Ada pepatah long life education, belajar itu sejak
dari buaian sampai liang lahat. Dengan begitu, sesat bila mahasiswa menganggap dirinya
belajar di perguruan tinggi untuk siap-pakai bekerja. Jelas ini bertentangan
dengan nalar akademik. Siap-pakai mengunakan logika produksi, menganggap
perguruan tinggi semacam pabrik dengan mahasiswa sebagai produknya.
Alih-alih siap-pakai,
banyak kasus lulusan merasa ilmu yang didapat di kuliah tidak berguna. Mengapa?
Sebab teknologi dan ilmu pengetahuan itu terus diperbaharui. Perkembangan
industri selalu lebih cepat daripada pendidikan di perguruan tinggi. Artinya
apa yang dipelajari di kampus, akan selalu “ketinggalan zaman”.
Maka seperti kata
Mochtar Buchori, penting mengasah kemampuan bagaimana cara belajar. Contohnya seorang
lulusan ilmu komputer harus mampu belajar lagi tentang software dan program baru. Begitu pula lulusan guru harus terus melek
menggali ilmu pendidikan dan metode mengajarnya.
Kemampuan itu tidak
diperoleh begitu saja oleh seorang mahasiwa. Tidak hanya dengan duduk diam di
ruang kuliah, berkutat dengan diktat dan ceraman-ceramah dosen. Menjadi mahasiswa
yang hanya kuliah pulang untuk mengejar Indeks prestasi.
Tetapi dibentuk dengan
aktif mengikuti berbagai kegiatan di kampus seperti kesenian, diskusi, menulis,
dan kegiatan kampus lain. Semua itu akan menempa diri, mendidik jiwa, serta mentalitas
siap-belajar. Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib tidak dibesarkan di ruang kelas, tetapi
aktivitas di luar kelas. Bahkan mereka menolak ruang kelas.
Tidak kalah penting,
mahasiswa jelas menjadi tumpuan dan harapan bangsa. Sepatutnya melakukan
hal-hal yang memiliki nilai tambah sosial di tengah
kemasyarakatan. Seperti
menciptakan produk alternatif yang bermanfaat bagi dusun tertinggal, melakukan
bakti sosial, dan mengajar anak-anak jalanan. Mengabdi sebagai jalan membangun
negeri sekaligus diri.