Sekolah pernah menjadi perlambang terbitnya terang, munculnya zaman bergerak, kelahiran elit modern. Orang ingin sekolah, orang ingin mengubah nasib. Aksentuasi sekolah selalu dikaitkan dengan angan meraih cita, memperbaiki status sosial, memartabatkan diri. Bersekolah adalah ruwatan atas kemelaratan dan kebodohan. Sekolah demi melek aksara, untuk memuliakan huruf.
Barangkali
berkah terbaik yang diberikan sekolah adalah kesadaran. Pengetahuan mungkin
saja coba dibentuk, diproduksi, disebarkan lewat sekolah mengejawantah
kepentingan guru, kepala sekolah, menteri pendidikan, pemangku kebijakan
pendidikan. Sekolah selalu bermisi kekuasaan. Sekolah kolonial diadakan demi
kebutuhan tenaga perah terdidik untuk menyokong pemerintah Hindia Belanda.
Sekolah Orde Baru pun melakukan hal serupa. Setiap kebijakan pendidikan tak
lain manifestasi “pembangunanisme” Orde Baru.
Tetapi
sekolah adalah pisau bermata dua. Mengajari seseorang membaca seperti seorang
tuan hendak melepas sahaya-nya. Memberi pintu terhadap pengetahuan, pada
buku-buku dan literasi memungkinkan munculnya kesadaran, penolakan, perlawanan seorang
individu maupun kolektif.
Goenawan
Mohammad (2011) memandang praktik pendidikan kolonial dulu adalah contoh paling
mudah atas upaya politik “mimikri” lewat sekolah yang gagal. Sekolah justru
melahirkan kesadaran kebangsaan. Sekolah menjadi titian awal menapak angan
komunitas berbayang seperti yang diungkap Benedict Anderson (1983). Konon, alam
pikir modern yang berwawas kebebasan dan kemerdekaan itu lahir dari kemelekan
huruf yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Kini
awal abad XXI ini jauh lebih banyak orang yang dapat membaca menulis ketimbang
yang masih buta huruf. Tiap tahun pemerintah memaparkan dan memperbaharui data
statistik indeks kelompok buta huruf yang terus mengecil. Tetapi kita sangsi
apakah itu menjadi bukti Indonesia telah beraksara? Apakah membaca buku telah
menjadi kemuliaan hidup bagi sebagian besar orang yang sudah “terberantas” buta
huruf itu?
Kita
menyadari melek huruf tidak diartikan semata ketika seseorang dapat membaca
sebuah teks; misalkan buku pelajaran. Melek huruf berarti melakukan kerja
cendikiawan; membaca tidak sekedar usaha gramatikal atau semantikal yang
badaniah, tetapi upaya politik, budaya, intelektualitas, religiositas.
Sekolah
tidak lagi bermisi literasi. Di kota-kota, orang dilarang sekolah apabila belum
dapat membaca dan menulis. Sekolah mirip ajang seleksi. Orang yang ingin
belajar dianggap peserta yang harus memenuhi persyaratan dan aturan. Sekolah
menjadi tragedi pendidikan kita yang berseberangan dengan nalar edukasi.
Wajah
sekolah mutakhir adalah keprihatinan terhadap pendidikan kita. Imajinasi
sekolah telah bergeser digerus zaman. Ingatan sekolah disesaki represi ujian, dihantui
PR, dibebali materi dan soal LKS. Sekolah menjadi ruang imperialis kapitalisasi
pendidikan kita. Bersekolah menjelma melemparkan diri masuk ke dalam pabrik
penghasil ijazah, gelar, profesi.
Ikhtiar
berangkat ke sekolah berubah. Orang ingin bersekolah, orang ingin pamer diri.
Anak-anak diantarkan ke sekolah untuk adu gengsi: telepon genggam, merk sepatu,
kendaraan yang dibawa ke sekolah.
