Oleh : Muhammad Khambali
Alangkah
malangnya penghuni bumi saat ini, ia hidup di zaman yang aneh. Mungkin juga
konyol. Tak tau kenapa tiba-tiba ada yang hilang---mungkin lupa---entah kenapa.
Padahal ‘sesuatu yang hilang’ itu merupakan hal esensi, sebuah eksistensi kita
sebagai makhuk bumi yang berakal budi. Taukah, sesuatu yang hilang itu bernama
‘nilai’, entah itu nilai budaya, etik, moral, juga agama. Celakalah kita.
Sebab,
nilai setidaknya memberi
kita sebuah keniscayaan. Menunjukkan kita akan garis-garis imajiner yang
membekali kita dalam laku juga pijakan berfikir. Konon, akibat ‘sesuatu yang
hilang’ itu, kini manusia memandang hidup ini sebagai sesuatu yang absurd,
tanpa batasan-batasan yang jelas. Bingung menentukan mana yang benar dan
mana yang salah, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Lalu tumbuhlah
partikularisme, egoisme, juga sinisme. Pada akhirnya, entitas akan altruisme
pun perlahan memudar. Mungkin juga hilang.
Tak
sebatas itu, kemudian muncul anomali nilai yang mengagas sebuah semantika baru
dalam ranah pendidikan. “Nilai” baru itu tereduksi dalam ruang sempit yang kita
kenal sebagai nilai ulangan, nilai UTS, nilai UAS, nilai Raport, atau nilai
ijazah. Ia telah menjadi Neo-keniscayaan
yang mengukuhkan diri sebagai batu pijakan tunggal dalam dunia pendidikan kita.
Maka, lahirlah kolonialisme, serta Komunalisme pecinta ‘nilai’.