Sama seperti tahun lalu, lebaran haji kali ini
saya pun tidak pulang kampung. Bedanya mungkin, kalau tahun lalu karena saya
mengemban amanah kepengurusan di organisasi mahasiswa yang saya geluti sehingga
tidak memungkinkan untuk pulang. Sementara kali ini saya tidak pulang kampung
karena lebih alasan benturan mengajar di sekolah dan katong yang sedang kurus
kering sekali.
Sudah menjadi kebiasaan barangkali saya dan
teman-teman satu organisasi dimana kita juga tinggal gratis di sana selalu
bangun kesiangan. Bagaimana tidak, hampir tiap malam kita begadang. Membaca
buku, menulis, mengerjakan tugas kuliah, nonton film, main game, atau sekedar
haha hihi sampai larut, bahkan shubuh. Untungnya saya bukan tipe yang kuat
tidur larut, alias pelor. Saya pun tidak
terlalu peduli ketika teman-teman saya ngecengin
saya itu tukang tidur.
Bagi saya, tidur itu soal kebutuhan yang pada
dasarnya setiap orang punya porsi yang sama, katakanlah 8 jam atau minimal 4
jam dalam sehari. Barangkali yang
membedakanya, kapan kita tidur?
Maka ketika teman-teman saya masih terjaga, saya
sudah berwisata mimpi. Sementara ketika saya bangun tidur, mereka baru saja
memulai membuat pulau!
Begitu pula yang terjadi pagi ini. Saya bangun
sebelum kemudian membangunkan dua teman saya untuk sholat hari raya. Itu pun
dengan segenap kantuk disertai malas-malasan. Untungnya, tempat kami sholat
letaknya tak jauh, di sebuah sekolah persis di samping kampus kami.
Tak lama setelah kami sampai, segenap jama’ah
menjalankan ibadah sholat hari raya idhul adha yang cukup khusyuk. Selepasnya,
kita pun mendengarkan khutbah. Isi khutbah berkisar tentang pengulangan cerita
perintah Alloh kepada Ibrahim untuk menyembelih putranya, Ismail. Selebihnya,
adalah pengayaan cerita dan pelajaran yang dapat kita ambil atasnya. Isi khutbah
semacam itu saya telah mendapatinya semenjak saya SD. Kita semua nyaris hapal
dengan cerita seruan penyembelihan ismail. Beberapa dari kita maklum, ya memang
seperti itulah isi khutbah sholat hari raya haji.
Saya merasa hal semacam ini yang membuat islam
mengalami kemandekan. Dalam masyarakat kita, seorang ustad atau kyai menjadi
mercusuar berkiblat dalam memperoleh pengetahuan agama. Pendidikan agama nyaris
berangkat dan berasal dari para ustad atau kyai. Kita beragama bergantung pada
ustad dan kyai. Lewat kata, ucapan, perintah yang terlontar dari seorang kyai,
kita mendapati cermin watak islamiah yang hendak disebarluarkan, diamini.
Saya adalah bagian dari masyarakat yang semenjak
kecil belajar agama lewat berbagai agenda pengajian di kampung. Kami tidak
mengenal Quran terjemah. Kami tidak mengerti, bahkan untuk sekedar
mempertanyakan apa isi ayat demi ayat yang kami baca. Bagi kami, kyai adalah
penyambung isi Quran. Kami meyakini, pak kyai sudah khatam isi Quran. Kepada beliau
lah kami belajar agama.
Kini setelah dewasa saya mulai bertanya. Mengapa
di kampung-kampung, kita tidak diajarkan mengaji ayat-ayat berbahasa arab itu
dengan terjemahan bahasa ibu kita? Bukankah kita seperti orang buta ketika
membaca ayat tanpa mengerti apa yang sebenarnya kita baca? Bukan kah Quran
diturun kan sebagai petunjuk? Bagaimana kita mendapatkan petunjuk bila kita
tidak mengerti sama sekali isi Quran yang kita baca?
Apabila kita telisik sejarah, para kyai,
mubaliq, atau sunan, memiliki posisi penting dalam sejarah penyebarluasan
islam. Mereka menjadi tokoh rakjat yang dikisahkan turun temurun. Surau-surau dan
pesantren menjadi pusat penyebaran dan
belajar ilmu agama. Baru ketika masa kolonial, pola-pola pendidikan agama
mengalami perubahan ketika pemerintah belanda mendirikan sekolah-sekolah rakjat.
Situasi ini terus berlanjut sampai sekarang, nasib pendidikan agama nyaris
dibebankan semua pada sekolah.
Meskipun begitu, para kyai tetap menjadi tokoh rujukan
untuk belajar agama. Sedikiti dari kita yang belajar agama lewat Quran, dari
teks-teks sejarah islam. Kita belum belajar agama dari buku. Kita mengalami
kemandekan, agama masih diajarkan seperti 1500 tahun lalu, yakni lewat lisan. Belajar
agama lewat teks belum menjadi rujukan di zaman ini.
Saya sebenarnya orang yang selalu menantikan
sebuah khutbah yang berisi kisah, nukilan ajaran agama yang menarik. Tetapi saya
saya sering dikecewakan oleh pengulangan isi khutbah seperti kisah penyembelihan
Ismail itu. Atau pengulangan isi-isi khutbah seperti tentang keutamaan puasa
ini dan itu, rahasia sholat shubuh, tentang iming-iming pahala. Saya protes
kepada para kyai.
Saya memang cerewet dan banyak meminta dari
agama yang saya yakini. Karena saya yakin agama saya ini tidak sekedar mengajarkan
perihal yang berkutat iming-iming pahala dan surga. Banyak hal baik dari agama yang dibawa oleh
Muhammad ini. Agama saya ini mengajak kita pada fastabiqul khoirat, untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Ber-qurban
hanyalah bagian kecil dari perintah ini.
Rasanya perintah ber-Qurban bukan sekedar
menjalankan kewajiban agama, ibadah untuk menghapuskan dosa-dosa dan
mendapatkan pahala, apalagi semata untuk pamer atau ri’ya kepada orang lain.
Qurban adalah ajaran humanis yang penuh rasa kemanusiaan yang adil, beradab dan
agamis. Qurban adalah ibadah yang sangat pancasilais.
Ber-qurban pun tak melulu potong kambing atau
sapi. Setiap orang berkesempatan untuk Qurban kok. Makna qurban adalah apa
yang seringkali kita pikir adalah milik dan hak kita sebenarnya bukan milik
kita sama sekali. Menjadi pejabat ternyata bukan milik kita apalagi milik
partai politik, tetapi pejabat adalah milik rakyatnya. Menbeli bensin
bersubsisi ternyata bukan hak kita, tetapi ternyata ada yang lebih berhak
mendapatkan bensin bersubsisi itu. Lolos CPNS lalu menjadi pegawai negeri sipil
ternyata bukan rezeki kita, bukan pula menjadi pegawai pemerintah yang dituntut
netral, sebab ternyata menjadi PNS itu ya mengabdi kepada sipil. Ber-Qurban itu . . . .
Ustadz, andai kita semua mau Qurban?