SAYA TERINGAT. Sekiranya
satu tahun yang belakang. Samar-samar sepengal kesan itu tertuju pada seorang
lelaki. Duduk dideret paling kanan, di sudut diamnya. Bila saya coba gambarkan,
Ia sebenarnya tak begitu rupawan; kecil, kurus, dan kusut. Hanya saja, lelaki
tadi memiliki mata yang menarik. Sebabnya lah masih lekat ingatan saya pada
lelaki ini. Ia tengah mengikuti acara sebuah organisasi di kampusnya, sebut
saja OCAB LKM. Dan sama halnya dengan rupa, gelagatnya di acara tersebut pun
tak menjanjikan. Ia neurves ketika disuruh kakak-kakaknya
berbicara, malu untuk bertanya, diam ketika acara diskusi, dan sekali lagi, tak
menjanjikan. Barangkali, dari sini saya tahu kalau lelaki ingusan ini ternyata
berasal dari kampung. Pendek cerita, acara usai dan asa baru terkembang. Lantas
ia bersama kawan-kawan barunya kerap dipangil “PLATO”.
***
AH, entah kenapa saya
jadi teringat Nietzche. Ia pernah bergurau tentang waktu. Waktu, menurutnya
tidak membentang linier seperti antara hidup dan mati. Namun melingkar. Dan ia
lebih suka menyebutnya sebagai ‘saat’. Bagi saya sendiri, waktu bukanlah
seonggok kata yang ‘penuh’, tapi ia selalu terisi oleh ruang. Ruang dan waktu.
Keduanya yang kemudian menciptakan ‘saat’. Ya, Tanpa saya sadari, Ruang G.305
dan waktu satu tahun belakangan ini telah menciptakan ‘saat-saat’ bagi saya dan
juga teman-teman Plato. Saat dimana kita bersama-sama belajar, bergumal dengan publik
speaking, kajian, dan penulisan. Menyatukan hati dan berbagi dengan
teman-teman kecil kita di kampung Cikopak, pula saat ‘tugas’ reportase akhirnya
mengikat kita menjadi sebuah keluarga arete di LKM.
Lantas apa yang menyoal
dari perkatakan Nietzche; waktu tidak membentang linier tapi melingkar?
barangkali ini menemukan titik tautannya dengan belajar, waktu yang kita jalani
untuk belajar di LKM. Ternyata, tidak membentang linier sebagai si bodoh yang
kemudian berhenti pada sebuah titik sebagi si cerdas, atau dari murid yang
goblok kemudian menjadi guru yang maha tahu. Tapi waktu belajar di LKM adalah
Bersama sahabat mengejar arete, begitu kata Anto kawan baik saya.
Wadah ini memberikan
eros (hasrat) untuk menjadi manusia yang berpengetahuan, efeknya berguna bagi
sahabat-sahabat yang lain di masa depan. Ingatlah, wadah ini tak ada guru, kita
semua adalah murid-murid yang saling memberikan pengetahuan[1].
Akan tetapi, waktu itu
selalu saja liar, susah dijinakkan. Tak terelakan kalau sang pendulum waktu
hanya mampu mengingatkan kita: satu hari hanya 24 jam, satu minggu 168
jam, dan satu bulan tak lebih dari 720 jam. Secara materialis Ini tak cukup,
dan tak kan pernah cukup. Pengejaran kita banyak; ingin ini, ingin itu.
Ruang-ruang yang mengikat hati kita juga banyak; ruang kuliah, ruang organisasi
lain, ruang kerja, atau ruang keluarga. Dan ketika sudah seperti ini, biasanya
kata-kata yang melemahkan pun terlontar, “Ya, kita hidup bukan cuma di dan
untuk LKM saja.”
Disini saya fikir kegelisahan
berawal. Pertarungan antara sikap idealis dan pragmatis saya. Mungkin juga
teman-teman. Rutinitas keseharian kita tak berjarak jauh dari celoteh Nietzche
bahwa waktu itu melingkar. LKM dengan rutinitasnya yakni kegiatan selasa, rabu
dan kamis. Atau proker besar berupa reportase, buletin dan kreatis,
mau tidak mau pasti menyita banyak waktu senggang kita.
Rutinitas yang melingkar ini kadang membuat kita jenuh, malas, atau merasa capek ketika
harus pulang malam terus.
Dan juga kita tak bisa
mengelak bahwa rutinitas selalu membenturkan pada sebuah paradok, atau dalam
bahasa kekinian, sebuah ‘kegalauan’. Dimana idealisme ‘belajar’ kita diuji oleh
realitas yang kadang melemahkan hati. Saya harus dapat IPK tinggi, saya harus
ngajar, saya ada acara di organisasi lain, saya harus membantu orang tua, saya
tidak boleh pulang malam, rumah saya jauh, dst. Ya, Life is
compleks. Karenanya belajar di LKM pun seakan terkena efek dominonya:
Rumit. Tautan-tautan dan relasi kita pada berbagai hal dan kepentingan
merupakan hal yang tak terelakan.
