Indonesia milenium
ini dihadapkan pada beragam tantangan baru yang komplek. Apa yang terjadi dalam
masyarakat kita saat ini adalah mencairnya identitas yang membangun
negara-bangsa Indonesia. Terjadi pergesaran kekuatan elit kelompok dominan ke
kelompok lain yang sebelumnya terdominasi. Semua tak terlepas dari corak
demokrasi dan kebebasan yang lahir pasca runtuhnya rezim orde baru. Akan tetapi
ini pula yang kemudian memicu lahirnya konflik dan prasangka baru yang nyaris
tak terjadi pada era tersebut.
Persisnya konflik
pada waktu orde baru sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan. Periode ini menjadi
rezim kekuasaan otoriter yang represif terhadap isu-isu identitas, semua seakan
ditabukan melalui “anti-SARA”. Kemajemukan masyarakat kita pun dimanipulasi
demi kepentingan-kepentingan politik,
melalui slogan-slogan penguasa yang mengatasnamakan “kesatuan nasional”
dan “stabilitas nasional”.
Situasi tersebut
seolah runtuh dalam masyarakat indonesia pasca-otoritarian. Berbagai identitas
menampilkan diri, terlebih kelompok-kelompok yang menjadi minoritas dan suaranya
dibungkam pada Orde baru. Sebut saja kelompok islam radikal, yang sering
menyita perhatian dengan aksi sweeping-
yang menurut mereka- tempat maksiat,
melalui tindakan yang cenderung anarkis. Lalu penolakan dengan mengatasnamakan
agama terhadap kontes kecantikan, tapi bungkam terhadap kontes serupa dengan tajuk
“muslimah”.
Itu adalah contoh
segelintir kasus yang menunjukkan usaha
dari kelompok pendukung identitas tertentu untuk menampilkan identitas mereka, sekaligus
juga memperlihatkan pergesekkan antar identitas dalam masyarakat kita. Ariel
Heryanto (2012) mengatakan ada empat kekuatan besar yakni Kejawen, Liberalisme,
Islam dan Marxisme, yang membentuk negara-bangsa Indonesia.
Pasca runtuhnya Orba,
keempat kekuatan ini seakan saling bersaing, saling curiga dan praksis menimbulkan
konflik-konflik yang terjadi sekarang ini. Rezim orba yang menabukan
kemajemukan Indonesia telah menciptakan masyarakat masa ini menjadi masyarakat
yang antipati dan melakukan pengkotak-kotakan terhadap identitas lain.
Padahal dalam
masyarakat global sekarang ini, prasangka terhadap identitas tunggal menjadi
suatu barang yang aneh dan problematis. Sebab kita dihadapkan dalam identitas
yang saling melekat, sehingga sulit untuk membedakan mana yang barat dan yang
timur. Dalam konteks yang lebih luas, tidak ada yang bisa dikatakan sebagai Indonesia asli, lalu yang luar (global)
dan yang dalam (lokal), serta ditengah tumpang tindih identitas lain oleh berbagai
lapisan kebudayaan seperti gender, etnis, ras, tuna, dan lain sebagainya.
Sebab Indonesia sendiri lahir bukan
dari identitas yang murni-tunggal atas bangsa tertentu. Istilah bangsa punya kaitan dengan sejarah dan
leluhur masyarakat pramodern. Tapi
Indonesia sebagai negara modern merupakan sesuatu yang baru. Bukan reparasi, reformasi,
revisi, atau kelanjutan dari tata sosial yang ada sebelumnya. Merupakan sebuah
komitmen pada aspirasi, cita-cita, dan imajinasi untuk menghargai perbedaan yang majemuk dan plural, dengan
berbagai identitas dan ragam lapisan kebudayaan yang mengitari masyarakat
Indonesia.