APA SALAH jika aku tidak peduli nilai.
Setidaknya dengan hasil. Apakah kuliah hanya sekedar mengejar nilai, kemudian
merawatnya baik-baik. Rela melakukan apa saja, hanya demi selembar kertas yang
tak memanusiakan manusia ini. Demi nilai aku belajar semalam suntuk, menghafal,
membeo, membuat catatan kecil, catatan pinggir, lalu mencontek. Ah, aku jenuh dengan
kata terakhir tadi.
Pertanyaan-pertanyaan ini, terus berputar-putar di otakku.
Menghujamiku bak hujan meteor yang membakar hangus semua ingatan tentang nilai.
Menghakimiku, menyudutkanku, lalu menelanjangiku. Seolah-olah akulah seorang
terdakwa si pengikut nilai. Lantas, aku pun tak berdaya, aku rapuh, dan
akhirnya hanya termenung. Bisu. Nilai benar-benar pernah menjadi Tuhan bagiku.
Cih!
Tapi kini tak lagi. Aku
jenuh. Aku bosan. Dan aku muak. Jenuh menjadi botol kosong yang terus dijejali
aksara-aksara tak bermakna selama bertahun-tahun. Bosan membohongi orang tua,
memberikan mereka kebahagian utopis. Dan muak karena sekolah justru membuatku
merasa kian bodoh. Bahagiakah aku berada di ruang kelas selama ini? Entahlah.
Semua ini membentukku menjadi manusia yang skeptis. Pula memaksaku melawan
kehendak Bapak.
AH, Bapak tak pantas dipersalahkan. Ia sama halnya lelaki melarat
kebanyakan. Berwatak keras, sulit menerima hal apapun yang bertentangan dengan
pola pikirnya. Bagi mereka, Kebenaran hakiki adalah kebenaran yang telah
ditanamkan para pendahulu kami, para kaum melarat. Aku bisu. Nasib menjalani
kerasnya kehidupan telah membentuk karakter yang keras pula.
Masih kurekam jelas sore itu. Aku seorang anak yang baik, patuh
dan selalu menuruti perkataan bapak, tiba-tiba melawan. Entah setan apa yang
merasukiku. Ku berontak, dan membantah semua perkataannya. Tak ada yang
mengalah. Berselisih tentang nilai, tentang kuliah, juga tentang masa depan
kami.
Kami terpaku. Mata kami saling menatap dengan sorot yang tajam dan
menusuk. Juga nafas yang mengendus. Tapi tak lama berlalu, aku pun lalu
menunduk. Terdiam dengan tatapan kosong. Suasana hatiku kalut, tak tahu apakah
aku harus menyesali. Ruang sempit tempat kami biasanya makan bersama itu pun
hening tanpa suara. Bisu. Sesaat kemudian, aku berpaling, melangkah keluar.
Pergi.
Nilai lah yang salah. Sekolahlah yang harus
bertangggung jawab atas pertengkaran ini. Bukan aku.
∑ ∑ ∑
Kesadaranku pulih. ketika seorang gadis berjilbab, dengan tinggi
semampai mengenakan blues putih panjang, dibalut rok hitam bermotif
bunga-bunga. menghampiriku sambil menenteng tas kecil berwana merah. Ia tak
menyapa, tapi tersenyum kecil. Lalu ia duduk di sampingku. Merasakan dinginnya
jeruji-jeruji besi tempat kami duduk.
Tak ada hal berarti yang kami berdua lakukan setelahnya, selain
hanya diam. Menatap rerimbunan pepohonan. Memperhatikan dedaunan kering yang
berserakan, ia diterbangankan oleh angin, melayang-layang sejenak, lalu
terjatuh lagi. Berulang-ulang seperti itu.
Kami juga mendengarkan kicau burung-burung emprit. Mereka
menari-nari di dahan, melompat-lompat dari satu ranting ke ranting lain. Seakan-akan
pepohonan taman ini telah menjadi rumah yang hangat bagi mereka. Aku
tersinggung.
Namun suasana ini tak lama. Lusi menolehkan pandangannya padaku.
Menatapku penuh arti. Ku tangkap ia dapat membaca kegelisaan hatiku. Tapi dia
hanya diam. Bisu. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Hanya kudapai bola
mata yang indah, bulu-bulu mata yang lentik, juga bibir yang marum. Paras
cantiknya itu; memintaku untuk bercerita.
“Sayang...Pernahkah kamu merasa bosan, atau jenuh dengan
ruang-ruang kelas? Pernahkah kau berfikir apa yang kita jalani dan lakukan
disana adalah hal yang sia-sia?”
Lusi hanya diam. Tak sepatah katapun keluar dari mulut dan
bibirnya. Ia masih menatapku, lalu menganguk pelan.
“Terkadang aku merasa demikian. Aku merasa tak bahagia. Entah
mengapa. Ada sesuatu yang tak ku dapatkan. Aku tak merasa bebas untuk
berbicara, berteriak, menjerit, mungkin juga menghujat. Di ruang kelas; aku
merasa tak menjadi manusia, yang merdeka seutuhnya. Tapi.. mungkin aku salah.”
