25 Juni 2012

Memaknai Kembali Ruang Kelas



Idealnya ruang kelas adalah sebuah ruang transformatif, yakni ruang pembentukan serta perubahan bagi alam fikir, akal budi, dan spiritual seorang peserta didik. Diharapkan selepas keluar dari ruang kelas mereka akan menjadi seorang intelektual yang berintegritas dan bermoralitas tinggi ketika hidup bermasyarakat.

Namun yang terjadi adalah kesenjangan antara kondisi ideal dengan realitas. Ruang kelas  melahirkan para lulusan yang miskin integritas, dan bermoralitas picisan. Watak dan sikap para pemangku kebijakan di negeri ini adalah potret parsial terjadinya “mis-transformatif” di ruang kelas. Yakni terjadinya kekeliruan dalam konsep maupun praktik. Kekeliruan seperti apa? Dan Apa yang menyebabkan terjadinya “mis-transformatif ini?”

Ruang kelas di sekolah-sekolah atau di lembaga pendidikan kita saat ini tidak mengkondisikan sebuah ruang belajar. Secara fisik, ruang kelas saat ini walau tidak seluruhnya baik dalam fasilitas, seperti banyak sekolah saat ini telah dilengkapi dengan LCD atau proyektor, ruang ber-AC, dan sebagainya. Namun disisi lain secara kultur dan visi belum mencerminkan sebagai ruang belajar, yaitu sebagai ruang penuh hasrat akan pengalian ilmu pengetahuan.

Ruang kelas gagal membentuk kita memahami hakikat belajar. Belajar tidak dimaknai sebagai sebuah proses dimana hasil itu sebagai konsekuensi logis dari proses belajar. Akan tetapi telah terjadi kekeliruan persepsi. Belajar di ruang kelas  dipragmatisasi sebagai pengejaran terhadap nilai raport, nilai UN atau nilai IPK. Kondisi ini oleh penulis sebut sebagai “budaya nilai”.


Selanjutnya yang terjadi adalah matinya kesadaran berfikir dan bernalar para peserta didik. Hal ini nampak pada kering dan miskinnya ruang kelas dari dialog kritis antara guru-murid-yang sama-sama saling belajar. Berbagai metode baru coba diperkenalkan seperti teaching active learning (TCL), namun tak merubah, yang menurut penulis akar masalahnya ada pada “budaya nilai”. Selama sistem dan instrumen pendidikan yang ada masih menjaga status quo “budaya nilai” ini.

Matinya kesadaran berfikir dan bernalar peserta didik membuat ruang kelas menjelma sebagai ruang represif. Represif diartikan penulis sebagai bersifat represi, yakni menekan, mengekang, menahan, dan menindas. Atau dalam bahasa Sigmun Freud, represif diartikan sebagai kondisi ketidaksadaran yang dikekang. Maksudnya, ruang kelas – dalam hal ini guru, perangkat, isntument dan sistem-tidak menciptakan kondisi dan situasi nyaman bagi alam fikir, akal budi, dan spiritual peserta didik.

Ruang represif ini melahirkan wajah-wajah kekecewaan, ekspresi penolakan terhadap budaya hegemoni yang ada. Bentuknya bisa dua macam, positif seperti kegiatan ekstrakulikuler dan negatif seperti mencontek, membolos dan tindakan bullying. Ruang kelas sebagi ruang represif membutuhkan sarana ekspresif atau pelampiasan yakni “ruang luar kelas”. Semisal kantin sekolah, perpustakaan, masjid, atau ruang kreativitas seperti seni, olahraga, dan minat pada organisasi sekolah atau kampus.

Ruang kebudayaan
Kebudayaan merupakan ruang-ruang untuk memaknai dan mengartikan hidup. Studi cultural mengartikan kebudayaan sebagai keseharian yang dimaknai. Raymon williams merangkum kebudayaan dalam tiga makna, kebudayaan adalah setiap dinamika perkembangan intelektual, spiritual, dan estetika. Kebudayaan merangkum kegiatan intelektual, artistik serta produk hasilnya, dan kebudayaan itu menyangkut seluruh cara hidup, kepercayaan, aktivitas dan kebiasaan seseorang, kelompok atau masyarakat.

Ruang kelas merupakan dan sepatutnya dimaknai sebagai ruang kebudayaan. Baik oleh seorang guru maupun para murid yang belajar. Ruang kelas sebagai ruang kebudayaan dimaknai sebagai ruang keseharian berproses dan belajar, tentang apa yang benar (pengetahuan), apa baik (etika), apa yang suci (religiositas), dan apa yang indah (estetika). Juga murid merasa ‘nyaman’ belajar di ruang kelas.

Ruang kelas yang represif menghambat terbentuknya ruang kelas sebagai ruang kebudayaan ini. Juga dalam proses trasformatif peserta didik selama belajar di ruang kelas. Karena kekangan “budaya nilai” dan bentuk evaluasi yang menindas. Sehingga dibutuhkan perubahan untuk merubah kondisi ini.

Pertama perubahan mentalitas orang-orang dari sistem nilai yang dehumanisasi menuju mentalitas humanis. Sebuah ruang kelas sebagai ruang kebudayaan haruslah ruang humanis, karena guru dan murid itu sendiri yang mengauli ruang kebudayaan. Oleh sebab itu guru memiliki fungsi dan peranan yang penting, guru sebagai fasilitator tidak menciptakan space dengan murid – guru menjadi murid, murid menjadi guru-dan  saling belajar.

Kedua, perubahan kondisi struktural dan lingkungan tempat belajar menyerap nilai sebagai ruang kebudayaan. Ruang kelas harus menciptakan suasana dan iklim belajar yang sehat. Juga memahami pendidikan sebagai sebuah proses. Sehingga tidak terjadi mis-transformasi, mis-persepsi dalam visi dan motivasi belajar murid. Agar ruang kelas dapat dimaknai kembali sebagai ruang belajar dan ruang kebudayaan.