Penulis :
M. Agus Nuryatno
Penerbit : Resist Book
Cetakan : Pertama, juli 2008
Halaman : 133 halaman, i-vii, 14 x 21 cm
Fenomena mahalnya biaya
pendidikan, munculnya sekolah-sekolah elit yang menjual berbagai macam
fasilitas, lalu masuknya korporasi dan bisnis waralaba dalam insitusi
pendidikan. Kecenderungan semacam ini menujukkan sekolah dan perguruan tinggi telah
menjadikan corporate values sebagai
nilai utama dalam membangun institusi pendidikan melebihi academic values. Maka tak dapat ditampik ketika muncul sarkastis: sekolah untuk dijual.
Disis lain, remaja sekarang
terjebak dalam budaya pop: fun, food, fashion yang semakin kehilangan
identitas dan seolah membenci diri mereka sendiri. Kemudian terjadinya paradok
ketika setiap hari remaja mengkonsumsi nilai-nilai budi pekerti di sekolah akan
tetapi kecurangan UN, kecelakaan lalu lintas, tawuran antar sekolah, dan tindak
kriminalis yang melibatkan remaja terjadi dimana-mana.
Sebenarnya apa yang
terjadi? Mengapa pendidikan seakan tak mampu menjawab problem sosial ini? Apakah
ini hasil dari proses pendidikan? Jika iya, mengapa ini terjadi? Lantas pengetahuan,
nilai-nilai, dan ideologi apa yang dipakai dan diajarkan di sekolah?
Pertanyaan semacam
ini tentu sulit dijawab oleh paradigma pendidikan tradisional,yang menempatkan
proses pendidikan terbatas pada proses belajar di ruang kelas. Sebab cara
pandang ini melihat pendidikan harus dipisahkan dan terisolasi dengan realitas
dan masyarakat sosial. Tetapi wacananya direduksi dalam persoalan transfer dan
konsumsi pengetahuan tekstual kepada murid.
Pandangan semacam
itulah yang ditentang oleh pendidikan kritis. Pendidikan tidak dapat dipisahkan
dari konteks sosial, kultur, ekonomi dan politik yang lebih luas. Institusi
pendidikan tidaklah netral tetapi menjadi ajang pertarungan berbagai
kepentingan. Relasi yang terjadi antar pendidikan dengan pengetahuan, kekuasaan
dan ideologi tertentu ini yang coba
ditunjukkan sekaligus menjadi kritik terhadap pendidikan bagi Agus Naryatno
dalam bukunya Mazhab pendidikan kritis.
Untuk menjelaskan
relasi ini, Nuryatno membagi buku ini dalam empat bagian. Bagian awal dimulai
dengan tiga pemikiran penting; mazhab Frankfurt, Antonio gramsci, dan Paulo
freire. Nuryanto menyebutnya sebagai basis teori pendidikan kritis.
Berangkat dari Teori
kritis mazhab Frankfurt, pendidikan tidak dapat dipisahkan dari dominasi
kapitalisme dalam masyarakat. Theodor Adorno menyebut pertumbuhan teknologi
yang masif sebagai “the culture industry”.
Dalam masyarakat konsumtif, misalnya, orang kesulitan membedakan antara
kebutuhan (need) dan keinginan (want). Alasan mengapa orang membeli satu
produk atau komoditi tentu bukanlah didasari atas nilai guna, tapi didasarkan
pada nilai tanda yang diiklankan secara masif lewat media massa. “ I buy therefore I exist.”
Dalam wilayah
pendidikan, dampak yang paling nyata dari dominasi kapitalisme adalah budaya
positivism yang melahirkan generasi rasionalitas teknokratik. Rasionalitas teknokratik
melahirkan sikap konformitas yang mengarahkan peserta didik untuk bersikap
pasif dan adaptif terhadap teks (buku pelajaran) dan konteks (realitas). Ini
menjawab pertanyaan mengapa remaja mengkonsumsi moralitas dan budi pekerti di sekolah
tetapi tidak memiliki kesadaran kritis terhadap realitas dan hidupnya.
Nuryatno juga memakai
konsep kunci dari Gramsci tentang hegemoni, ia mengatakan bentuk-bentuk
hegemoni terjadi dalam institusi pendidikan, sebagai konsekuensi “politik
adalah proses edukatif”. Akan tetapi tanpa diskursus praksisnya dalam
pendidikan, sebagai misal, menjelaskan sejarah tidaklah objektif, tetapi
sejarah dipilih demi kekuasaan dan kepentingan politik tertentu. Bagaimana
teks-teks pelajaran sejarah kita dipenuhi sejarah militer, ada yang tercatat,
dan ada yang disingkirkan dalam sejarah. Kemudian semua inilah yang diajarkan
di sekolah-sekolah, dan secara sukarela menerima ini sebagai sejarah nasional.
