Mohammad Hatta, pernah berkata: “Ketetapan hati dan keteguhan iman adalah satu condition sine qua non (syarat yang terutama) untuk menjadi pemimpin.” Ungkapan ini tegas dan lugas, seruan otokritik bagi tiap pemimpin. Hatta berkeras pandangan, kalau pemimpin tidak mempunyai moril yang kuat, ia tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Kita ingin memunculkan kembali
memoar Hatta itu dalam pembentukan kabinet Jokowi. Berita-berita tentang
kabinet Jokowi mulai merepotkan publik. Pemilihan menteri bakal menimbulkan
kecewa dan pengharapan. Jokowi telah dinilai sebagai pemimpin yang menjanjikan
kebaharuan politik atas rekam jejaknya. Sebaliknya publik akan kecewa apabila
Jokowi jatuh dalam percaturan politik lama yang penuh transaksional.
Publik mendambakan kabinet hikmat-kebijaksanaan. Kita
menantikan ketetapan hati atas politik revolusi mental yang menjadi misi
Jokowi. Pengharapan kabinet profesional tak lain berisikan tokoh-tokoh yang
berjiwa kuat. Bukan orang-orang yang biasa membungkuk, bukan menteri berjiwa
bimbang, dengan gelagat mudah jatuh pada nafsu kekuasaan dan kesempatan mengambil
alih hak rakyat.
Jokowi memang berada dalam posisi dilematis. Jokowi
membutuhkan sokongan partai politik pendukungnya di pemerintahan maupun
“mengamankan” kekuatan di parlemen. Tapi dalam politik kita, “tak ada makan
siang gratis”. Tidak ada yang cuma-cuma atas sokongan politik. Kita pun pantas
curiga pada menteri sodoran partai politik yang selama ini sarat pamrih. Idealisme
ketokohan Jokowi diuji juga dimintai keteguhan iman.
Hatta pernah
mengingatkan, dimana ada pertentangan yang hebat antara berbagai kepentingan,
dimana ada golongan yang menindas dan ditindas, di situ sukar didapat
persaudaraan. Saat itu Hatta gusar dengan egoisme para elit pantai politik PNI,
Masyumi, NU dan PKI. Keempat partai politik penguasa parlemen itu saling jegal
demi melenggangkan kepentingan golongan. Arogansi partai politik itu membuat
usia kabinet Orde Lama tak pernah berumur panjang.
Sumbu dari seribu
perkara politik adalah libido kekuasaan. Seolah kita memiliki sejarah panjang
berkaitan adu politik penuh arogansi tanpa keteladanan. Kita tidak menginginkan
kabinet Jokowi terjebak pada sejarah serupa. Yudi Latif (2014) dalam buku Mata Air Keteladanan, memuat kisah perumusan
Piagam Jakarta, yang “menyegarkan” kita atas mata air keteladanan dalam
pengamalan kerakyatan yakni pepesan untuk memimpin dengan hikmat kebijaksanaan.
Jokowi memiliki pilihan
untuk menginsafi orintasi etis hikmat-kebijaksanaan dalam memilih menteri di
kabinetnya. Melalui pembentukan kabinet yang didasari rasionalitas, kearifan
rasa kemanusiaan, dan komitmen keadilan yang bereferensi keberpihak dan
pengabdian pada rakyat. Publik menanti kabinet kerja, mendambakan kabinet yang
memuliakan rakyat.
*dimuat di koran sindo sabtu, 11 oktober 2014