Setiap tanggal 25 November bangsa kita memperingatinya
sebagai Hari guru. Upacara peringatan diadakan oleh sekolah maupun pemerintah.
Pidato dikumandangkan, kerap kali disertai dengan pemberian penghargaan kepada
guru-guru yang dianggap berprestasi. Seperti itulah Hari guru diingat. Sebatas romantisme
yang minim refleksi terhadap sejarah perjuangan guru untuk perbaikan dan
perubahan guru-guru.
Nyatanya memori tentang Hari guru tidak dapat dilepaskan
dari sejarah perjuangan bangsa ini. Meskipun baru ditetapkan tahun 1994, tetapi
perjuangan guru-guru telah ada sebelum negeri ini berdiri. Sejarah mencatat tahun
1912, telah ada Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHI), yang dua puluh tahun
kemudian berubah nama menjadi persatuan guru Indonesia (PGI). Sempat dilarang
pada masa jepang, pasca kemerdekaan diadakan kongres guru pada tanggal 25
november 1945 yang melahirkan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Dalam rentetan sejarah organisasi guru tersebut,
mengingatkan kita pada guru-guru jaman itu yang ikut berjuang mewujudkan
kemerdekaan bangsa. Baik melalui pensil dan buku di dalam ruang kelas, maupuan
dengan turut dalam revolusi fisik melawan pemerintah kolonial. Kita juga ingat
bagaimana Ki Hadjar dan guru-guru taman siswa kukuh meski dicap sebagai sekolah
liar. Atau Tan malaka yang dibuang ke Belanda karena mendidik para kaum kromo melalui sekolah Sarekat Islam (S.I. school).
Di awal kemerdekaan, guru-guru dalam organisasi guru tak
surut dalam pergolakan dan dinamika bangsa. Organiasi guru terlibat dalam
merumuskan sistem pendidikan nasional, menentang kebijakan keliru seperti sekolah
guru C yang hanya dua tahun (Buchori: 2007). Semua itu menjadi rekam jejak
guru-guru menempatkan dirinya dalam aktivitas subversif melawan kolonial,
sekaligus menjadikan guru yang bebas dari kepentingan luar.
Karenanya miris
melihat kondisi paru guru sekarang. Guru acap kali dikebirikan. Tak heran guru
minim dilibatkan dalam perumusan kebijakan pendidikan. Sikap independensi guru
pun lemah. Seringkali guru dan organisasi guru dimasuki kepentingan politik. Praktek-praktek
itu banyak ditemukan di daerah-daerah. Guru menjadi incaran para calon Kepada Daerah
dalam meraih dukungan, melalui iming-iming tunjangan, maupun kucuran dana untuk
keberlangsungan organisasi guru.
Itulah alasan mengapa Hari guru jangan semata menjadi
perayaan momental. Tapi menjadi momentum untuk merefleksikan sejarah perjuangan
guru, mengambil pembelajaran dengan mengupayakan praktiknya dalam pendidikan
kita hari ini. Menjadi guru ala Tan Malaka
dan M. Syafe’i, yakni guru yang bersikap independen dan merdeka, bahwa mendidik
sebagai perjuangan kerakyatan.
Selain itu para guru harus terus mengembangkan sikap terus
belajar. Teknologi dan ilmu pengetahuan itu terus diperbaharui, sehingga
menuntut guru terus pula mengembangkan pengetahuan dan metode pembelajarannya. Guru
juga sepatutnya meneruskan cita-cita pendidikan Ki Hadjar dengan mengenalkan
pada generasi muda kearifan dan local
genius budaya bangsa di tengah gempuran budaya asing.
Dan yang paling penting, guru berani bersuara dan menentang
kebijakan pendidikan yang salah. Artinya guru harus menentang ketidakadilan dalam pendidikan maupun
permasalahan sosial yang ada dalam masyarakat. Guru tidak perlu risih
jika harus turun ke jalan untuk menyuarakan sikap. Semua itu jalan untuk
mengembalikan guru ke fitrahnya yang memiliki peranan penting dalam mendidik
dan membangun bangsa.
***