Membaca kondisi pendidikan kita saat ini sepertinya mencoba
membuka diskursus yang usang dan kusam. Banyak tafsir dan intepretasi, tarik
ulur benang kusut, yang terkadang hanya menimbulkan frustasi di belakang.
Sebenarnya, ekspresi yang tersingkap adalah pendidikan telah mengecewakan kita.
Terlebih pada simbol dimana pendidikan itu dihegemonikan semacam tempat ibadah,
sekolah.
Pendidikan yang ditraktat sebagai jalan untuk memanusiakan manusia
tengah menemukan jalan buntu, mungkin juga berbelok arah. Secara parsial
pendidikan kini menjadi ajang adu prestis antar sekolah: Sekolah kami
berpredikat “lulus 100”, sekolah kami ber-AC, atau sekolah kami menawarkan
paket “bilingual” atau “internasional”. Pada kondisi ini, sekolah tak lagi
memposisikan diri sebagai kawah candradimuka para civitas akademika, tapi
sebagai sebuah sekolah kapitalis.
Kehadiran sekolah kapitalis ini kemudian melegitimasikan cara
berfikir borju kepada para orang tua yang menyekolahkan anaknya. Pendidikan dan
sekolah menjadi ajang adu gengsi antar orang tua: anakku sekolah di sekolah
favorit, atau anakku sekolah di sekolah internasional. Pada akhirnya sekolah kapitalis
menciptakan kelas-kelas sosial baru. Memetakkan mana sekolah bagi si kaya dan
mana sekolah bagi si miskin.
Padahal sekolah seharusnya ambil peran dalam penyadaran cara
berfikir masyarakat kita, yang pernah dikatakan Tan malaka, tantangan terbesar
bangsa kita datang dari diri kita sendiri, persoalan cara berfikir. Dan juga
kritik oleh S. Takdir Alisjahbana tentang statis dan matinya otak bangsa kita.
Ini dimungkinkan kondisi dan ‘budaya bisu’ yang dibangun oleh struktur-struktur
sosial dan politik yang ada. Membuat kaum tertindas atau kaum kromo terbelenggu
dalam kerangka berfikir logika mistika dan fatalisme.
Lebih menyedihkan mereka yang tak terdidik. Apa yang membedakan?
Kaum kromo yang tak terdidik ‘hanya dapat’ berfikir hidup untuk hari ini yang
menghimpit, sementara yang terdidik -dan tercerahkan- berfikir bahwa hidup
adalah tentang keluar dari himpitan hari kemarin, merefleksi hari ini, dan
melangkah untuk hari esok. Lantas, apa jadinya kalau sekolah-sekolah sekarang
jutru mendidik kita dengan cara berfikir borju? Sekolah yang melahirkan para
penindas-penindas baru?
Sekolah saat ini adalah tempat orang-orang terhukum. Kelas
menghukum mereka, sebab ruang kelas telah menjadi tempat pemasungan mereka.
Memasung otak dan cara berfikir mereka. Sekolah kapitalis mempraktekan sekolah
‘gaya bank’ seperti yang dikatakan oleh Paulo Freire, guru adalah si penabung,
sementara murid adalah celengannya. Kosong.
Sekolah ‘gaya bank’ ini membuat ruang kelas sebagai tempat
menjadikan murid sebagai para “buta huruf baru” yang mabuk metode dan teks-teks
mati. Murid diajar membaca (menghafal, membeo), tapi buta dengan teks yang
mereka baca. Sebab teks justru menjauhkan mereka dari konteks, dari realitas.
Meraka menjadi buta, tidak peka dan ‘tersadarkan’ kondisi diri mereka, apalagi
keadaan sosial. Tabiat para pejabat sekarang adalah cermin hasil didikan ini.
Sekolah pun tak jarang meluluskan para pesakitan baru. Kata
‘pesakitan’ sering disematkan pada orang terhukum atau terdakwa. Sementara para
pesakitan baru ini adalah mereka –para siswa- yang kecewa pada ruang kelas,
kecewa bahwa sekolah tak merubab apapun, tak merubah nasib mereka. Banyak
lulusan SMA atau sarjana yang hidupnya tetap tidak jelas dan terkatung-katung.
Ijazah sekolah hanya simbol. Sekolah bergaya bank mencetak mereka sebagai
produk siap pakai bagi para borjuis dan petindas. Mereka yang tertindas makin
tertindas.
Para guru dan dosen pun menjadi pesakitan ruang kelas. Guru-guru
kita seakan mabuk dengan sertifikasi maupun PLPG, tapi tetap miskin intelektual
dan kreativitas. Guru pun tak lagi digugu lan ditiru, akan tetapi diguyu
lan ditinggal turu. Kemudian dijadikannya guru sebagai “profesi” semakin
mendekontruksi “guru” itu sendiri. Para calon guru memadang menjadi guru tak
lagi sebuah pengabdian untuk mencerdaskan anak bangsa, tapi sekedar profesi
-sama seperti profesi yang lain- yang berorientasi materialis. Hal ini tentu
kegagalan LPTK kita.
Maka sekolah adalah tempat para pesakitan. Murid pesakitan, guru
pesakitan, kepala sekolah pesakitan, orang-orang dinas pesakitan, dan menteri pendidikan
yang pesakitan pula. Menteri pesakitan memandang pendidikan sebagai sebuah
‘proyek’ 20% anggaran APBN. Lahirlah proyek gonta ganti kurikulum, proyek
Ujian Nasional, proyek BOS, dan proyek-proyek lain.
Dan pendidikan saat ini seakan menemukan titik frustasinya.
Barangkali tak salah kita mengulang apa yang pernah oleh prof HAR Tilaar
lontarkan, ilmu pendidikan telah mati. Sekolah pun tak lagi bisa diharapkan
sebagai tempat yang membebaskan dan mencerahkan, tapi justru menumpulkan.
Mungkin tak salah Roem Topatimasang dalam bukunya sekolah itu candu: sekolah
sudah mati! Selamat tinggal, sekolah!
Semoga pendidikan kita hanya frustasi sesaat.