kau, kamulah gadis dalam tulisanku
itu ris.” sambil ku pegang tangannya dan ku tatap matanya dalam-dalam.
Riska tak menjawab. Ia palingkan wajahnya
dariku. Hanya menunduk.
“apakah kau juga tau kenapa tempat ini
begitu berarti buat aku mas?” tanya riska sesengukkan.
“tidak ris..” aku sedikit bingung
melihatnya
“setiap sore mas..” matanya tampak
berkaca-kaca.
“iah, kenapa?”
“setiap sore aku disini, menunggu, dan
menunggu. Tanpa sebuah kepastian.”
“menunggu siapa?” tanyaku pelan.
“menunggu seseorang. Dia adalah anak buah
kapal dari seorang pemilik kapal, tuan sudibyo. Sudah sekitar delapan bulan ini
mereka berlayar. Dan sampai sekarang tak ada kabar. Laki-laki itu... suami aku
mas.” Suaranya memelan.
Lalu riska tak lagi sanggup mengekang air
matanya keluar, ia keluarkan bersama kesedihan yang selama ini ia pendam
sendiri. Aku sendiri hanya membisu. Bingung, tak percaya, sedih, kecewa.
Ternyata laki-laki di foto yang ku lihat tadi.. ahh..
“Hari ini tanggal 11 februari 2011, tepat
dua tahun ulang tahun pernikahan kami. Sebuah pernikahan yang awalnya berat aku
terima. Pekerjaanya sebagai seorang pelaut lah yang membuatku takut, karna ia
akan membuatku sering khawatir dan kesepian. Tapi ia berusaha meyakinkanku. mas
Rudi adalah laki-laki yang baik dan penyayang. Hal itu pula lah yang akhirnya
meluluhkan hatiku waktu itu.”
Aku hanya menunduk, menatap tanpa arti
pada anak-anak kepiting yang merayap dibebatuan. Aku bingung. Sejujurnya hatiku
hancur mendengar kenyataan ini. Kenapa kami dipertemukan lagi kalau akhirnya
akan seperti ini. Tapi disisi lain hatiku juga merasa sedih dan kasihan pada
nasib pahit kasihku, gadis yang sangatku cintai.
“Maafkan aku mas ya..”
Aku tak menjawab, diam.
“bolehkah aku bertanya sesuatu?”
“ia mas” sambil mengusap air matanya.
“apakah kamu juga atau setidaknya pernah
ada rasa sama aku ris?”
“iah mas..”
“tapi aku masih ingin menunggu,
mengunggunya sampai aku bosan. Meski aku tak yakin apakah aku akan bosan.”
“makasih ya” ucapku singkat.
Sejenak kami berdua terdiam, hanya ada
suara debur ombak dan kawanan burung dikejauhan.
***