Ada
sebuah adagium, minyak mudah membakar atau membuat kita tergelincir. Rasanya
kita perlu berwawas itu ketika BBM dan ribut-ribut soal subsidi minyak menjadi
bola liar di tengah wacana publik.
Tiap
kali ada isu kenaikan BBM, publik cepat terbakar menanggapi. Terutama
para elit politik kita yang suaranya terbelah, antara yang memberi reaksi
penolakan maupun dukungan. Lucunya sekalipun berbeda sikap dan argumen,
masing-masing pihak merasa itu semua atas kepentingan masyarakat kecil.
Hal
seperti itu terus berulang tiap kali isu BBM mencuat. Lama-lama publik pun menjadi
jemu. Melihatnya sebagai pertunjukan politik yang membosankan dan memuakkan. Para
elit politik itu lebih tampak sedang tampil sebagai maklar politik ketimbang seorang
“wakil” yang memikirkan masyarakat kecil. Putut EA (2009) menyebut maklar
politik itu seperti ular, mereka suka berganti kulit.
Kita
mendapati politik simpati. Para elit politik kita tahu betul kalau minyak itu
menyangkut hajat orang banyak. Bagi para oposan, kenaikan BBM jadi senjata
untuk menggoyang pemerintahan. Sementara bagi pemerintah, menaikkan harga BBM
bukanlah kebijakan populis. Bisa-bisa tergelincir jika tidak berhati-hati.
Hitung-hitungan politik semacam itu menjadi cermin mentalitas yang bebal.
Kita
mengingat Abdul Rohim, seorang sopir yang prihatin dengan banyaknya paku di
jalanan Jakarta berinisiatif memunguti paku itu setiap sebelum berangkat kerja
dan sepulangnya ia kerja. Kegiatan ini mempertemukannya dengan Siswanto yang
memiliki kepedulian serupa. Magnet bekas speaker
pun dimodifikasi keduanya menjadi alat penyapu paku. Sederhana tapi menusuk
nurani, bagi Siswanto, “Daripada mengeluh dan menunggu ada langkah pemerintah,
bukanlah lebih baik kita turun ke jalan?”
Cerita
itu hanyalah nukilan dari kisah-kisah lain mengenai keteladanan pengamalan
pancasila oleh Yudi Latif (2014), dalam buku Mata Air Keteladaan. Lewat buku itu Yudi Latif seperti ingin
menghadirkan tokoh, peristiwa, pengamalan pancasila dalam perbuatan.
Kisah-kisah itu dihadirkan ditengah keringnya nya nilai-nilai keteladanan dalam
masyarakat kita saat ini yang sibuk dengan berbagai macam dagelan.
Dari kilas kisah penyapu paku itu, para elit politik dan kita selayaknya menginsafi
mereka ketika persoalan minyak terus menjadi hantu. Minyak tidak untuk
menggerakkan mobil pribadi orang-orang yang tak malu memiskinkan dirinya
membeli BBM subsidi. Tetapi minyak menggerakkan keteladanan yang dicontohkan
orang-orang seperti Abdul Rohim dan Siswanto. Masalah minyak lebih banyak
bersumber dari sumur mentalitas kita yang tidak pancasilais.