Membaca kondisi pendidikan kita saat ini sepertinya mencoba
membuka diskursus yang usang dan kusam. Banyak tafsir dan intepretasi, tarik
ulur benang kusut, yang terkadang hanya menimbulkan frustasi di belakang.
Sebenarnya, ekspresi yang tersingkap adalah pendidikan telah mengecewakan kita.
Terlebih pada simbol dimana pendidikan itu dihegemonikan semacam tempat ibadah,
sekolah.
Pendidikan yang ditraktat sebagai jalan untuk memanusiakan manusia
tengah menemukan jalan buntu, mungkin juga berbelok arah. Secara parsial
pendidikan kini menjadi ajang adu prestis antar sekolah: Sekolah kami
berpredikat “lulus 100”, sekolah kami ber-AC, atau sekolah kami menawarkan
paket “bilingual” atau “internasional”. Pada kondisi ini, sekolah tak lagi
memposisikan diri sebagai kawah candradimuka para civitas akademika, tapi
sebagai sebuah sekolah kapitalis.
Kehadiran sekolah kapitalis ini kemudian melegitimasikan cara
berfikir borju kepada para orang tua yang menyekolahkan anaknya. Pendidikan dan
sekolah menjadi ajang adu gengsi antar orang tua: anakku sekolah di sekolah
favorit, atau anakku sekolah di sekolah internasional. Pada akhirnya sekolah kapitalis
menciptakan kelas-kelas sosial baru. Memetakkan mana sekolah bagi si kaya dan
mana sekolah bagi si miskin.