“Sahabat adalah seorang
yang mengetahui lagu yang ada di hatimu dan dapat menyanyikan kembali ketika
kamu lupa syairnya.”
- CS Lewis (1898–1963)-
Seorang
bocah---bocah itu apa atau siapa?---pergi dari rumahnya. Dan itu bukannya tanpa
alasan. Ia diusir karena nilai sekolahnya membuat perih mata orang tuanya. Dia
diusir sebab mencuri uang milik tetangganya. Dia diusir akibat menghamili teman
perempuannya. Dia tak diusir, tapi kawin lari dengan gadis yang dicintainya.
Tak, tak seperti itu.
karena sekali lagi dia hanya bocah (membantah alasan pertama), hanya bocah
(membantah alasan kedua), hanya bocah (membantah alasan ketiga), dan hanya
bocah (membantah alasan keempat). Lalu, sebenarnya alasan itu ada atau tidak
ada?. Lagi, bocah itu apa atau siapa?
Lalu sampailah ia
disuatu tempat yang ramai. Tapi itu bukan tontonan orkestra para biduan yang
sering manggung di kampungnya. Karena tak terdengar suara yang mendayu-dayu,
yang ada malah bunyi kumbang bermesin yang terasa bising di telinga---kelak
bocah itu tahu bahwa kumbang bermesin tadi bernama bajaj. Bukan
pula pasar tempat ia dulu disuruh ibunya membeli lombok brambang.
Karena ia tak melihat para laki-laki dan perempuan tua yang biasa ia lihat
menjajakan dagangannya. Tempat apakah ini?
Sedalam mata ia
memandang, memperhatikan setiap apa yang kasas di mata polosnya. Mula-mula pada
segerombolan Laki-laki muda: celana jins ketat, t-shirt, sepatu sport, dengan
rambutnya yang stylish. Mereka tengah saling bercanda, tertawa, dan
mengejek. Sejurus kemudian dia memandangi dirinya: Sebatang tubuh kecil, kurus,
bercelana jins biru kadarluwasa, dengan kemeja lusuh dan sepatu bututnya. Dalam
relung hatinya yang terdalam si bocah pun bergumam, “aneh”.
Lalu, adalah sebuah
tontonan baru baginya. Lebih dari sekedar tontonan kala biduan sedang
bersenandung. Apa lagi kalau bukan kawanan gadis-gadis muda yang tengah duduk
manja, bercengkrama satu sama lain. Hanya tiga kata: cantik, wangi dan menggoda.
Ah, tidak kah terlalu berlebihan wahai kau bocah?
Setelah puas dengan
gadis-gadis cantik tadi. Tampang kusut dan pandangan matanya kini tertuju pada
segelintir orang-orang tak biasa. Si bocah tak sekedar memandang, tapi dia
terangsang oleh tanda pengenal yang melekat pada baju orang-orang tak biasa
tadi. Prof, Dr, Drs, M.Pd, M.Si, MM, S.Pd, SE,.. Lagi-lagi, si bocah menemukan
keanehan.
Tapi melihat itu semua,
si bocah tertunduk lesu. ia kecewa. Pada dirinya, pada dunianya. Bukan, bukan
ini yang sebenarnya ia cari. Bukan laki-laki nongkong yang menghabiskan
hidupnya pada sebatang rokok. Bukan gadis hias yang sibuk dengan cerminnya. Dan
bukan pula orang-orang tak biasa yang jumawa dengan deretan title yang
melekat padanya. Lalu apa yang kau cari wahai bocah?
Si bocah kini tak lebih
dari seorang yang tengah patah hati. Remuk redam, tak terperikan. Menyesal
kenapa dia pergi dari rumah. Mencari apa yang orang lain tak cari. Ah, dia pun
teringat kampung halamannya: Sawah, kali, dusun-dusun. Lalu, pada sebuah gubuk
kecil di sudut kampungnya. Rindu, rindu yang mendera.
langkah-langkah tak
bernada. Seperti itulah si bocah. Berjalan menyusuri gedung-gedung lama.
Berharap menemukan selemar kertas atau koin, untuk mengobati lara dan laparnya.
Tapi di senja itu, tiba-tiba mata polos si bocah tergoda, pada seonggok
bangunan berlantai tiga.
Si bocah lalu
melangkahkan kakinya. Memandangi apa yang layak ia pandangi. “Bukan, bukan
mereka”, gumam hati si bocah. Lalu iapun meneruskan pencariannya, menapaki
setiap jengkal di lantai dua gedung. Dan sejauh mata ia memandang, jawabannya
pun tetap sama. “Tak, tak seperti ini”.
Maka si bocah memutuskan
untuk menitikan langkah kakinya pada anak-anak tangga terakhir. hingga
sampailah ia di lantai tiga gedung itu. Ia susuri tiap jengkal sudut gedung
bertembok kusam itu. Melihat, mendengar dan merasa. Itulah yang ia lakukan.
Akhirnya, sorot mata si bocah tertuju pada sebuah ruangan bertuliskan G.305
Sebuah ruangan horor.
Entah apa yang membuatnya horor. Yang jelas ketika memandangi ruangan itu, si
bocah tertawa, tersenyum, lalu tergoda. Adalah mereka, seorang kurus berambut
ikal, berantakan. Bercelana jins hitam dengan kaos cokelat bertuliskan samar,
RANCD. Dia tengah bercinta dengan laptop, menuliskan sajak-sajak tan malaka.
Lalu si sampingnya seorang berkaos biru, bercelanakan kolor. Manusia bertubuh
gempal itu tengah tertidur pulas setelah semalaman ia berdialektika dengan
AD/ART[1].
Akan tetapi bukan hanya
dua orang aneh tadi yang menarik hati si bocah. Karena sesungguhnya ruangan
horor itu memang berpenghuni orang-orang aneh. Mereka, teknikers yang
berfilosofi hidup untuk tertawa dan tertawa, seorang tata niaga yang berambisi
menjadi sarjana anatomi otot, sastrawan muda yang tergila-gila akan sajak-sajak
Albert Camus, atau dia, arsitektur yang beralih haluan menjadi seorang
management.
Tapi sejujurnya, mereka
aneh karena peradaban mereka yang tak sama dengan peradaban yang ada di
sekelilingnya. Peradaban di gedung berlantai tiga itu, atau peradapan di kampus
pendidikan itu. Adalah sebuah peradapan para kaum MEDIS yang bermottokan
berfikir cerdas, berpijak pada kebenaran. Mereka: sahabat yang mengetahui lagu
yang ada di tiap-tiap hati dan dapat menyanyikan kembali ketika salah satu
diantaranya lupa akan syairnya.
Dan kini sebuah senyuman
kemenangan terbesit di wajah si bocah. Karena ia telah menemukan dunianya.
Tempat ia belajar dari kata dan dunia. Menemukan apa yang ia cari tak orang
lain cari. Yakni sebuah alasan.
[1] Adegan
ini diambil pada sabtu, 19 Maret 2011 pukul 08.44 WIB