Kita
ada di zaman ketika lelucon menjadi sebuah budaya. Lelucon lahir, dengan
sindiran-sindiran yang mengundang senyum, anekdot-anekdot yang mengelitik,
mengocok perut kita hingga kaku. Berangkat dari hal yang ragam rupanya, dari
“upil” sampai “puding”, tak pernah habis atau basi. Objeknya pun tak kenal
muka, dari “sopir angkot sampai presiden”. Semua bisa kena! Lelucon seakan
telah menjadi selingan yang paling menarik di tengah rutinitas dan keseharian
kita yang menjenuhkan.

Segerombol remaja tengah asik bercanda di sebuah kafe. Satu diantara kawan mereka tak ikut dalam perbincangan, asik dan sibuk dengan BB-nya. Lantas satu diantara lainnya pun jenuh melihatnya, “heh, diem aja ni, ikutan ngobrol dong, jangan berkicau aja di twitter, berkicau disini lah.” Seorang teman lainnya pun menimpa, “sudahlah, biarin aja, dia kan autis..!!”, haahaahaa...“ -kafe itu pun riuh oleh gegap tawa mereka.
Narasi tadi sedikit memberi pesan, bahwa terkadang kita tidak
sadar, larut dalam apa yang telah membiasa dalam kerangka kewajaran. Menafikan
yang baik dan yang buruk. Hingga batas-batasnya seakan menjadi bias, bahkan
absurd. Termasuk dalam hal berbahasa. Ujaran yang mengandung SARA atau
diskriminasi pada “Yang lain”, kini tak lagi ditanggapi dengan nada lantang dan
keras. Kita melunak.
Lelucon autis hadir
seiring dengan wacana autis sebagai wacana hangat dalam perbincangan kita. Yang
mulanya pada lingkup kecil, yakni: pendidikan. Autis atau autisme yang awalnya
sering dianggap “gangguan emosi atau intelektual” ini tiba-tiba mengisi
ruang-ruang kelas. Mereka aneh dan “baru”, guru-guru pun kebingungan: “anak macam
apa ini?”. Namun seiring membuminya syndrom autisme ini, oleh runaway
world ini, telinga kita tak lagi asing dengan istilah autis.
Hanya, kerap kali kita
jatuh pada tahu diketidaktahuan kita. Mungkin karena kurangnya pengetahuan. Tak
jarang beberapa orang serampangan memahami autis sebagai: yang begitu, yang
aneh, yang pendiam, yang hebat, dst. Ini pun yang coba digambarkan Gus tf Sakai
dalam cerpen “U-nga” yang berkisah tentang seorang bocah perempuan bersama
ibunya yang sering berjalan melewati sebuah penginapan untuk memetik bunga di
danau dekat penginapan tersebut.
Sepintas memang tak
kelihatan aneh. Tetapi bila tanpa sengaja orang memperhatikan Si Bocah lalu
mengamatinya lebih lama, orang akan mengerutkan dahi. Bocah itu, dalam interval
tak tentu, menekuk-nekuk kepala seraya mempertemukan kedua tangannya di depan
dada dengan jemari yang liar berpilin-pilin, bagai ada yang tak henti ia remas.
Sesekali, dari mulutnya yang kadang ditutupi julaian rambut, keluar suara
dengung yang bagai bercampur dengan sembur ludah. Dan bila gerak jemari si
bocah semakin liar semakin cepat bertambah-tambah, Si Ibu akan berkata,
“Jarinya!” (U-nga, 2003:2-3)
Para pengunjung
penginapan keheranan melihat tingkah aneh bocah tersebut. Ada yang sekedar
memperhatikan, tak banyak memberi komentar. Membiarkan tanya mengendap di otak
mereka. Sementara itu, beberapa lainnya tertawa, menjadikannya sebagai buah
lelucon sekaligus tontonan yang menarik, hingga rela menambah waktu menginap
mereka hanya demi melihat bocah tersebut. Oleh satu diantara mereka menyebutnya
sebagai, “Anak hantu penghuni Danau”.
Rasanya lelucon telah
melahirkan sebuah ambiguitas, menyebabkan kesalahpahaman tafsir. Para
pengunjung penginapan dalam cerpen “U-nga”, bahkan mungkin oleh ibunya sendiri,
tak tahu kalau gadis aneh tadi sebenarnya adalah anak autis yang sangat
menyukai “bunga”. Tiap hari dia meminta ibunya untuk mengantarkanya memetik bunga
yang ada di dekat danau. Karenanya, sering terlontar dari
mulutnya,”U-nga..U-nga..”.
Begitu pula yang terjadi
pada narasi singkat tadi. Seorang kawan menganggap kawan lainnya autis hanya
karena dia asik dengan BB-nya. Tafsir yang terjadi: orang yang suka diam, tak
komunikatif, sibuk dengan dirinya sendiri, adalah Autis. Pada akhirnya, terjadi
pergeseran makna, atau juga sebuah mitos tentang autis. Yang dalam konsep
mitologi Rolan Bartes, mitos adalah sebuah bentuk tuturan yang menggunakan
sistem tananan tingkat kedua. Artinya, sebuah kata atau istilah tak lagi
bermakna asalnya (denotasi), tapi telah bergeser (konotasi).
Dari sini, lelucon autis
tak lagi selayak keriping renyah yang asik kita nikmati dalam waktu-waktu
senggang kita. Tapi lelucon autis telah menjadi sebuah tragedi. Tragedi bagi
“autis” itu sendiri. Ia kerancuan makna bagi orang-orang yang salah tafsir,
atau bahkan sengaja menyalahkan, dan mengganggapnya sebagai sebuah kewajaran
dan “tak ada masalah”. Dan juga tragedi bagi budaya lelucon kita, budaya
diskiminasi.