Pendidikan adalah ruang menebar benih pamrih: martabat, asal-usul, status
sosial, gaya hidup. Kita lengah mengurusi pendidikan. Kini sekolah di tepi
pendidikan. Miskin ilmu, miskin buku.
Arah dan Angan
Bagaimana
semestinya arah dan tujuan sekolah? Sebuah pekikan kata yang telah berulang
kali diserukan pada pelbagai seminar, ruang akademik, pidato kenegaraan, televisi,
koran, media. Ini pula yang dimunculkan dalam diskusi kurikuLAB oleh Serrum, di
Taman Ismail Marzuki, Jakarta 18 Oktober lalu. Obrolan menghadirkan diantaranya
Yuli Prasetyo kepala sekolah anak berkebutuhan khusus Talenta, Lestia Primayanti kepala sekolah Kembang, Bandung Mawardi esais pendidikan Bilik Literasi, Solo.
Lewat
diskusi wagu di sebuah meja, arah dan
tujuan sekolah diobrolkan, didiskusikan, dan coba digagas ulang oleh kepala
sekolah, guru, penulis, aktivis pendidikan, dari berbagai latar sekolah. Kita
gusar, kepelikan masalah pendidikan tumbuh di sekolah meski berakar dari pelbagai
hal. Sekolah selalu menjadi ruang penghakiman pendidikan kita.
Diskusi
berkisar pada pendangkalan pemaknaan belajar. Belajar tidak ingin diartikan sebagai
mengerjakan soal dan ujian. Belajar bukan ajang kompetisi demi gapaian rangking
kelas dan prestasi. Belajar tidak bertendensi ruang labelisasi si Pintar dan si
Bodoh. Belajar coba direka, didefinisikan ulang.
Kekeliruan
pemaknaan belajar dapat kita telusuri lewat bahasa, pakaian, buku yang
digunakan dan dihadirkan di sekolah. Dari ucapan, anjuran, perintah, aturan
yang dikeluarkan guru-guru dan para pemangku kebijakan sekolah. Ideologisasi
sekolah dilakukan dengan sadar maupun tidak disadari.
Bereferensikan
jejak sejarah pendidikan, Bandung Mawardi berorasi kalau praktek ideologisasi
dapat ditelusuri lewat bahasa yang dipakai di buku-buku pelajaran. Buku-buku
pelajaran tahun 50-an berjudul seperti “Bahagia”,
“Cahaya”, “Matahari”. Pilihan kata yang dipakai menjadi tafsir bagaimana
belajar dimaknai di zaman itu. Judul buku bergelimang imajinasi kebahagiaan. Kini,
buku-buku pelajaran dipenuhi pelbagai kata, “Sukses”, “Kiat”, “Bank Soal”. Maka belajar dibentuk
sebagai angan kesuksesan material, merujuk pada nalar berprofesi.
Bandung
Mawardi mengungkapkan pendangkalan makna belajar nampak bagaimana kita berulang
kali mengganti istilah, “murid”, “siswa-siswi”, lalu “peserta didik”. Istilah
peserta mengangankan sekolah mirip sebuah agenda. Padahal dulu kita pernah memakai
istilah “pelajar” yang lebih rekat dengan “belajar”. Pendidikan bergantung pada
bahasa. Kata, istilah, kalimat, ungkapan yang dipakai menciptakan imajinasi dan
tafsir kita mengenai belajar dan pendidikan.
Sekolah
di abad XXI menghadirkan keprihatinan. Sekolah mengejawantahkan pendidikan kita
yang disesaki ide industrialiasi. Sekolah tak hanya berkah, tetapi juga duka. Semenjak
dulu sekolah penuh resiko dan polemik. Kita patut menyimak salah satu isi
manifesto pendidikan atas Usulan Paidea,
Mortimer J. Adler (1982): Sekolah memang tak dapat mengambil alih tanggung jawab
pendidikan. Penyekolahan hanya sebagian dari pendidikan.