Semenjak dulu politik bergantung pada bahasa. Kata, istilah,
kalimat, ungkapan yang hadir dalam politik menciptakan persepsi dan tafsir pada
ruang publik. Lewat bahasa kita dapat menafsir politik hendak diarahkan pada
demokrasi, keadilan atau politik bermisi kehausan atas kekuasaan. Kita
bergelimang bahasa politik dalam agenda pemilihan umum saat ini. Pelbagai
kampanye politik memenuhi surat kabar, televisi, dan media sosial. Bahasa
menjadikan ruang publik penuh sesak dengan politik.
Kita mengingat Soekarno pernah menjadi orator sangar
dalam pidato-pidato penuh bergelora. Orasi “Amerika kita setrika, Inggris kita
linggis” pernah menjadi cermin politik “revolusi” Soekarno yang anti
kapitalisme Barat. Bagi pemimpin besar revolusi, Pidato menjadi referensi
politik. Istilah dan ungkapan seperti Nasakom, Jas merah, Berdikari menjadi
bahasa orisinilnya. Bahasa menjadi senjata politik paling ampuh bagi Soekarno.
Lain hal dengan Soeharto, bahasa pernah menjadi alat
politik anti-politik era Orde Baru. Oleh Soeharto, “revolusi” diganti dengan
“pembangunan”, haluan “politik” berubah “ekonomi”. Kata “pemuda” yang bermakna
subversif diganti dengan kata “remaja” yang bersifat kekanak-kanakan. Melalui
politik bahasa EYD, Orde Baru berkepentingan menghilangkan ingatan Orde Lama. EYD
tak semata ejaan yang disempurnakan, melainkan politik edjaan pengalihan sedjarah.
Bahasa terus direproduksi, dihadirkan,disebarkan, lalu
dilekatkan. Bahasa menjadi referensi politik setiap zaman. Tetapi bahasa juga selalu
menjadi antitesa politik. Pasca reformasi, kita berulang-ulang disuguhi oleh
para pemimpin negeri ini dengan kata-kata seperti perubahan, perbaikan,
kesejahteraan, demokrasi, keadilan dan Hak Asasi Manusia. Bahasa semacam itu semakin
sering kita dengar, lihat, dan baca dari kampanye sekarang ini.
Hari-hari penuh sesak bahasa kampanye. Masing-masing kubu
melontarkan kata-kata kampanye. Tidak hanya ide, misi, dan program kedepan,
kita mendapati bahasa sindiran, cemooh, bahkan fitnah. Fakta dan data disetir
untuk pihak yang dibela, persepsi dibentuk dan digiring pada salah satu kubu
yang didukung. Kita kecewa, ruang publik justru lebih banyak dijejali kampanye
hitam miskin nalar. Lebih sering bahasa arogan ketimbang bahasa intelektual.