Setiap orang semenjak pertama
kali di bangku sekolah telah dikenalkan dengan aktivitas menulis. Selain dua
aktivitas lain yakni membaca dan menghitung. Dari menulis “ini budi” sewaktu
sekolah dasar, sampai menulis sebuah makalah yang tebal ketika di Perguruan
tinggi, Artinya belasan tahun sebenarnya aktivitas menulis telah menjadi
sehari-hari. Akan tetapi situasi yang terjadi, kerap seorang mahasiswa “gagap” ketika
diminta untuk menulis. Merasa tulisannya gagal atau buruk. Mengapa ini terjadi?
Pada dasarnya menulis apapun,
entah karya tulis, esai, atau reportase hanyalah bentuk output dari aktivitas menulis kita. Perbedaanya hanyalah terletak
pada kerangka metodis dan sistematika yang berbeda dan masing-masing. Tetapi
prinsipnya semua jenis tulisan sebagai proses bernalar untuk dituangkan dalam
tulisan yang melibatkan pertanyaan mendasar: apa, mengapa, dan bagaimana.
Ambilah contoh sederhana.
Sebuah skripsi tentu akan mempermasalahkan tentang “variabel” apa yang hendak diteliti, mengapa variabel itu dapat dirumuskan
sebagai masalah? Lalu bagaimana itu
dijelaskan dalam metode ilmiah? Baik melalui
analisis pustaka, penyingkapan studi lapangan, maupun penjabaran sebuah
gagasan.
Dalam reportase, seorang
reporter tentu akan berpedoman pada 5W +
1H ketika hendak menulis berita atau hasil liputannya. Namun tetap saja
aspek what, why, dan how menjadi hal penting yang harus
digali. Ketika menuliskannya, Ia akan berangkat dari pertanyaan: peristiwa apa yang terjadi? Tentu dengan ukuran sejauh
itu penting dan menarik. Mengapa
peristiwa itu terjadi? Dan bagaimana
kronologinya?
Demikian pula dalam menulis
esai. Arif budiman dalam esai
tentang esai memberi penjabaran singkat tentang esai: “Esai adalah karangan
yang sedang panjangnya, biasanya dalam bentuk prosa, yang mempersoalkan suatu
persoalan secara mudah dan sepintas lalu – tepatnya mempersoalkan suatu
persoalan sejauh persoalan tersebut merangsang hati penulis”.
Tidak ada definisi mutlak apa itu esai. Sebuah esai tidak
se-objektif sebuah tulisan karya tulis yang menuntut data dan fakta dalam
kerangka metodologi ilmiah yang ketat. Esai tidak hendak mengecapkan sebagai
“ilmiah”, tetapi sejauh bisa diterima pembaca secara logis. Sebuah esai juga
tidak se-subjektif sebuah puisi dengan metafor yang memberikan keleluasaan
interpretasi. Esai bukan seperti karya tulis maupun puisi, tetapi berada
ditengah-tengah keduanya.
Pertanyaan “apa” dalam esai dijabarkan sebagai upaya mempersoalkan
suatu persoalan sejauh persoalan tersebut merangsang hati penulis, sejauh itu
menarik pikiran untuk dituliskan.
Mengapa suatu masalah menarik untuk dituliskan adalah cara penulis mengambil
angel atau sudut pandang. Dengan menunjukkan segi baru yang berupaya mengambil
perspektif lain dan ide segar.
Sebab dari sebuah esai kita tidak akan mengantongi
sebuah jawaban mutlak seperti dalam karya ilmiah. Sebuah esai tidak menjanjikan
sebuah jawaban besar dan gamblang tentang solusi sebuah persoalan dalam
masyarakat. Selain karena panjang tulisan, sebuah esai sebatas berupaya menyingkap
wacana, memberi gagasan yang kontemplatif, dan sebatas untuk menggugah hati
pembaca setelah membaca tulisan. Kira-kira seperti itu pertanyaan “bagaimana”
dituliskan dalam bentuk tulisan esai.