Lusi hanya diam. Tak sepatah katapun keluar dari mulut dan
bibirnya, begitu pula aku. Kami kembali memperhatikan dedaunan kering yang
berserakan. Ia diterbangankan oleh angin, melayang-layang sejenak, lalu
terjatuh lagi. Begitu berulang-ulang.
Hingga Lusi menyiratkan memintaku memperhatikannya. Kedua tangan
dan jemarinya yang lentik ia gerak-gerakkan, mengisyaratkan simbol-simbol yang
agak sulit ku mengerti. Ia mengulang-ulang gerakkannya, bibirnya mencoba
mengejakan sesuatu. Ia tampak berusaha keras.
Tangan kanannya dengan telapak tegak, menghadap kedepan dihadapan
bahu kanan. Digerakkan lurus kedepan. Lalu jari-jarinya ia genggam, kecuali
jari telunjuknya, berdiri melengkung. Ia gerakkan lurus kebawah dengan kaku.
Kemudian tangan kanan dan kirinya dengan jari telunjung dan tengah saling
mengapit, sedangkan lainnya menelungkup. Ia gerakkan melingkar ke atas belakang
saling mengelilingi.
Penuh arti aku menatap setiap gerakan yang ia tunjukan. Hingga
perlahan ku dapati maksudnya. Aku tersenyum kecil, tapi juga tak tega
melihatnya. Ku rengkuh kedua tangan mungilnya, dan meletakannya tepat
dipangkuannya sambil eratku gengam. ku tatap matanya dalam-dalam, lalu
berbisik, “Ayo ikut denganku. Aku ingin mengenalkanmu dengan bapak.”
Mulanya ia tampak ragu. Tapi akhirnya Lusi pun mengangguk pelan
dan tersenyum padaku. Manis sekali senyumnya.
∑ ∑ ∑
SEPANJANG PERJALAN pulang aku terbayang saat pertama kali bertemu
dengan Lusi. Di taman dekat kampus ku lihat ia tengah terisak-isak sendirian.
Hatiku pilu melihatnya. Aku memutuskan mendekatinya, duduk disampingnya.
Berharap; ia mau membagi kesedihannya denganku.
Ia terkaget. Menghentikan tangisannya. Lalu menatap mataku, sorot
matanya tajam penuh curiga. Aku tersenyum, lalu memberikannya sebuah sapu
tangan. Ku katakan padanya bahwa sapu tangan ini adalah peninggalan dari ibuku
satu-satunya. Dulu ia meminta agar meminjamkannya pada temanku yang sedang
bersedih hati.
Sapu tangan itu pun ia rebut dari tanganku. Dan entah kenapa,
kemudian ia menangis sejadi-jadinya. Suara tangisnya dalam, ada rintih. Ia
seperti menumpahkan sesuatu yang lama ia pendam dan kekang didalam dirinya. Aku
yakin; Ada luka pada hati gadis itu. Tangis itu membuat yang mendengar hatinya
tersayat. Juga hatiku.
Aku larut dalam perasaanku yang mendalam. Hingga tanpa ku sadari
pabrik-pabrik dengan asap mengepul, pasar ikan yang berderet di kanan kiri
jalan, dan gang-gang sempit menuju rumahku, telah ku lewati. Dan kini kami
telah sampai di depan pekarangan rumahku. Sesegera pula ku parkir motorku.
Lusi tampak agak ragu ketika ku ajak beranjang dari jok motorku,
juga langkah kakinya terasa berat ketika kami berdua menyusuri pekarangan
bunga. Ku tahu ia sedang gugup. Tapi ku berhasil yakinkan hatinya sebelum ku
ketuk dahan pintu yang catnya sudah agak kusam.
Tapi setelah berkali-kali ku ketuk, tak ada suara yang menyahut
dari dalam rumah. pintu rumah juga dalam kondisi terkunci. Apakah bapak sedang
ke luar rumah? Fikirku. Tapi tidak ah, sore-sore seperti sekarang bapak
biasanya sudah pulang dari bengkel. lama kami sabar menungu, tapi tak juga ada
tanda-tanda sahutan dari dalam rumah. Wajah gelisah pun tampak menyelimuti kami
berdua. Dan akhirnya kami memutuskan mencoba masuk lewat pintu belakang.
Ternyata pintu belakang tengah terbuka. Dibiarkan mengangga begitu
saja. Tak biasanya bapak seceroboh ini, fikirku. Dengan keringat dingin yang
mulai membasahi wajahku. Begitupun Lusi, tubuhnya tampak gemetaran melihat
kondisi dapur yang berantakan, dengan panci dan piring yang berserakan di
lantai. Sementara aku tak begitu peduli dengan hal itu dan bergegas menuju
pintu kamar bapak.
Sekujur tubuhku terasa lemas, seluruh otot sendiku kaku. Ketika
menatap tubuh bapak tengah tergolek lemah di pembaringan kasur kamarnya. Dengan
air mata yang mulai mengalir ku dekati bapak, ku usap darah yang mengalir dari
kedua lubang hidungnya yang sudah mengering. Sesegera ku dekatkan telingaku di
dadanya, juga ku remas-remas otot nadi di pergelangan tangan kanannya. Dengan
suara sesak ku pangil-pangil nama bapak, tapi ia tak jua menyahut. Di
sampingku, lusi berusaha menguatkanku ketika tangis bisuku memekik di sore yang
sendu.
∑ ∑ ∑