Kita mengeluh tentang kasus korupsi yang merajarela, tentang
pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh banyak pihak, termasuk mereka
yang seharusnya menegakkan hukum. Jelaslah situasi ini tidak dapat dipisahkan
dari pendidikan, sebab para koruptor itu adalah hasil dari pendidikan negara
ini. Jadi pendidikan macam apa sebenarnya yang diajarkan di sekolah?
Hasil riset Transparency
International, 90% remaja berpandangan bahwa korupsi merugikan diri
sendiri, masyarakat, dan negara. Akan tetapi mereka tidak menampik pengalaman
korupsi seperti menyuap, mengindari tilang, dan menyontek saat ujian. Mereka
pun mengaku enggan melaporkan tindak korupsi yang mereka ketahui. Realitas ini
menjelaskan bahwa pendidikan telah melahirkan generasi yang hanya mengkonsumsi
nilai-nilai dan moralitas tetapi tidak bersikap kritis atas nilai-nilai yang diajarkan.
Generasi mentalitas koruptor seyogianya hasil dari
pendidikan yang ada di sekolah, yakni pendidikan yang tidak membentuk character building dan nalar kritis,
akan tetapi pola pendidikan yang dogmatis dan repetitif. Pendidikan hanya
dilihat sebagai proses transfer pengetahuan dari guru ke murid, dari apa yang
tertulis di buku dimasukkan ke otak murid. Implikasinya, murid menerima pengetahuan nilai dan moral yang berkutat pada teks tetapi
menjauhi kontek atau realitas. Hasilnya adalah generasi yang apatis terhadap
kehidupan sosial.
Selain itu pengaruh budaya positivisme dalam pendidikan,
nampak jelas dalam budaya “mendisiplinkan” anak yang terjadi di sekolah. Anak
dibentuk agar patuh, tunduk, menurut, rapi, dan sebagainya. Bertolak dengan
yang dikatakan Ki Hajar Dewantara, pendidikan harus sesuai kodrat dan alam
pikir anak. Pendidikan yang menekankan perintah, hukuman, dan ketertiban adalah
bentuk pemerkosaan atas kehidupan batin anak, yang merusak budi pekerti anak.
Cara mendidik yang represif ini tidak membentuk karakter
yang luhur, tetapi memaksa anak untuk bersikap pura-pura terhadap guru.
Akhirnya anak pura-pura disiplin dan patuh, pura-pura mengerjakan tugas sendiri padahal hasil contekan, anak
menjadi pandai berbohong, dan berani berbuat salah asal tidak ketahuan oleh
guru. Sikap-sikap itu pula yang jadi cerminan para tersangka korupsi. Mereka
pandai berkelit terhadap kasus yang menjerat, menitikan air mata saat
persidangan seolah mereka dituduh korupsi, bahkan tersenyum atau tertawa seakan
tidak ada rasa bersalah atas tindakan yang mereka perbuat.
Kenyataaan menunjukkan pendidikan selama ini telah
membiasakan anak untuk bersikap pura-pura. Dan Proses ini berlangsung
bertahun-tahun selama mereka menjalani pendidikan, dari usia dini sampai
perguruan tinggi. Mentalitas yang kemudian menjadi watak ketika memiliki
jabatan dan kuasa. Sungguh ironis ketika pendidikan jusru menjadi ladang
menyemai bibit-bibit koruptor.
Dalam suasana zaman seperti ini, jalan yang harus ditempuh
adalah merombak total pendidikan kita. Melalui Pendidikan transformatif sesuai
cita-cita Ki Hadjar Dewantara dan Tan Malaka. Pendidikan yang dapat melahirkan
generasi pembaharu, generasi yang mampu memperbaharui cara kita hidup berbagsa
dan bermasyarakat. Jika tidak,
pertaruhannya adalah masa depan bangsa!