Saya sering bilang, kita
tak mungkin bisa benar-benar saling memahami satu sama lain, karena kita paham
dari apa yang kita alami bukan dari apa yang kita tahu, sementara masing-masing
orang menjalani ruang dan waktu yang berbeda-beda. Sebabnya saya malas ketika
diajak menjawab atau menyoal kembali minimnya kehadiran
teman-teman plato di 305. Rumit. Hanya akan menyisakan pergulatan
kegalauan yang tak kunjung usai.
Masalah ruang dan waktu
adalah masalah yang riskan. Ringkih terhadap hal-hal yang sensitif. Karena
ruang dan waktu selalu berhubungan dengan esensi. Ya, bagi
sebagian bersar orang hidup adalah pengejaran esensi saya fikir. Hal-hal yang
yang tak beresensi pasti akan ditinggalkan. Sebabnya ungkapan nyaring yang
sering kita dengar: “Dari pada saya ngobrol ngalor-ngidul di LKM, mending
ngerjain tugas kuliah yang berjubel, Besok ada UTS pula.”
Kadang saya merenung
kecil, masih adalah kah ruang dan waktu saya untuk 305? masih pantas kah saya
mengharapkan bisa nulis ini-nulis itu, bisa bikin ini-bikin itu, atau -yang
lebih ekstrim- juara ini-juara itu?
Saya pun teringat dengan
perkataan Opa Sartre, dia bilang, “Eksistensi dulu baru Esensi.” Dari sudut
ini, utamanya adalah kehadiran kita pada ruang dan waktu, setelahnya: akan
mengikuti. Pulanya, sebelum mempertanyakan ‘ilmu’ yang telah saya miliki, atau
prestasi yang telah saya peroleh, tak ada salahnya terlebih dahulu saya
berbijak hati untuk berefleksi diri. Seberapa ‘eksis’ kah kehadiran saya pada ruang
G.305? pula ‘hasrat’ saya dengan budaya yang melekat didalamnya, yakni baca,
tulis, dan diskusi. Agaknya saya atau teman-teman satu tahun yang lalu dengan
yang sekarang lah representasi dari pertanyaan ini.
Mungkin saya idealis.
Karena sebenarnya, esensi tak kan jauh-jauh dari pragmatisme. Saya pun orang
kebanyakan, takjub dengan hal-hal yang menjulang. Hanya saja pragmatis
seringkali berujung sempit dan cenderung dangkal, “praktis, hasil, dan guna”.
Padahal hasil lebih sering mengecewakan saya, membohongi kita, dan terkadang
naif sekali. Sebab, Hasil yang baik kadang tak berangkat dari proses yang baik.
Setidaknya, ini yang
sering saya lihat, dengar dan rasakan. Hingga kadang rona sinis sering
tersingkap kepermukaan. Sekiranya, hasil bukanlah tujuan akhir, tapi hasil
adalah pelecut yang akan ‘mengerakkan’ kita, hasrat untuk belajar. Hasil
hanyalah ‘akibat’ dari proses. Karenanya saya lebih percaya bahwa ‘proses’ lah
esensi sebenarnya, bukan ‘hasil’. Ibarat memancing ikan, biarpun ikan yang saya
dapat tak banyak, kecil-kecil pula, ini lebih ‘berkesan’ dari pada saya membeli
ikan di pasar.
Saya sering bilang, 305
adalah kolam ikan pengetahuan, pancinglah dengan kailmu sendiri. Lalu mengapa
kita saling meragu berproses di 305? Padalah banyak ikan yang besar yang bisa
kita masak bersama.[2]
***
SAYA SADAR. Ruang dan
waktu selalu meminta pertanggung jawaban. Cermin refleksi bagi kita, atas apa
yang telah usai. Setahun lebih saya selipkan waktu untuk sebuah ruang.
Mungkin tak banyak, karena hidup saya lebih sering terisi kalut. Hingga kadang
ruang itu sekedar pelarian kecil saya. Hanya, tak mengelak juga kalau
harapan-harapan selalu ada. Hasrat yang setidaknya saya jaga semejak OCAB LKM
yang belakang. Semenjak ruang itu mengikat hati saya, dan meminta saya
mengaulinya. Ya, Saya ingin belajar di sana, belajar bersama sahabat-sahabat
plato saya, di ruang 305. Mengejar Arete.
Belajar, biar sejengkal
tetap memberi makna. Sebab belajar adalah rerentetan kesan hidup tanpa tapal
batas ruang dan waktu. Tak pula hukum ukur-mengukur kebodohan. Karenanya saya
tak kecewa ketika ternyata saya masih bodoh seperti saat ikut OCAB, saya tak marah
ketika kakak-kakak saya menyebut saya ‘platonol’ atau ‘platolol’. Tapi saya
sedih ketika sahabat-sababat saya tak ada lagi hasrat untuk belajar, tak ingin
lagi bersama saya mengejar arete.
Saya tak ingin bodoh
sendirian, saya ingin bodoh bersama sahabat-sahabat saya, Platolol. Akan
tetapi, saya juga lebih tak ingin cerdas sendirian, saya ingin cerdas bersama
sahabat-sahabat saya, Plato.
[1] Dalam cacatan Rianto
Anarki: Bersama sahabat, mengejar arete. Paragraf 12.
[2] Dalam cacatan Rianto
Anarki: Lelucon itu sahabat saya yang akan mendongengkannya. Paragraf 12.