Berbeda seperti
Gramsci, melalui Paulo Freire, Nuryatno dalam bukunya dengan jitu berusaha
menjelaskan pendidikan sebagai tindakan politik. Pendidikan adalah praktik pembebasan
kaum tertindas oleh kelompok dominan. Optimisme pendidikan ala Freire ini
memandang pendidikan harus mengambil peran dalam memproduksi dan menciptakan
kehidupan publik, bukan sekedar beradaptasi dengan realitas sosial.
Dengan ketiga pemikiran
kritis tersebut, bagian ketiga buku ini Nuryatno mencoba menjadikan critical pedagogy sebagai “pisau” untuk
menyingkap isu-isu pendidikan kontemporer. Seperti melalui teori reproduksi Nuryatno
berargumen bahwa nilai-nilai dan dan praktek-praktek sekolah pada dasarnya adalah
cerminan dari organisasi ekonomi.
Misalnya, guru
memiliki otoritas untuk menentukan tujuan dan aktivitas kelas bagi muridnya,
sebagaimana manager perusahaan yang punya otoritas untuk menyusun agenda dan
tujuan produksi ekonomi bagi para buruh. Murid dimotivasi dengan nilai raport,
dan buruh dengan gaji. Murid teralienasi hari hasil dan proses belajar, seperti
halnya buruh teralienasi dari hasil dan proses aktivitas kerja (hal 61-62).
Sekolah dicurigai
sebagai pemelihara status quo,
mempertahankan hirarki kelas sosial masyarakat. Ini nampak dari praktek-praktek
sekolah elit dengan biaya selangit yang hanya dapat dijangkau masyarakat kelas
menegah dan alas. Selain itu ideologi kompetisi akan menguntungkan anak-anak
yang berasal dari keluarga yang memiliki kapital intelektual dan kapital
ekonomi. Sementara anak-anak disabilitas dan miskin akan tersingkirkan.
Pendidikan tidak menjadi mobilisasi sosial tapi mempertahankan cycles of disadvantage masyarakat kelas
bawah.
Di bagian terakhir Nuryatno yang memiliki latar belakang
tradisi islam cukup kental mencoba “mencangkokkan” ide-ide mazhab pendidikan
kritis kedalam wacana pendidikan islam. Nuryatno merasa bahwa gagasan-gagasan
pedagogis dalam islam disampaikan dengan cara yang tidak dialogis, karena
proses pembelajaran menekankan pada transmisi informasi, hapalan, dan repetisi.
Buku-buku pendiidkan islam terjebak pada tataran normative, tidak mengkaitkan
dengan konteks zaman. Situasi ini menjadikan semacam madrasah berfungsi sebagai
alat reproduksi dan preservasi kultural (hal 91-92).
Nuryatno mengkritik generasi islam sekarang yang sulit
membedakan antara islam normative dan islam historis. Islam normative adalah
islam yang tidak berubah karena berasal dari tuhan melalui nabi yang berwujud
Al-Qura’an. Sementara islam historis
adalah islam yang bbisa berubah karena dikonstruksi oleh manusia sesuai konteks
zaman dalam rangka merespon masalah dan tantangan tertentu. Islam historis ini
berbentuk dalam teologi, tafsir, hadist, hukum islam, falsafah, dan tasawuf. Terjadi
stagnasi pemikiran islam karena produk yang dihasilkan oleh generasi islam masa
lampau menjadi dogmatic, statis, repetitive, dan sakral. (hal 109)
Tulisan dalam buku agus Nuryatno berisi tentang pendidikan
bukanlah ruang yang bebas dari intervensi dan praktik politik yang lebih luas. Buku
ini menjadi literature penting sebagai pengantar untuk memahami pendidikan
kritis dan bagaimana pendidikan kritis menyingkap isu-isu dan fenomena yang
terjadi dalam pendidikan dan masyarakat kita. Pemikiran kritis mazhab Frankfurt,
Gramsci, dan Freire menjadi alternative dominasi pemikiran psikologi dalam
telaan pedagogy di Indonesia.
Secara keseluruhan buku mazhab
pendidikan kritis mencoba menunjukan pendidikan itu mempunyai dua kekuatan
sekaligus; sebagai medium untuk memproduksi
sistem sosial yang baru atau sebagai medium untuk mereproduksi status quo. Karenanya penting sekali untuk membaca
ulang pendidikan kita, Meminjam bahasa Neil Postman (1995), apakah pendidikan
mampu menciptakan kehidupan publik? Tapi, kehidupan publik seperti apa yang
ingin diciptakan?