Sampai sini sebenarnya pertanyaan teknis menulis esai telah
selesai. Tetapi kadang kita masih menyisakan pertanyaan: apakah esai sama
dengan artikel? Apakah keduanya sama-sama jenis tulisan opini? Lantas bagaimana
dengan kolom? Jika semuanya tidak sama, lalu dimana letak perbedaannya?
Disitu kita sering terjebak dalam pergulatan yang
tidak semestinya. Sebab akan lebih mudah untuk menjawab: kita hendak menulis
untuk apa dan dimana? Apakah untuk media, jika iya lantas media apa (tempo,
kompas, sindo)? atau sebatas untuk dibagikan ke sekitar? Jadi dalam menulis,
bukan esai itu apa, bukan menulis itu apa, tetapi ketika hendak menulis,
tulislah sesuai kebutuhan. Sekali lagi itu hanya persoalan teknis dan sistematika.
Dalam fase awal seseorang belajar menulis, kita sering
terjebak dalam pertanyaan njlimet tentang
teknis menulis. Yang sebenarnya ini jadi penyebab mengapa kita menjadi “gagap”
untuk menulis, Takut menulis bila nanti hasilnya dianggap buruk oleh pembaca.
Hingga kita tidak mengoreskan atau memulai tuts apapun. Akhirnya kita pun
berhenti untuk belajar menulis.
Kekeliruan tersebut yang harus kita hindari. Menulis
itu soal kemauan, bukan inspirasi. Yang kita sering namakan sebagai inspirasi
sebenarnya adalah kemauan kita (there is
a will, there is an idea). Menulis itu bukan bagaimana, tetapi menulis
adalah menulis, menulis, dan terus menulis. Menulis pada dasarnya tidak jauh
beda dengan aktivitas lain seperti memainkan alat musik, bermain drama, dan sebagaimya.
Kesemuanya membutuhkan latihan dan pengulangan, proses belajar terus-menerus sampai
kita terbiasa dan terampil.
Manusia belajar apapun dari meniru (by imitate). Demikian pula dengan
menulis. Agar progres tulisan kita berkembang, maka itu tidak terlepas dari dua
hal. Pertama dari kita sering melihat dan mempelajari tulis-tulisan lain.
Artinya, bila kita hendak belajar menulis esai, cobalah untuk melihat contoh
tulisan-tulisan esai. Sederhana.
Kedua, aktivitas menulis tidak dapat terlepas dari aktivitas
membaca. Seseorang ketika belajar menulis esai sering merasa tulisannya tidak
berkembang, pasti karena tidak dibarengi dengan membiasakan diri untuk membaca.
Sebab dari membaca, nalar dan logika berpikir kita akan terasah sekaligus
memperluas cara pandang kita terhadap persoalan. Paulo freire mengatakan,
“membaca kata, membaca dunia (reading the
word, reading the world)”.
Pertanyaan apa,
mengapa, dan bagaimana sebenarnya
pertanyaan praktik-reflektif kita sehari-hari. Hal ini berangkat dari asumsi
bahwa semestinya seseorang berpikir kritis terhadap dunia dan bersikap otentik
atas dirinya, Kritis dalam upaya menolak memandang segala hal sebagai “common sense”. Sementara otentik adalah
tidak membebek, mampu berpikir
dan bertindak sendiri. Itu sebabnya hakikat menulis esai
atau apapun adalah menuliskan cara pendang kita terhadap dunia. Seperti apa
tulisan kita, maka itu cara kita memandang hidup. Persis dengan: ide semestinya selaras dengan laku.
Maka menulis bukanlah persoalan semata kita hendak menjadi
“penulis”. Menulis adalah kebutuhan kita sebagai manusia, apa yang sehari-hari.
Ingat, peradaban manusia itu berkembang dan
maju karena tulisan. Sejarah itu ada karena ada tulisan. Maka dengan menulis
berarti kita membuat sejarah! Tepat seperti apa yang Pramodya katakan: Tanpa
menulis maka kita akan hilang dari sejarah.
***